Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SETELAH mengikuti Program Guru Penggerak, saya berusaha untuk membuktikan teori-teori dalam modul tersebut. Karena itu, saya berpikir, tak ada salahnya berbagi tiga pengalaman praktik berikut ini kepada para guru.
Pertama, memperbaiki karakter dengan pendekatan "coaching". Saya menguji teori ini dengan sebuah eksperimen. Kebetulan, ada dua orang siswa yang masalahnya identik. Dan, menurut saya, kenakalan keduanya pun relatif sama.
Kepada seorang siswa, saya membuat penanganan dengan cara tradisional. Arti tradisional adalah bahwa saya lebih menonjolkan hukuman dan ancaman kepada siswa tersebut.
Hukuman dan ancaman itu, misalnya, saya dasarkan pada peraturan sekolah bahwa jika siswa melanggar, mereka bisa dikeluarkan dari sekolah. Kepada siswa lain, saya membuat penanganan dengan pola coaching.
Dalam materi Program Guru Penggerak di modul 2.3, hubungan coaching dibuat setara. Artinya, posisi guru sebagai coach dan siswa sebagai coache sederajat.
Teknisnya, guru menuntun siswa tanpa menggurui. Guru hanya perlu menggali banyak informasi dengan tujuan agar keyakinan siswa makin tebal dan kuat. Satu catatan penting, guru tak memberi bantuan secara langsung.
Guru hanya memberi keyakinan bahwa siswa tersebut mampu menyelesaikan masalah atau mencapai tujuannya dengan modal yang dimiliki siswa itu sendiri. Atas dasar penasaran dengan teori tersebut, saya lantas mencoba menerapkannya pada dua orang siswa saya tadi.
Saya pikir, hasilnya bisa dipertanggungjawabkan karena berasal dari dua kasus dengan posisi yang sama. Hasilnya adalah, dengan pendekatan coaching sekaligus juga dengan pola restitusi, sekilas tidak terlihat perubahan yang kentara pada siswa. Sebaliknya, saya melihat bahwa dengan pendekatan tradisional justru terjadi perubahan yang drastis.
Perlahan dan Pasti
Artinya, pola tradisional jauh lebih baik daripada coaching. Namun, ternyata ini hanya tampak luar. Maksudnya, perubahan siswa dengan pola pendekatan tradisional itu tidak sebenar-benarnya berubah dengan kesungguhan.
Sebab, setelah saya periksa, guru lain melaporkan bahwa siswa dengan pendekatan tradisional tetap berulah. Nyaris tak ada kemajuan apa pun. Demikian juga ketika saya tanyakan melalui tenan-teman sekelasnya.
Artinya, siswa dengan pendekatan tradisional itu hanya berubah ketika saya masuk. Tentu saja itu adalah perubahan semu karena tidak didasari oleh kesadaran.
Masuk akal memang karena dengan pendekatan tradisional, posisi kontrol guru yang diterapkan adalah sebagai penghukum. Jadi, ketika berjumpa dengan saya, siswa tersebut memilih untuk menghindari hukuman dan ancaman.
Sebaliknya terjadi dengan siswa yang saya dekati dengan pola coaching. Ketika saya masuk ke kelas, ia tidak sedisiplin siswa dengan pola tradisional.
Jika siswa dengan pola tradisional duduk rapi sehingga nyaris tak bergerak dan bersuara, siswa dengan pola coaching dan restitusi masih terlihat ribut sesekali. Terlihat bahwa perubahan drastis justru dengan tradisional.
Namun, ternyata setelah diperiksa lebih jauh lagi dengan bertanya kepada beberapa guru dan teman sekelasnya, siswa dengan pendekatan coaching tersebut menunjukkan hal yang sama ketika guru yang lain masuk, bahkan ketika guru tak hadir.
Dari sanalah saya paham bahwa siswa tersebut berubah pelan-pelan atas kesadaran diri sendiri. Dari sana pula saya menyimpulkan bahwa untuk mendidik anak secara jangka panjang, maka pendekatan yang lebih efektif adalah dengan pola coaching dan restitusi. Memang, hasilnya terlihat tidak dengan cepat. Ia berubah secara perlahan dan pasti.
BACA JUGA: Pesparawi untuk Peningkatan Kualitas Anak Didik
Praktik kedua, mengefektifkan transfer pembelajaran dengan model diferensiasi. Secara teori, juga dikuatkan dalam Quantum Teaching ala Bobby de Porter, kecenderungan gaya belajar siswa sangat beragam.
Karena itulah, kita menyebut tak ada siswa yang bodoh. Hanya ada siswa yang belum bertemu guru yang tepat. Untuk itu, kiranya perlu penjajakan melalui asesmen diagnostik. Asesmen ini dilakukan untuk melihat posisi dan kecenderungan gaya belajar siswa.
Terkait ini, saya juga mencoba melakukannya dengan membuang pikiran buruk. Setelah itu, saya menerapkan cara mengajar untuk mengakomodasi kesemua gaya belajar siswa.
Saya bahkan menuruti kemauan mereka mulai dari bagaimana cara masuk kelas. Tentu saja untuk sebuah eksperimen, saya melakukan cara tradisional di kelas lain, yang secara umum lebih siap karena berada di kelas unggulan.
Hasilnya cukup mengejutkan saya. Betapa tidak? Kelas yang saya masuki dengan pembelajaran diferensiasi, meski berstatus bukan unggulan, justru mendapat pemahaman yang lebih tinggi, baik secara postest tertulis maupun keterampilan secara lisan.
Karena itu, saya sangat meyakini bahwa pembelajaran berdiferensiasi dengan mengandalkan asesmen diagnostik akan sangat membantu guru untuk mengefektifkan proses transfer pelajaran.
Bahagia dalam Belajar
Ketiga, ini terkait dengan fasilitasi minat-bakat siswa. Kebetulan, di sekolah kami ada tiga alumni guru penggerak. Kami mengusulkan kepada kepala sekolah untuk memfasilitasi minat-bakat siswa setiap hari.
Kepala sekolah kami ternyata berpikiran yang sama. Memang, jadwal masuk belajar semakin molor, bahkan terkadang sampai satu jam. Guru-guru tidak sepenuhnya mendukung karena ditengarai mencuri waktu belajar.
Namun, faktanya, terus belajar akademik tidak otomatis membuat mereka semakin pintar. Malah terkadang sebaliknya: bosan dan malas. Maksud saya, kita jangan kaku mengartikan jam belajar berarti harus menghabiskannya total belajar.
Anak juga perlu bahagia dalam belajar. Karena itulah, setiap hari sekolah kami selalu membuka pelajaran dengan pertunjukan minat-bakat dari siswa. Pemerolehan siswa nyatanya tak berkurang.
Buktinya, meski sekolah kami tidak berstatus unggulan, dalam olimpiade, dari Humbang Hasundutan, sekolah kami justru menelurkan lebih banyak pemenang.
Selain itu, melihat kegiatan rutin yang kami lakukan di media sosial, alumni kami yang kini kuliah di Undip pun menjapri saya: andai dari dulu seperti ini, saya lebih semangat belajar dan mengeksplorasi minat bakat. Bisa jadi japrian itu subjektif. Tetapi, begitulah faktanya.
Siswa butuh sarana untuk mengeksplorasi diri. Kita harus paham bahwa melulu belajar tak akan membuat siswa pintar. Saya jadi ingat kisah seorang teman.
Sejak dari SMP sampai SMA masuk asrama. Malah, masuk kelas akselerasi. Faktanya, pencapaian kami di kemudian hari tak jauh berbeda. Yang ada, dia menyesali masa sekolahnya yang terlalu padat.
Dalam kerangka berpikir seperti itulah saya menyadari bahwa belajar itu harus berbahagia. Justru itu, dari akar katanya, bahasa Latin, yaitu schola(e), skhole, scola, skhola, sekolah adalah waktu senggang.
Akhirnya, semoga refleksi singkat ini dapat menjadi referensi bagi pendidik. Barangkali kita akan mendapat hasil yang serupa.
====
Penulis Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Dolok Sanggul, AKtif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Guru Penggerak.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]