Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Harga minyak mentah kembali naik lebih dari 1% kemarin. Kenaikan itu masih dipicu oleh ketegangan antara Rusia dan Ukraina.
Melansir Reuters, Kamis (17/2/2022), kontrak berjangka jatuh setelah pejabat AS dan Iran mengatakan mereka lebih pro dengan kesepakatan tentang pengembangan senjata nuklir daripada untuk meningkatkan penjualan minyak global.
Sikap Rusia yang mengancam Ukraina selama ini telah menjadi penyebab naiknya harga minyak di pasar selama beberapa minggu terakhir ini.
Berbagai kekhawatiran terkait gangguan pasokan minyak dari produsen utama di pasar global, dapat mendorong harga minyak ke US$ 100 atau Rp 1,4 juta per barel.
"Pasar merupakan bentuk cerminan situasi yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Karena merupakan ambiguitas dari hari ke hari berikutnya," kata Edward Morse, kepala penelitian komoditas global di Citi.
Pasokan minyak dari data mingguan menunjukkan, permintaan bahan bakar AS bertahan pada rekor tertinggi. Sementara, persediaan minyak mentah di Cushing, Oklahoma, di pusat penyimpanan dan titik pengiriman untuk kontrak berjangka AS, malah turun ke level terendah sejak September 2018.
Rincian persediaan minyak mentah di Cushing, adalah minyak mentah Brent ditutup naik US$ 1,52 menjadi US$ 94,81 atau Rp 1,35 juta per barel. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik US$ 1,59 atau 1,7% menjadi US$ 93,66 atau Rp 1,33 juta dari harga tertinggi di US$ 95,01 atau Rp 1,35 juta per barel.
Pada hari Senin kemarin, kedua benchmark itu mencapai level tertinggi sejak September 2014, dengan Brent menyentuh US$ 96,78 atau Rp 1,38 juta dan WTI mencapai US$ 95,82 atau Rp 1,36 juta per barel.
Persediaan minyak mentah AS naik 1,1 juta barel pekan lalu. Tetapi, persediaan minyak secara keseluruhan di hub Cushing turun 1,9 juta barel.
Kemudian, produk yang dipasok mencapai rekor 22,1 juta barel per hari selama empat minggu terakhir. Karena produsen minyak telah berjuang untuk memenuhi permintaan atau target produksi mereka sendiri.
Kepala Badan Energi Internasional Fatih Birol meminta Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu mereka, yang dikenal sebagai OPEC+, untuk mempersempit kesenjangan antara target produksi minyak mereka dan output aktual.(dtf)