Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PERTANYAAN yang muncul di tengah masyarakat ketika pengurus PGI menerima perwakilan 75 pegawai KPK yang nonaktif dan melakukan konferensi bersama, ada apa dengan PGI? Apakah PGI sedang menunjukkan sikap yang berseberangan dengan pemerintah atau ada hal lain?
Pertanyaan ini lantas menimbulkan pro dan kontra, khusunya pada umat Kristen. Yang sat umengatakan bahwa PGI sedang membela kaum tertentu. PGI tidak boleh mencampuri yang bukan tugas gereja dan lembaga ini harus berjalan sesuai dengan visi dan misinya. Sementara yang satu lagi mengatakan PGI harus berperan dalam pemberantasan korupsi.
Tentu berbagai sikap ini harus menjadi pemikiran bersama. Keterpecahan pemikiran tentang tugas gereja tidaklah lantas menimbulkan disharmoni dan ketidakpercayaan umat Kristen kepada PGI. Hal yang sama pernah terjadi ketika PGI mengeluarkan surat pastoral tentang LGBT. Surat itu menimbulkan tanggapan yang beragam. Pernyataan pastoral PGI menimbulkan multitafsir, sehingga lembaga ini dinilai telah mencampuri sikap dogmatis dari masing-masing anggota. Anggota PGI yang terdiri beberapa aliran memiliki pandangan dogmatis dan teologis masing-masing tentang LGBT. Dengan demikian, anggota PGI saat itu tidak bisa mengikuti strandar yang telah dibuat oleh PGI.
Bila isi surat PGI tersebut dijalankan, dikhawatirkan akan menganggu keoikumeneisan di antara keanggotaan PGI. Sehingga beberapa anggota PGI meminta kepada pengurus MPH agar menarik surat itu supaya tidak terjadi ketegangan dogmatis sesama anggota.
Situasi sekarang ini boleh jadi hampir sama dengan situasi di atas. Pernyataan Ketua Umum PGI telah menimbulkan multitafsir di kalangan umat Kristen. Walaupun PGI mencoba memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa PGI sejak dulu mengambil sikap kritis dan menyuarakan betapa urgennya memberantas korupsi di Indonesia. PGI mendukung sepenuhnya pembentukan KPK. PGI bersuara keras ketika selama ini KPK mengalami penggembosan oleh orang yang tidakmenginginkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Isu “kadrun”, “Taliban”dan“garis keras” pada tokoh tertentu di lingkungan KPK tentu isu bias yang tidak bisa dipertanggungjawabankan. Isu itu menimbulkan stigma negatif yang justru memperlambat pemberantasan korupsi. PGI juga meminta kepada pemerintah untuk menjelaskan secara transparan tentang apa yang terjadi pada saat tes TWK (tes wawasan kebangsaan). Karena itulah, PGI mengatakan kepada publik sikap itu adalah bentuk kontrol publik kepada kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah.
Kita semua mendukung KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. Korupsi adalah musuh kita bersama, dan semua elemen bangsa menyatukan gerak untuk menghentikan praktik korupsi di masyarakat. Praktik korupsi ini sudah berjemaah, mulai dari tingkat daerah sampai pusat.
Banyak kepala daerah terbukti melakukan tindakan korupsi dengan nilai yang sangat fantastis. Demikain juga dengan beberapa orang ketua partai, menteri dan pemimpin pada lembaga lainnya. Selama ini tidak ada kekuatan yang bisa menangkap perilaku korupsi di tingkat elite kekuasaan. KPK yang merupakan buah reformasi telahmenunjukkan kebolehannya dalam mengatasi persoalan korupsi di tanah air. Rakyat telahmelihat bagaimana kinerja para pengawai KPK ketika mereka turun secara langsung memproses kepala daerah sampai kepada tingkat yang lebih tinggi. Tentu prestasi ini menimbulkan perlawanan dari berbagai pihak yang merasa terancam zona nyamannya, yang terancam pundi-pundinya.
Kita kemudian paham kenapa beberapa tahun ini KPK mengalami serangan dari berbagai pihak. Serangan terakhir kepada KPK adalah dikabulkannya permohonan tentang pegawai KPK yang tidak bisa diangkat menjadi ASN karena hal tersebut tidak tertera di dalam UU KPK. Serangan itu semakin lengkap ketika MK diminta menguji secara materiil Pasal 1 angka 3, Pasal 3, Pasal 12 B, Pasal 24, Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 40 ayat (1), Pasal 45A ayat (3) huruf a, danPasal 47 UU a quo terhadap UUD 1945. Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, sepanjang dimaknai “Bahwa hanya profesi/instansi-instansi pemerintah sebagaimana disebutkan dalam Pasala quo itulah yang mempersyaratkan untuk menjadi seorang penyelidik KPK, orang yang berasal dari profesi atau instansi-instansi pemerintah tersebut yang oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diangkat dan diberhentikan sebagai penyelidik Komisi PemberantasanKorupsi”.
Karena itulah perlawanan kepada lembaga KPK tidak pernah berhenti mulai dari lahir sampai saatini. KPK telah membuat mereka doyan mengambil uang negara tidak pernah tenang dalam hidupnya. KPK ada dan bersama dengan rakyat untuk memberantas korupsi dan semua elemen bangsa harus ikut mendukung keberadaannya,bukanmeng hancurkannya.
Kita tidak setuju dengan kasus pemberhentian 75 pengawai KPK yang akan memperlemah pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemerintah dan bersama KPK harus mencari jalan keluar yang terbaik demi pemberantasankorupsi di Indonesia.
Kembali kesikap PGI. Seyogianya PGI tidak melebarkan ranahnya dengan meminta pemerintah untuk transparan dengan situasi yang terjadi di KPK. Hal yang mestinya dilakukan PGI adalah menerima keluhan dari para pengawai KPK tersebut. PGI harusnya lebih soft di depan publik, sebab umat yang bernaung di PGI memiliki sikap yang berbeda atas situasiini. Sebaiknya PGI melakukan kunjungan kepada pimpinan KPK melihat apa yang terjadi sesungguhnya dan bersilahturahmi dengan pimpinan negara mengambil jalan keluar yang terbaik.
Bukankah PGI adalah mitra pemerintah, mitra KPK dalam mengatasi persoalan korupsi di Indonesia? Seharusnyalah PGI lebih berhikmat menggunakan momentum ini, sehingga tidak menimbulkan multitafsir di tengah-tengah masyarakat, khususnya umat Kristen. Semoga PGI makin maju ke depan dalam menyikapi masalah-masalah bangsa di tanah air. Selamat ulang tahun ke-71 PGI!
====
Penulis Dosen IAKN Tarutung
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel/surat pembaca) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter (surat pembaca maksimal 2.000 karakter). Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel/surat pembaca dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel/surat pembaca sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan/surat pembaca Anda ke: [email protected]