Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Boleh dikatakan persepsi masyarakat terbelah dalam memandang eksistensi rumah pertama. Sebagian besar menganggap rumah pertama sebagai investasi. Ini patut dimaklumi karena harga rumah cenderung naik dari tahun ke tahun. Tapi, sebagian lagi, mungkin dalam skala yang lebih kecil namun ‘melek’ terhadap makna investasi, menganggap rumah pertama hanyalah sebatas hunian. Sebab, logikanya, jika rumah itu kemudian dijual meski dengan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan harga saat dibeli, penghuninya mau tinggal di mana? Belum lagi jika rumah pertama itu dibeli secara kredit, ada angsuran yang harus dibayar selain biaya-biaya rutin lainnya, seperti biaya air, listrik, maintenance, dan lain-lain.
Persoalan apakah rumah pertama memang benar-benar sebatas hunian atau dapat memiliki fungsi sebagai investasti sebetulnya sangat tergantung pada si penghuni rumah. Yang jelas, kepemilikan rumah pertama menjadi harapan banyak orang.
Binsar Tua Siburian, misalnya, telah satu tahun ini merasakan nikmatnya memiliki rumah pertama. Tahun 2019 lalu, bertepatan dengan masa pensiunnya sebagai karyawan sebuah perkebunan BUMN di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, dia memutuskan untuk ikut Program Sejuta Rumah Untuk Rakyat (PSRUR). Sebagai orang Batak yang berpegang teguh pada prinsip Anakkon Hi Do Hamoraon Di Au (Anakku adalah kekayaan bagiku), Binsar dan istrinya Sonti Butar-butar punya komitmen kuat untuk menyekolahkan putera-puterinya hingga berhasil. Dan mereka benar-benar merealisasikan cita-cita itu.
“Saya beruntung karena selama dua puluh tahun lebih bekerja, perusahaan menyediakan rumah dinas sederhana. Jadi kami tidak perlu pusing memikirkan uang sewa rumah. Gaji selama ini bisa disisihkan untuk sekolah anak-anak,” ujarnya lewat video call pada Senin, (03/08/2020).
Kini, meski gaji pensiun pria yang juga menjadi penatua di gerejanya itu terbilang kecil, jumlahnya cukup untuk mencicil rumah yang beralamat di Desa Dusun 1 Karang Tengah, Kabupaten Serdang Bedagai sebesar Rp. 979.000,- per bulan dengan tenor 15 tahun.
Pesangon pensiun yang diterimanya tahun lalu sebagian dialokasikan untuk membangun dapur dan kanopi untuk teras rumah. Sebagian lagi digunakan untuk modal usaha. Teras itulah yang sekarang dimanfaatkan sebagai kedai untuk berjualan yang dikelola bersama dengan sang istri tercinta mengisi masa tua. Semua anaknya telah mandiri. Dua anak laki-lakinya malah telah berumah tangga. Tinggal si puteri bungsu yang sedang merantau dan merintis karir di Jakarta.
BACA JUGA: Panggung Pangan Alternatif di Tengah Pandemi Covid-19
Sementara itu di Kota Medan, Toman Situngkir merasa bersyukur karena pada akhirnya mampu membeli hunian tetap untuk yang pertama kalinya. Ia mencicil rumah PSRUR dari penghasilannya sebesar Rp. 3,5 juta per bulan sebagai karyawan swasta. “Aku memang sengaja ambil tenor 20 tahun supaya cicilannya lebih ringan, Rp.800.000,- tiap bulan. Lagipula aku kan masih produktif, pulang kerja masih sempat untuk narik ojek online. Istri juga sedang merintis usaha online,” ujar fans fanatik Real Madrid itu.
Dia mengaku proses pengajuan KPR lewat BTN (Bank Tabungan Negara) tergolong mudah dan cepat. Hanya, Toman dan istrinya, Sartika Simanjuntak beserta kedua anaknya yang masih balita harus memendam keinginan untuk segera menempati rumah tersebut. Pasalnya, seperti yang dihadapi Binsar Tua Siburian, ketidaktersediaan dapur menjadi kendala. Alhasil mereka masih memperpanjang kontrak sewa rumah di daerah Padang Bulan selama setahun ke depan sembari menabung untuk keperluan renovasi.
Serupa dengan Toman Situngkir, Intan Sirait, seorang wanita karir yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di Kota Medan, belum memutuskan untuk menempati rumah dari PSRUR yang terletak di Perumahan Romeby Lestari Tahap 3, Sei Mencirim. Intan mengaku masih ingin menabung agar dapat melakukan penambahan pembangunan rumah secara bertahap.
“Aku kan masih tinggal dengan orang tua. Dan orang tua juga masih aktif bekerja. Jadi sebagian besar gajiku masih bisa kutabung untuk nanti kalau mau melakukan renovasi. Sementara ini aku sudah menimbun bagian belakang. Terus bagian dalam rumah juga ada sedikit aku perbaiki. Nah, nanti kalau uangnya sudah cukup, aku akan buat penambahan-penambahan sesuai seleraku,” cetusnya saat ditemui di kediaman orang tuanya di Jalan Garu VIII, Medan (23/07/2020) sembari menunjukkan foto-foto rumahnya. Ia merasa puas karena mampu membeli rumah dari jeri payah sendiri.
“Prosesnya gak sulit, sih. Cukup dengan slip gaji, tidak punya cacat kredit di bank, biasanya akan di-approve. Cuma memang kemaren aku perlu waktu enam bulan sampai akad kredit dari BTN di bulan November 2019. Itu karena DP-nya aku cicil tiga kali,” ucapnya seraya mengaku bangga pada pemerintah karena melakukan pembangunan secara merata. Meski demikian, Intan memiliki satu masukan konstruktif yaitu supaya kualitas bangunan terus ditingkatkan.
Bermutu dan Tepat Sasaran
Binsar Siburian, Toman Situngkir dan Intan Sirait adalah representasi ideal untuk menunjukkan bahwa PSRUR memang ditargetkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Ketiganya juga mewakili penduduk pada kelompok umur yang berbeda-beda. Ada yang pensiunan, ada yang kategori masih produktif bekerja dan sudah memiliki tanggungan serta ada yang masih produktif bekerja namun belum berkeluarga. Artinya, pada konteks tugas mewujudkan pembangunan yang berkeadilan, dalam hal ini adalah pemenuhan akan kebutuhan hunian bagi rakyat, harus diakui pemerintah sedang berada pada jalur yang tepat. Namun, banyak tugas berat yang harus dirampungkan.
Per 11 Mei 2020, data Kementerian PUPR menunjukkan unit rumah yang telah dibangun mencapai angka 215.662 (sumber: https://www.pu.go.id/berita/view/18293/kementerian-pupr-mei-program-sejuta-rumah-capai-215-662-unit). Sementara menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2019 jumlah penduduk Indonesia dengan pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan mencapai 25, 14 juta jiwa. Artinya, pemerintah punya PR untuk memperkecil selisih di antara kedua variabel tersebut.
Pemerintah juga perlu menampung aspirasi masyarakat seperti yang yang diungkapkan Binsar Siburian, Toman Situngkir dan Intan Sirait tadi. Sesederhana apa pun sebuah rumah, semestinya memiliki ketersediaan ruangan yang ideal dan lengkap termasuk dapur. Selain itu, mutu bahan bangunan juga tetap menjadi prioritas. Kalau kemudian sesudah dibeli, rumah harus direnovasi dengan biaya yang tidak sedikit, beban masyarakat akan bertambah. Sebab sekalipun merupakan subsidi pemerintah dengan cicilan yang murah, masyarakat berhak mendapatkan rumah pertama yang layak huni. Mengapa demikian? Karena rumah pertama adalah segalanya.
====
Penulis adalah esais dan pengarang buku cerita anak ‘Si Aropan’
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]