Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Berakhirnya masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di tiap kota dan kabupaten berbeda-beda bergantung pada besar kecilnya angka kasus COVID-19 di masing-masing daerah.
DKI Jakarta sebagai Ibu Kota kini telah memasuki masa PSBB transisi ketika perlahan-lahan, fasilitas publik dan kantor mulai kembali dibuka. Hanya saja, konser musik yang terbilang mengumpulkan banyak massa memang belum diperbolehkan.
Akan tetapi ketika Indonesia benar-benar memasuki fase normal yang baru, konser musik akan berganti wajah dengan memberlakukan sejumlah protokol kesehatan yang harus ditaati oleh keduabelah pihak, baik penyelenggara maupun penonton.
Anas Syahrul Alimi dari Rajawali Indonesia menilai, adanya pertunjukan musik sebenarnya dapat menjadi sarana pemulihan batin apabila pandemi benar-benar telah usai.
"Saya melihat, event musik secara khusus itu jadi salah satu yang efektif untuk recovery baik dari segi trauma healing maupun ekonomi," ungkapnya pada detikHOT melalui sambungan telepon.
Hanya saja, Anas melihat, yang kini menjadi persoalan adalah apakah konser akan berlangsung dan mendatangkan keuntungan atau justru promotor malah akan merugi.
"Misalnya (aturan) tidak boleh lebih dari 50% dari kapasitas, eventnya bisa bisa terlaksana, tapi apa biayanya tertutupi? Itu juga harus dipikirkan," ujarnya.
Sejauh ini, menurut Anas, pemangkasan berupa relaksasi pajak bisa menjadi solusi yang praktis dari persoalan tersebut.
"Karena sudah pasti tidak boleh lebih dari 50% kapasitas, jadi membutuhkan insentif dan stimulus. Kalau penjualan tiket tidak bisa banyak, dana produksi dari mana? Sedangkan event dana produksinya bergantung pada tiket dan sponsor," jelasnya.
Selain itu, Anas mengatakan, hingga pekan ini, belum ada aturan baku mengenai protokol kesehatan di konser musik. Sejumlah promotor memang tengah merumuskannya, akan tetapi, bagi Anas, pemerintah lewat kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif (Kemenparekraf) harus turut merespons kondisi saat ini.
"Jadi kami memang membutuhkan satu protokoler yang official yang sampai sekarang belum ada, masih sedang proses," tutur Anas. dtc