Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Isu lingkungan masih menjadi semacam momok bagi industri kelapa sawit Indonesia hingga kini. Betapa tidak, industri ini masih dicap sebagai pemicu terjadinya penggundulan dan kebakaran hutan serta lahan setiap tahun-nya hingga mengakibatkan deforestasi. Perkebunan dan industri sawit juga dituding menjadi penyebab hilangnya hutan tropis dan keanekaragaman hayati. Bukan hanya soal lingkungan saja, isu minyak sawit tidak baik bagi kesehatan juga masih kerap menghantam industri sawit Indonesia.
Berlabel sebagai negara dengan lahan panen kelapa sawit terluas di dunia, produksi minyak sawit Indonesia per tahun 2019 mencapai 43 juta ton metrik dan jauh di atas pesaing dekat seperti Malaysia yang mencapai 21 juta metrik ton. Dengan capaian ini, memang sawit Indonesia menjadi sasaran empuk berbagai isu lingkungan. Bukan hanya dari dalam negeri, isu ini bahkan banyak juga berasal dari luar Indonesia dan umumnya tidak berdasarkan fakta objektif di lapangan. Isu ini pada dasarnya muncul sebagai dampak dari persaingan dagang komoditas minyak nabati dunia.
Ekonom senior INDEF, Dr. M. Fadhil Hassan, dalam Fellowship Journalist Batch II yang dilaksanakan secara virtual oleh BPDP-KS, 21-22 Oktober 2020, mengatakan, sawit memang menjadi sektor yang selalu disalahkan apabila terjadi kerusakan alam.
"Kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalimantan misalnya, kerap merujuk negatif terhadap perkebunan kelapa sawit. Memang kerusakan lingkungan ada yang karena deforestasi atau pembabatan hutan. Namun deforestasi ini sebenarnya bukan hanya perkebunan sawit, melainkan karena ada kegiatan lain yang dilakukan manusia seperti pembukaan lahan untuk permukiman, pertanian dan lainnya," katanya.
Fadhil mengatakan, tuduhan yang dialamatkan ke perkebunan sawit karena memang sektor inilah yang paling mudah untuk disalahkan. Bisa saja karena paling mudah meng-kambing hitam-kan sawit. Bahkan ketika ada banjir, langsung sawit yang disalahkan. Sebagai contoh, saat terjadi kebakaran hutan besar di Kalimantan Tengah pada tahun 2015 disebabkan sawit karena terjadi dalam lahan konsesi sawit.
"Memang betul kebakaran itu ada di konsesi tetapi belum tentu disengaja. Karena tidak rasional sebenarnya perusahaan melakukan pembakaran terhadap kebunnya sendiri," katanya.
Menurut Kepala Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Eddy Abdurrachman, semua isu negatif yang menyangkut lingkungan terhadap sawit sebenarnya tidak berdasarkan fakta objektif di lapangan. Sawit memang memiliki keunggulan komparatif dibandingkan minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, minyak rapesheed, minyak bunga matahari dan lainnya hingga membuatnya terus dihantam isu negatif.
"Padahal, kampanye isu-isu negatif tersebut dalam jangka waktu yang lama telah memunculkan stigma negatif terhadap sawit sehingga sawit teralienasi dari masyarakat yang justru mengkonsumsinya setiap hari. Ini sungguh sebuah paradoks dimana komoditas hasil negeri sendiri yang memiliki manfaat begitu banyak, justru belum dipahami dan bahkan banyak dikritik oleh masyarakat dalam negeri sendiri," katanya.
Dalam jangka panjang, isu-isu negatif ini akan merugikan perkebunan dan industri sawit nasional dan tentu akan berdampak pula bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Karena konsumsi minyak sawit dan turunannya bukan hanya ada di minyak goreng tapi juga ada dalam produk sabun, shampoo, deterjen, lipstick, produk kosmetik, personal care, roti, coklat, biskuit, krimer, margarin, susu formula bayi, dan sebagainya. Penggunaan minyak sawit dan turunannya, menjadikan produk-produk tersebut dapat digunakan oleh segenap kalangan masyarakat dengan harga yang relatif terjangkau.
Untuk menghentikan gencarnya isu sawit, BPDP-KS sendiri telah menjembatani gap informasi antara peran dan kontribusi sawit, dengan pengetahuan tentang sawit di masyarakat melalui media massa. Karena menyebarkan dan menyampaikan fakta-fakta objektif sawit sangat penting untuk perkebunan dan industri kelapa sawit di Indonesia.
"Karena dengan besarnya peran komoditas sawit tersebut, sangat ironis bahwa kemudian komoditas ini belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jadi menyebarkan dan menyampaikan fakta objektif di lapangan diharapkan bisa menghempas isu lingkungan di industri sawit kita," kata Eddy.
Terkait tindakan dalam melawan isu lingkungan di industri sawit, Malaysia lebih kencang dibandingkan Indonesia. "Sejauh ini yang kami lihat, Malaysia itu lebih berani dan benar-benar konsisten mengenai isu lingkungan di industri sawitnya. Kalau di Indonesia, tidak seefektif itu mungkin karena terlalu banyak isu yang harus diurusi. Makanya masih jadi semacam momok," kata salah satu pengusaha sawit di Sumut, Sabri Basya.
Dikatakan Sabri, kurang 'gregetnya' Indonesia dalam mengatasi isu lingkungan di industri sawit sebenarnya sangat disayangkan. Karena biasanya di negara mana pun, jika itu produk atau komoditas strategis dan memberi kontribusi besar bagi negara, selalu berupaya keras tidak sampai terganggu.
"Tapi sawit sebagai penghasil devisa terbesar justru terus diserang. Memang lawannya tidak mudah karena ada kekuatan capital dan network kuat hingga isu yang dilempar ke publik kerap langsung berdampak ke industri sawit kita. Nah, Indonesia tidak boleh lagi bergerak lambat untuk memproteksi sawit. Karen jika merujuk pada kondisi pandemi saat ini, sawit justru cenderung bisa bertahan dan itu bisa dimanfaatkan untuk menopang ekonomi Indonesia," katanya.
Sebagai pelaku usaha di industri sawit, kata Sabri, tentu jaminan seperti ini sangat diharapkan agar bisa menjadi perhatian utama pemerintah. Meski dimaklumi pemahaman lambat karena terlalu banyak isu yang harus diurusi, tapi sebagai komoditas strategis, tentu proteksi tidak bisa ditawar dan harus jadi prioritas.
Sumbangsih Sawit Bagi Ekonomi Sumut
Pengamat ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin, mengatakan, di tengah himpitan ekonomi, petani sawit masih bisa mengucap syukur karena harga CPO justru masih mampu bertahan mahal. Harga CPO masih bertahan dikisaran angka RM 3.000/metrik ton. Jadi ini kabar baik bagi petani sawit dan ini akan menjadi salah satu harapan akan adanya potensi pemulihan ekonomi di wilayah Sumut.
Akan tetapi, isu lingkungan yang kurang sedap soal sawit yang masih mengemuka jelas-jelas sangat merugikan petani. Kampanye hitam tersebut cenderung tidak berimbang dengan apa yang bisa dimanfaatkan dari buah sawit itu sendiri.
"Sebagai contoh, sawit kerap disebut sebagai tanaman perusak lingkungan karena banyak lahan hijau yang beralih fungsi. Padahal sawit juga dibutuhkan sebagai sumber makanan maupun bahan bakar yang berguna bagi keberlangsungan hidup manusia. Akan tetapi sepertinya sisi positif dari buah sawit itu sendiri belum begitu disuarakan di tengah masyarakat internasional," katanya.
Pada dasarnya, semakin banyak jumlah penduduk sebuah negara, maka semakin besar kebutuhan akan konsumsi kebutuhan pangannya. Jadi ada trade off antara perkembangan industri dengan lingkungan dan ini tidak seharusnya tidak hanya dilekatkan pada buah sawit saja. Buah selain buah sawit seperti kedelai, biji bunga matahari atau tanaman lainnya juga kerap memicu trade off.
"Saya menganalogikannya begini. Misalkan jumlah penduduk semakin banyak, lantas banyak lahan sawah berubah menjadi perumahan. Nah, disitu sebenarnya trade off terjadi. Dan tentunya banyak analogi lainnya. Namun isu lingkungan yang kerap disuarakan oleh banyak lembaga internasional terhadap sawit tidak berimbang," katanya.
Bagi Indonesia khususnya Sumut, sawit bukan hanya sebagai salah satu sumber bahan makanan. Lebih dari itu sawit juga memberikan dampak besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Manfaat ekonominya besar. Jadi seharusnya tidak lantas dilihat dari sisi negatifnya saja. Sementara itu, kampanye negatif sawit juga kerap disuarakan dari negara-negara yang menjadi pesaing sawit itu sendiri, seperti negara penghasil kedelai. Jadi jangan melihat satu sisinya saja untuk memberikan penilaian terhadap sawit tersebut.
Sawit telah menciptakan jutaan lowongan kerja dan dengan sawit ekonomi Indonesia bisa tumbuh. Apalagi kalau berbicara Sumut. Jadi, kata Gunawan, pemerintah harus lebih banyak mendorong agar industri lebih banyak menggunakan produk olahan sawit. Seperti bahan bakar dari minyak kelapa sawit. Sehingga kita dapat mengurangi ketergantungan dari negara lain.