Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
YANG perlu disadari, sekolah sebagai institusi pada dasarnya juga adalah gudang masalah. Karena itu, sangat sering masyarakat lingkungan sekolah mengambil keputusan berdasarkan beratnya masalah.
Untuk kategori paling praktis, misalnya, alasan dikeluarkannya seorang siswa atau guru cenderung diperiksa dari seberapa banyak masalah yang diperbuat. Sekolah belum sampai pada pertimbangan bahwa seseorang itu sebenarnya aset, bukan sebatas sumber masalah.
Sekolah justru fokus pada pada apa yang mengganggu, apa yang kurang, dan apa yang tidak bekerja. Sebuah cara pandang klasik atau kerap disebut deficit based thinking.
Cara pandang klasik ini berbeda dengan asset based thinking (pengembangan berbasis aset/PKA). Sebab, dengan pola PKA, sekolah melihat seseorang bukan lagi dari masalahnya, melainkan dari potensinya.
Pola ini ditemukan dan dikembangkan John McKnight dan Jody Kretzmann. Pada intinya, sesuatu hal dibangun dari kemampuan, pengalaman, pengetahuan, dan hasrat yang dimiliki oleh anggota komunitas, kekuatan perkumpulan lokal, dan dukungan positif dari lembaga lokal untuk menciptakan kehidupan komunitas yang berkelanjutan (Kretzman, 2010).
PKA mendorong komunitas untuk dapat memberdayakan aset serta membangun keterkaitannya. Dalam hal sekolah sebagai institusi, mengutip Green dan Haines (2002) pada Asset Building and Community Development, setidaknya ada tujuh aset utama yang bisa dimaksimalkan, yaitu manusia, sosial, fisik, lingkungan, finansial, agama/budaya, bahkan politik.
Kesemua modal ini jika dikembangkan tentu akan membawa pengaruh yang signifikan di sekolah. Hanya memang, syarat yang harus dimiliki adalah bahwa manajemen sekolah harus berpikir terbuka. Di samping itu, otonomi yang kuat juga harus dimiliki oleh sekolah.
Rumah Paling Ramah
Berbagai penelitian membuktikan bahwa rendahnya otonomi sekolah berkolerasi positif dengan buruknya output pendidikan. Karena itu, jauh-jauh hari, Bank Dunia sudah merekomendasikan pentingnya manajemen berbasis sekolah.
Dengan manajemen seperti itu, keterlibatan berbagai pihak, terutama orang tua dan masyarakat, menjadi lebih dimungkinkan. Sekolah menjadi bermasyarakat dan tidak lagi birokratis-borjuis. Dengan pendekatan seperti itu, kita pun bisa menghasilkan manusia-manusia terdidik. Manusia-manusia seperti ini, seperti termaktub dalam Educated karya legendaris Tara Westover, adalah manusia yang sangat menghargai kehidupan.
Mungkin kita sudah saatnya jujur pada diri sendiri bahwa sekolah cenderung menjadi racun kemanusiaan. Inilah yang diceritakan Tara Westover dalam mahakarya Educated, sebuah buku terlaris menurut New York Times.
Dalam buku bertajuk "memoar" tersebut, Tara Westover menceritakan bagaimana keluarga mereka tidak percaya lagi pada sekolah. Ayahnya bahkan memusuhi setiap anaknya yang ingin masuk sekolah.
Sebuah sikap yang dilandasi oleh ketidakbecusan manajemen sekolah. Sebuah sikap yang seharusnya tidak dapat dibenarkan. Namun, terbukti, didikan ayahnya dan ibunya membuat Tara Westover menjadi manusia yang sangat menghargai kehidupan.
Dalam buku fenomenal itu, Tara Westover seakan membuktikan bahwa orang terdidik bisa dihasilkan dari rumah, bukan sebatas dari sekolah. Tentu, kita tak berharap supaya setiap manusia tidak lagi percaya pada sekolah.
Sebaliknya, kita justru berharap supaya sekolah menjadi rumah paling ramah dalam mencetak generasi bangsa. Namun, harapan itu hanya akan benar-benar terjadi jika pendidikan berani untuk berubah dari otoriter menuju kolaboratif, dari pola piker masalah menuju pola pikir aset. Adalah fakta kehidupan bahwa semakin berkembang zaman, semakin berkembang dan bertambah pula sumber masalah.
Kita semakin terkoneksi melalui jejaring digital. Masalahnya, terkoneksi tak selalu identik dengan kolaborasi. Berbagai penelitian justru membuktikan terkoneksi dengan jaringan digital justru membuat kita semakin tersublimasi secara radikal sehingga kekerasan meniadi semakin kental.
BACA JUGA: Praktik-Praktik Baik dalam Merdeka Belajar
Karena itu, mari jangan heran, bahwa dalam inisiasi masa depan ala UNESCO dengan tajuk "Membayangkan Masa Depan Bersama: Kontrak Sosial Baru untuk Pendidikan", pendidikan sudah diharapkan untuk tidak lagi datang sebatas menanggapi dunia yang berubah. Bahwa dunia memang semakin berubah menuju modernitas, itu adalah fakta sosial.
Namun, imbas dari modernitas ini nyata-nyata justru membuat kita menepuk dada lantaran dunia kini mengalami peningkatan ketidaksetaraan, fragmentasi sosial, juga ekstremisme politik.
Karena itu, UNESCO menawarkan solusi bahwa prinsip-prinsip pendidikan harus beraroma kerja sama, kolaborasi, dan solidaritas global. Kesuksesan-kesuksesan individual sudah harus ditanggalkan.
Kiranya hal ini senada pula dengan kenyataan bahwa pendidikan sudah saatnya untuk memandang setiap manusia dari potensinya, bukan lagi dari masalahnya. Tentu, turunan teknis dari pola pikir seperti ini harus membuat kita beradaptasi dalam membuat keputusan.
Menjaga Keharmonisan Bangsa
Pasalnya, akan ada perbedaan tindakan yang diambil dan mungkin akan penuh tantangan. Misalnya, jika sekolah akan mengadakan kegiatan, sangat mungkin mereka akan terbentur dan focus pada keterbatasan, seperti tiadanya dana untuk menyewa panggung, tiada kursi untuk tamu undangan, tiada pengeras suara yang mumpuni.
Jika fokus pada masalah keterbatasan tersebut, sangat mungkin kegiatan ditunda dan akhirnya dibatalkan. Padahal, jika fokus pada potensi, kegiatan tetap bisa dilanjutkan. Panggung, misalnya, bisa dibuat dengan memaksimalkan aset sekolah, seperti menderetkan beberapa meja.
Kursi untuk tamu undangan pun bisa diambil dari ruang kelas dengan memberdayakan siswa. Pengeras suara juga bisa dengan mengandalkan mikrofon sekolah.
Maksudnya, jika saja sekolah tetap bisa fokus pada aset dan bukan melulu masalah, kegiatan akan tetap berlangsung. Ironisnya, sering sekali sekolah saat ini justru kehilangan nalar dan kreativitas karena fokus pada masalah.
Skema seperti itulah yang kiranya terjadi mengapa sering muncul tindakan intoleran, kebencian, bahkan permusuhan belakangan ini. Betapa tidak? Kita memandang manusia yang lain atau yang berbeda dengan kita sebagai masalah.
Kita rupanya belum sampai pada pemikiran bahwa mereka yang berbeda dengan kita pada dasarnya juga adalah aset yang bisa diberdayakan untuk mencapai tujuan. Maksudnya, andai saja kita memandang mereka sebagai asset dan bukan masalah, seperti pada pertunjukan itu, maka tujuan pendidikan bisa tercapai.
Saya pikir, sudah sangat terang bahwa dengan melakukan pola pemikiran berbasis aset, kita dapat fokus pada tujuan Pendidikan sehingga masalah menjadi tak relevan dan semua kita menjadi saling menghargai. Singkatnya, pola pendidikan berbasis aset sangat berpotensi untuk menjaga keharmonisan bangsa. Semoga!
====
Penulis Guru Penggerak dari Humbang Hasundutan, SMA Negeri 1 Dolok Sanggul.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]