Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
20 MEI 2022, bangsa Indonesia akan memperingati hari Kebangkitan Nasional yang 114 tahun. Peringatan yang berawal dari peristiwa lahirnya organisasi kepemudaan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, sebagai bentuk tanggung jawab moral dari kaum terpelajar untuk merubah nasib masyarakat yang mengalami penindasan oleh kolonialisme.
Kelahiran Boedi Oetomo didasari keresahan kaum terpelajar yang melihat dampak buruk kolonialisme yang sekian lama menyandera masyarakat, dimana kebebasan menjadi barang mahal dan ketimpangan kehidupan ekonomi, sosial dan politik sangat terlihat nyata. Dominan masyarakat nyaris tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri, karena hampir semua hak dan kebebasan sudah dibatasi oleh pihak kolonial, baik secara strata atau tempat pendidikan seperti golongan Eropa, campuran beserta pribumi tinggi dan masyarakat jelata yang sangat dibedakan, termasuk kebebasan memasuki ruang dan fasilitas publik yang dibatasi berdasarkan strata sosial dan ekonomi.
Kegelisahan yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa sangat diperlukan pertanggungjawaban moral dari kaum terpelajar untuk menggerakkan dan mempelopori persamaan hak, kebebasan sebagai manusia, dan mendidik masyarakat untuk mampu melakukan tindakan pembelaan hak dan menentukan kehidupan. Padahal dominan kaum terpelajar ini justru memperoleh pendidikan tinggi yang difasilitasi oleh pihak kolonial.
Pendidikan yang kemudian membuka kesadaran berpikir dan moral kaum terpelajar untuk membangkitkan masyarakat dari keterpurukan akibat kolonialisme, dan setelah 114 tahun, kesadaran berpikir dan moral tersebut seharusnya masih sangat relevan mengisi benak dan tindakan kaum terpelajar dan terdidik Indonesia yang luar biasa jumlahnya.
Korupsi sebagai Cerminan Moralitas
Setelah 114 tahun ternyata masih sangat banyak persoalan yang harus dibenahi,dimana masih tingginya angka ketimpangan ekonomi, hingga dampak dua tahun pandemi Covid 19 yang membuat melonjaknya angka pengangguran dan kemiskinan.
Namun yang sangat menyedihkan adalah semakin parah dan tingginya angka serta budaya korupsi, termasuk dalam lembaga hukum yang pernah disinggung oleh Presiden Joko Widodo, agar jangan menggigit pejabat atau pelaku pelaku usaha yang bertindak benar dan sedang berinovasi untuk kemajuan negara.
Paling pahit adalah pernyataan Menko Polhukam Prof Mahfud MD tentang kekacauan kondisi hukum akibat dari rendahnya moral para penegak hukum, karena masih banyak nafsu dan keserakahan dalam diri oknum penegak hukum.
Sebaik dan sebagus apapun sistem hukum yang dibuat, namun rendahnya moral akan menyebabkan terjadinya praktik rekayasa pasal, manipulasi barang bukti dan berbagai modus lainnya, dari proses menjerat, membebaskan hingga memenangkan pihak yang bersengketa, yang menurut Prof. Mahfud menjadikan hukum sebagai industri yang bisa diperdagangkan.
Sehingga menurut Prof. Mahfud pembenahan bukan hanya dilakukan terhadap sistem, tetapi adalah moral para penegak hukum. Karena dalam lembaga hukum manapun, nafsu dan sikap koruptif akan muncul, kebaikan yang melekat dalam sistem hukum, selalu akan berhadapan dengan nafsu koruptif dan keserakahan para pelaksananya.
Persoalan korupsi yang terjadi dalam oknum penegak hukum tentunya bukan barang baru, namun merupakan salah satu pangkal kegelisahan para kaum terpelajar pada tahun 1908, dimana praktik hukum yang dilaksanakan kolonial bisa diperdagangkan sesuai pemberian atau keuntungan yang bisa diperoleh pihak kolonial.
Sedangkan pada masa ode baru, ada istilah yang disebut dengan “mafia peradilan”, yaitu kolusi antara polisi, jaksa, hakim dan pengacara. Sedangkan saat pemerintahan Presiden SBY, disebutkan dengan istilah “mafia hukum”, karena praktik mafia itu ternyata tidak hanya terjadi di lingkungan pengadilan, tetapi juga di luar pengadilan.
Pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo memunculkan istilah “industri hukum”, karena hukum atau produk hukum seperti industri semen, beras, otomotif, pertambangan, obat dan lain sebagainya, yang diperjualbelikan dengan tujuan mendapatkan profit, karena kata industri sangat identik dengan perdagangan.
Sehingga tidak mengherankan jika budaya korupsi, baik oleh pejabat negara dari eksekutif (penyelenggara pemerintahan), legislatif (wakil rakyat yang mengawasi penyelenggaran pemerintahan), judikatif (penyelenggara hukum), terjerat persoalan korupsi dan penyalahgunaan jabatan dengan tingkat penyebaran pelaku dari yang terbawah hingga pejabat tinggi
Semua gambaran di atas seolah menunjukkan bagaimana rendahnya kesadaran moral dikalangan banyak oknum pejabat, penegak hukum dan masyarakat, padahal semuanya mengakui bahwa praktek korupsi yang meluas merupakan penghalang pembangunan ekonomi, sosial politik, dan budaya bangsa, sehingga korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa.
Kita seperti kehilangan pengetahuan dan kesadaran tentang ajaran nilai-nilai moral, yang selalu menjunjung tinggi nilai kejujuran, namun tergerus dalam budaya kerakusan, sesuatu yang sangat tragis di negara dan masyarakat, yang mengaku BERKETUHANAN dalam berbagai agama yang diakui oleh negara.
Sering masyarakat harus merasakan runtuhnya jembatan dan kerusakan jalan yang baru dibangun atau proses pemiliharaan karena ternyata anggarannya sudah disunat. S3kolah tidak terurus karena biaya perawatannya digelapkan. Bantuan bagi masyarakat miskin yang terkena dampak pandemi Covid 19 juga ditilap.
Kalau mau jujur secara sikap moral, kita sangat kalah jauh jika melihat bangunan moralitas bangsa Jepang, terutama dalam menjunjung tinggi nilai kejujuran, yang menjadi modal awal bangsa Jepang membangun kembali negerinya pasca perang dunia kedua, budaya kejujuran yang terlahir dari budaya Bushido yang dianut oleh para Samurai yang menjunjung tinggi kejujuran di atas segalanya.
Kebangkitan Moralitas Sebagai Pondasi
Hampir semuanya setuju bahwa budaya korupsi cepat atau lambat akan menghancurkan peradaban sebuah bangsa, kehancuran yang dimulai dari moralitas, yang kemudian menghancurkan sistem hukum, politik dan perekonomian, serta berakhir pada kondisi kegagalan Negara menjalankan fungsinya.
BACA JUGA: Demokrasi Dalam Selimut Primodialisme dan Etnosentrisme
Menjelang peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2022 dan masih merajalelanya budaya korupsi, tentunya memunculkan keprihatinan terhadap kondisi krisis moralitas dan krisis keperibadian akibat dampak dari globalisasi dan derasnya arus masuk budaya asing.
Informasi tanpa batas yang telah mengubah gaya hidup dan adab kehidupan, sehingga cenderung meminggirkan identitas dan menjauhkan Pancasila sebagai pandangan hidup, yang merupakan kristalisasi dari nilai budaya dan pandangan hidup dari bangsa sendiri.
Sehingga secara kualitas sejatinya bangsa ini sedang mengalamiketerpurukan, terutama nilai moral bangsa yang mengalami pembusukkan, akibat perilaku korupsi yang merasuk dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat, dimana hampir dalam setiap hajatan politik dan pelaksanaan pemerintahan, integritas moral dan komitmen jabatan justru dibanyangi oleh praktek suap dan gratifikasi.
114 tahun peringatan hari kebangkitan nasional, maka sangat penting untuk merevitalisasi tanggungjawab moral, untuk mewujudkan mimpi besar memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan mengikis pikiran kepentingan jangka pendek dan keangkuhan ego pribadi atau kelompok.
Dimana kebangkitan nasional tahun 1908 ditumbuhkan oleh elite terpelajar yang tercerahkan dengan visi jauh ke depan, walaupun godaan jaminan kenyamanan hidup dari kolonial bagi golongan terdidik, namun bangunan moralitas para deklarator Boedi Oetomo berani mengambil risiko, hidup penuh kesulitan.
Sudah selayaknya bangunan moralitas yang dimiliki pendiri Boedi Oetomo, menjadi pondasi bagi seluruh masyarakat dan penyelenggara negara, untuk merubah budaya korupsi yang sudah merajalela, terutama di tengah masyarakat bangsa yang sudah terlanjur dikuasai budaya hedonisme dan materialisme, yang melahirkan sikap pragmatis.
Sudah sangat umum masyarakat lebih menghormati dan menyegani orang karena kekayaannya, walaupun bukan sosok yang bersih dan jujur, tanpa perduli dari mana asal kekayaannya, atau kasarnya mayoritas masyarakat tidak benar–benar anti korupsi dan anti mafia hukumnamun mengamini secara implist
Karena itu membangkitkan moralitas yang berdasarkan Pancasila adalah faktor paling utama, karena ketidakjujuran dan perilaku manifulatif sebagai dasar korupsi adalah dosa yang tidak termaafkan bagi masyarakat yang percaya pada Tuhan, sesuai pidato Presiden Soekarno dalam bahasa Inggris di PBB bahwa sila pertama Pancasila “ Believe in God“.
Pancasila sebagai bangunan moralitas dan pandangan hidup masyarakat secara keseluruhan,seharusnya benar – benar diletakkan sebagai pondasi “Nation and Chacrater Building” atau akar pembangunan karakter sejak usia dini dan dievaluasi pelaksanaannya secara rutin disetiap jenjang pendidikan dan penyelenggaraan Negara,
Sehingga bangunan moralitas yang lahir, adalah buah darikepercayaan masyarakat pada Tuhan, yang menurunkan nilai kemanusiaan, dan keadilan, sebagai kekuatan dalam membangun persatuan dan permusyawaratan dalam hikmat kebijaksanaan, untuk kebangkitan Indonesia.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]