Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) merilis hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak Remaja (SNPHAR) dan Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021. Dari hasil survei tersebut diketahui jika selama setahun terakhir terjadi peningkatan jumlah kekerasan fisik ataupun kekerasan seksual terhadap perempuan.
"Bahwa selama setahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi kekerasan fisik dan atau seksual oleh selain pasangan, kekerasan seksual oleh selain pasangan dan kekerasan seksual oleh selain pasangan dan kekerasan fisik oleh pasangan dalam setahun terakhir," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Ratna Susianawati, dalam konferensi pers di gedung Kementerian PPPA, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (27/12/2021).
Survei tersebut dilaksanakan di 160 kabupaten/kota yang seluruh respondennya merupakan perempuan sebanyak 12.401 rumah tangga dengan rentang usia 15-64 tahun. Dari survei tersebut, terdapat 1.200 pertanyaan yang diberikan kepada para responden.
Kementerian PPPA membagi pelaku kekerasan dalam dua jenis, yaitu pelaku kekerasan pasangan meliputi suami, pasangan yang hidup bersama tidak menikah, dan pasangan seksual yang tinggal terpisah. Kemudian pelaku kekerasan bukan pasangan, yaitu orang tua, mertua, keluarga, teman/tetangga, guru/pendidik, orang tidak dikenal, aparat keamanan, majikan, dan sebagainya.
Sementara itu, kekerasan fisik oleh pasangan pada perempuan pada tahun 2021 tercatat mengalami kenaikan 2 persen dari data tahun 2016 1,8 persen. Sementara kekerasan seksual pada perempuan oleh selain pasangan meningkat 5,2 persen, serta kekerasan fisik-seksual meningkat hingga 6 persen pada 2021.
Berdasarkan survei, jumlah kekerasan fisik dan atau seksual cenderung banyak terjadi di wilayah perkotaan dibanding perdesaan. Kasus kekerasan fisik dan atau seksual di wilayah perkotaan sebanyak 27,8 persen, sementara di perdesaan 23,9 persen.
"Ini kemungkinan karena mobilisasi masyarakat, agresivitas masyarakat di perkotaan, tingkat interaksi masyarakat di perkotaan, ini menjadi salah satu faktor kenapa di wilayah perkotaan lebih tinggi," ucap Ratna.
Kasus kekerasan fisik dan arau seksual cenderung terjadi pada perempuan dengan jenjang pendidikan tinggi. Berdasarkan data, perempuan dengan jenjang pendidikan SMA ke atas lebih rentan terkena kasus kekerasan sebesar 32,5 persen ketimbang perempuan lulusan SD/SMP 22,3 persen.
"Tingkat kekerasan yang tinggi juga ditemui pada perempuan yang bekerja. Menurut survei, perempuan bekerja lebih rentan menjadi sasaran kasus kekerasan fisik dan atau seksual 27,7 persen, dibanding yang tidak bekerja 24,8 persen," ujarnya.
Kekerasan Berbasis Gender Online
Ratna menjelaskan, korban dari Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) kebanyakan terjadi pada perempuan. Adapun usia rentan yang dialami perempuan berkisar 15-19 tahun.
Dalam setahun terakhir, prevalensi kasus KBGO pada usia 15-19 tahun di angka 9,8 persen. Menurut survei, prevalensi KBGO semakin menurun berdasarkan usia. Pada usia 20-24 tahun, prevalensi KBGO di angka 6 persen, usia 25-29 tahun di angka 3,9 persen, dan usia 30-40 tahun di angka 2,8 persen.
"Secara umum, prevalensi KBGO tertinggi di Indonesia pada kelompok umur 15-19 tahun, artinya pada mereka usia sekolah," ucap Ratna.
Dia juga menyampaikan prevalensi sunat perempuan pada responden. Menurut survei, 55 persen anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun menjalankan praktik sunat perempuan.
Dari angka tersebut, tercatat 33,7 persen sunat perempuan dilakukan karena simbolis keagamaan atau adat. Hanya 21,3 persen dilakukan karena faktor medis.(dtc)