Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Garuda Indonesia makin berat untuk terbang. Kepak sayap maskapai maskapai pelat merah ini makin rapuh menerjang badai pandemi COVID-19.
Bahkan, Garuda mesti mati-matian bertahan menghadapi dampak pandemi COVID-19. Sektor perjalanan yang menjadi andalan bisnis maskapai anjlok dipukul pandemi.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra mengatakan di tahun 2020 kala pandemi COVID-19 mulai menghantam, jumlah penumpang Garuda terus menurun. Secara tahunan saja penumpang Garuda turun hingga 66%.
"Penurunan penumpang secara total dari 31,9 juta di 2020 menurun 66%, sisanya sebesar 10,8 juta," ungkap Irfan dalam paparan publik virtual, Kamis (19/8/2021).
Dilihat secara kuartalan, pada kuartal I tahun 2020 penumpang Garuda tercatat ada 6,1 juta orang, kemudian turun drastis di kuartal II hingga tersisa hanya 500 ribu orang. Penumpang perlahan naik di kuartal III dengan jumlah 1,5 juta orang, dan di kuartal IV naik lagi jadi 2,8 juta orang.
Bila bicara seat load factor alias tingkat keterisian tiap penerbangan pun turun drastis angkanya. Di tahun 2019 mencapai 74,3%, tapi di tahun 2020 hanya 45,2% saja. "Kuartal I karena COVID belum parah cukup besar, kemudian peningkatan signifikan di kuartal IV-2020," ungkap Irfan.
Masuk ke 2021, Irfan pun mengatakan jumlah penumpang masih belum mengalami kenaikan meskipun perjalanan antardaerah sudah mulai diperbolehkan dengan syarat yang ketat. Menurutnya, sepanjang semester I-2021 penurunan cukup signifikan terjadi bila dibandingkan kuartal IV-2020.
Puncak penurunan penumpang terjadi saat pemerintah memberlakukan PPKM Darurat. Menurutnya, rata-rata harian penumpang jeblok setelah kebijakan PPKM diberlakukan.
Dari awalnya Garuda bisa menerbangkan 12 ribu orang per hari, hanya bersisa jadi 2 ribu orang per hari karena PPKM. Bahkan, di suatu hari penumpang Garuda pernah menyentuh angka 700 orang saja.
"Saya sampaikan saja, sebelum PPKM, beberapa minggu sebelum PPKM, average kita di 12 ribu per hari, masuk PPKM kisarannya jadi 2 ribu per hari. Jauh menurun, tapi di 2 ribu itu cukup hebat bila dibandingkan pada saat 1 Syawal jumlah penumpang hanya 700," ungkap Irfan.
Irfan menyatakan kebijakan pembatasan yang dilakukan baik di dalam negeri dan internasional membuat penerbangan Garuda terpukul hebat. Dia mengaku hal ini sudah berada di luar kendali perusahaan.
"Kami tidak bisa menafikan tantangan di luar kendali perseroan, pertama perkembangan kondisi COVID dan kebijakan terkait pembatasan pergerakan di dalam negeri, ini jelas memukul kami," kata Irfan.
Di luar negeri, menurutnya, beberapa negara juga melakukan pembatasan kunjungan. Bahkan ada juga yang melarang maskapai Indonesia untuk masuk, hal ini pun ikut memukul Garuda. Di sektor perjalanan internasional menurutnya larangan haji dan umrah paling berpengaruh.
"Beberapa di antaranya yang melarang adalah kunjungan populer. Kunjungan populer untuk keagamaan, misalnya umrah atau haji yang ditiadakan," papar Irfan.
Untuk tetap terbang, Garuda pun mencari cara lain, salah satunya adalah memaksimalkan penerbangan charter. Mulai dari penerbangan untuk repatriasi WNI/WNA, ataupun penerbangan untuk pengantaran alat medis, untuk pengadaan vaksin misalnya.
Tercatat penerbangan charter Garuda bila dibandingkan secara tahunan mengalami peningkatan di tahun 2019 hanya 620 penerbangan, di 2020 mencapai 1.764 penerbangan.
"Kami banggakan sepanjang 2020 strategi fokus ke charter dengan tingkatkan penawaran kita untuk penerbangan repatriasi dan penerbangan charter alkes terbukti menolong kami," ungkap Irfan.
Di sisi lain, Garuda juga memaksimalkan layanan kargo. Meski jumlahnya secara tahunan turun namun tingkat keterisian sekali terbang meningkat. Bila di tahun 2019 jumlah kargo mencapai 335,8 K-Ton di tahun 2020 hanya 235,4 K-Ton. Sedangkan tingkat keterisian atau cargo load factor mencapai 51,7% di tahun 2020, naik jika dibandingkan tahun 2019 yang hanya 40,9%.
"Jumlah kargo di kuartal IV-2020 lebih tinggi dari kuartal pertama 2020, kami benar-benar fokus ke kargo," kata Irfan.
Hasilnya ke pendapatan pun cukup menjanjikan. Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Prasetio menyatakan untuk pendapatan pada layanan penerbangan charter naik hingga lima kali lipat.
Di tahun 2019, pendapatan dari layanan charter hanya mencapai US$ 15,6 juta, namun di tahun 2020 meningkat jadi US$ 77,2 juta. "Untuk pendapatan penerbangan charter 2020 mencapai US$ 77,2 juta. Jika dibandingkan tahun 2019, jumlahnya meningkat lima kali lipat," kata Prasetio.
Sementara di layanan kargo, meskipun secara tahunan masih rendah atau turun 16,9% namun secara kuartalan pendapatan kargo naik. Secara tahunan, di 2019 pendapatan kargo mencapai US$ 326,9 juta, tapi di 2020 hanya US$ 271,6 juta.
"Kalau dibandingkan, kuartal III ke kuartal IV 2020 ini ada peningkatan terjadi dari US$ 61,3 juta menjadi US$ 90,9 juta. Opportunity kargo akan kami tingkatkan di 2021, trennya akan meningkat," ungkap Prasetio.
Sementara untuk pendapatan penumpang, anjloknya memang sangat dalam. Prasetio menjelaskan secara tahunan dari 2019 ke 2020 pendapatan penumpang turun hingga 73%.
Pendapatan penumpang tahun 2020 cuma mencapai US$ 929 juta, padahal di 2019 mencapai US$ 3,4 miliar. Penurunan terdalam terjadi di kuartal II tahun 2020, pada 3 bulan kedua 2020 Garuda cuma mendapatkan US$ 46,6 juta.
"2019 ke 2020 kita ketahui bahwa penurunan dari pendapatan penumpang berjadwal mencapai 73%. Dari April sampai Desember itu kita berat sekali," ungkap Prasetio.(dtf)