Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Sri Lanka tengah dilanda krisis ekonomi. Warga di sana pun ramai-ramai ingin kabur dari negara itu bahkan rela antre berhari-hari untuk mengurus paspor.
Salah satu warga Sri Lanka, R.M.R Lenora mengatakan telah bertahan selama dua hari di luar markas Departemen Imigrasi dan Emigrasi Sri Lanka. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan paspor agar bisa bekerja di luar negeri.
Lenora bukan tinggal di tengah kota. Ia berangkat dari wilayah Nuwara Eliya di perbukitan tengah Sri Lanka. Ia harus melakukan perjalanan sejauh 170 kilometer (km) ke ibu kota komersial, Kolombo untuk mengurus paspor.
Paspor digunakan Lenora untuk bekerja di luar negeri demi menghidupi keluarganya. Ia rela menjadi pembantu rumah tangga di Kuwait, sebab suaminya telah di-PHK dari tempat kerjanya.
"Suami saya kehilangan pekerjaannya karena tidak ada gas untuk memasak dan biaya makanan meroket. Sangat sulit untuk mencari pekerjaan dan gajinya sangat rendah," kata Lenora dikutip dari Reuters, Sabtu (18/6/2022).
Ia rela bekerja di luar negeri, karena jika bekerja di Sri Lanka pendapatannya hanya US$ 6,8 atau setara Rp 100.640 per hari. Pendapatan segitu tidak akan cukup untuk menghidupi suami istri dengan dua anak itu.
"Dengan dua anak itu tidak mungkin," ujarnya.
Lenora bercerita, ketika mengantre saat ingin membua tpaspor ia bersama buruh, pemilik toko, petani, pegawai negeri, dan ibu rumah tangga. Bahkan beberapa di antaranya berkemah semalaman demi mendapatkan paspor.
"Semuanya ingin melarikan diri dari krisis keuangan terburuk di Sri Lanka," ungkapnya.
Sebagai informasi, selama lima bulan pertama 2022, Sri Lanka telah mengeluarkan 288.645 paspor dibandingkan dengan 91.331 pada periode yang sama tahun lalu, menurut data pemerintah.
Sebagian besar orang ingin kabur karena negaranya dilanda krisis ekonomi. Bagaimana bisa melanjutkan hidup jika kondisi negara kekurangan makanan, gas untuk memasak, bahan bakar, dan obat-obatan. Krisis itu terjadi akibat kelalaian dalam mengurus ekonomi dan pandemi COVID-19 menghapus cadangan devisanya.
Sri Lanka mengalami inflasi lebih dari 33%, dan kekhawatiran ketidakpastian politik dan ekonomi yang berkepanjangan mendorong banyak orang untuk bermigrasi.(dtf)