Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
“Mobil listrik kayak gini keren, ya? Pasti hemat duit karena gak perlu bensin,” celetuk istri saya dalam satu perjalanan pulang dari sebuah pusat perbelanjaan di Medan.
Saat itu sedang lampu merah. Sebuah mobil listrik merek Wuling tepat berada di depan kami. “Kita ganti mobil kayak gitu aja, yuk?” ucapnya lagi. Saya hanya tersenyum.
Pandangan istri saya bisa jadi gambaran cukup tingginya animo masyarakat dengan kehadiran kendaraan listrik. Mesinnya yang nyaris tak bersuara dapat mengurangi hiruk pikuk kebisingan suara kendaraan bermotor yang lazim ditemui di jalanan yang padat. Kendaraan listrik juga tidak menimbulkan bau asap knalpot seperti pada kendaraan konvensional.
Ya, tanpa bahan bakar minyak (BBM), citra kendaraan listrik sebagai pelopor alat transportasi ramah lingkungan alias go green sulit untuk ditepis. Sebab, seperti yang kita ketahui, kendaraan yang mengggunakan BBM menjadi penyumbang kadar emisi karbon monoksida dalam jumlah besar.
Parahnya moda transportasi jenis ini telah digunakan manusia di banyak negara selama ratusan tahun sejak mobil, sepeda motor, truk dan kendaraan sejenis diciptakan. Efek buruknya sudah kita rasakan sekarang. Udara yang kita hirup tak lagi sehat. Suhu bumi pun tak karuan. Kadang bisa panas sepanas-panasnya. Kadang bisa hujan sederas-derasnya. Fenomena-fenomena seperti ini disinyalir sebagai dampak pemanasan global—musuh bebuyutan dunia saat ini.
Meski sepintas menumbuhkan harapan, kehadiran kendaraan listrik bukan tanpa masalah. Malah, jika tidak benar-benar dikaji secara komprehensif, keberadaan kendaraan berbasis baterai ini justru berpotensi mendatangkan masalah-masalah yang lebih rumit dan memberi efek destruktif.
Menambah Kepadatan Lalu Lintas
Dikutip dari laman Bisnis.com, PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation memperkirakan terjadinya lonjakan permintaan mobil dan motor listrik di tahun-tahun mendatang.
Tak tanggung-tanggung, di tahun 2025 kenaikan itu bisa mencapai empat kali lipat. Rinciannya begini: untuk mobil listrik diprediksi akan tembus hingga 1,2 juta unit. Sementara untuk motor listrik diyakini akan sampai pada angka 400.000 unit.
Dari sisi bisnis dan ekonomi, tentu saja ini menguntungkan. Industri otomotif akan kian mendulang sukses. Lapangan kerja akan lebih banyak tersedia.
Tapi, di sisi lain, kemacetan akan semakin parah. Pemerintah daerah di kota-kota besar Indonesia selalu dipusingkan oleh masalah yang satu ini. Biang keroknya jelas: volume kendaraan yang meningkat setiap tahunnya. Kehadiran kendaraan listrik tentu akan semakin memperburuk keadaan.
Efek macet lalu lintas tidak dapat dipandang sebelah mata. Kepadatan lalu lintas sangat berpengaruh pada produktifitas dan kualitas hidup manusia. Karena macet, para pekerja terlambat masuk kantor. Karena macet, anak-anak terlambat datang ke sekolah.
Karena macet terjadi pemborosan energi. Karena macet distribusi kebutuhan manusia tersendat. Dan karena macet terjadi peningkatan stress—untuk sekadar menyebut contoh-contoh nyata.
Langkah selanjutnya dapat ditebak: akan ada upaya perbaikan infrastruktur seperti pembangunan, perbaikan atau pelebaran jalan sebagai respon terhadap permasalahan kemacetan. Ini jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Butuh Energi Listrik
Namanya kendaraan listrik, sudah pasti perlu pasokan tenaga listrik untuk mengisi baterainya agar tetap dapat beroperasi. Tingginya permintaan masyarakat memicu peningkatan produksi kendaraan listrik seperti yang telah diprediksi oleh Indonesia Battery Corporation tadi. Dengan demikan pasokan listrik yang dibutuhkan akan semakin besar.
Memang dua tahun terakhir kebutuhan listrik di Indonesia terbilang mencukupi. Seperti yang dimuat di laman CNCB Indonesia Februari 2023, EVP Perencanaan Strategis Pembangkitan PLN Iwan Utama menyebut bahwa kapasitas pembangkit listrik 2015-2023 berhasil menyeimbangkan pasokan dan permintaan di tanah air.
Tapi, tetap saja masih terdapat kelompok masyarakat khususnya di wilayah-wilayah perbatasan, terluas, terdepan dan tertinggal yang masih belum dapat menikmati listrik. Indonesia sudah 77 tahun merdeka, bagaimana pun juga, mereka harus diprioritaskan.
Dan jangan lupa pula bahwa energi listrik kita selama ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, yaitu batu bara. Cita-cita untuk mewujudkan era net zero emission yang diharapkan terwujud di tahun 1960 akan terasa sulit.
Artinya, emisi karbon monoksida masih akan tetap ada, meski tidak ditimbulkan secara langsung oleh kendaraan listrik. Maka tidak salah untuk menyebut bahwa kendaraan listrik tidak bebas emisi.
Limbah Elektronik
Potensi masalah lain yang akan muncul adalah pencemaran lingkungan dalam wujud limbah elektronik. Baterai-baterai kendaraan listrik memiliki usia pemakaian pada rentang 10-15 tahun atau setara dengan jarak tempuh 200.000 km.
Jika kembali pada data Indonesia Battery Corporation, akan ada 1,2 juta unit mobil listrik di tahun 2025. Ini juga berarti akan muncul 1,2 juta baterai yang perlu diganti pada tahun 2035 hingga 2040. Itu masih mobil. Sepeda motor listrik belum termasuk di dalamnya.
Jumlah itu akan terus meningkat seiring tren positif kendaraan listrik dan maraknya kampanye yang dilakukan di dunia. Perusahaan-perusahaan besar seperti General Motors dan Audi dilaporkan dalam 10 tahun akan menghentikan penjualan mobil berbahan bakar bensin dan beralih pada mobil listrik.
BACA JUGA: Menyoal Sensus Pertanian 2023
Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya penumpukan baterai-baterai bekas yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan karena kandungan logam berat dan bahan kimia.
Masalah ini kian rumit karena kendaraan listrik-kendaraan listrik yang beredar saat ini dominan menggunakan baterai berjenis ion litium yang sulit untuk didaur ulang.
Konon, untuk mendaur ulang baterai jenis ini diperlukan teknologi berbiaya mahal. Lebih mahal daripada biaya menambang lebih banyak litium untuk menghasilkan baterai baru.
Maka, seperti yang dikutip dari laman bbcnews Indonesia, hanya sekitar 5% baterai litium yang didaur ulang secara global. Artinya, 95% sisanya hanya akan menjadi sampah.
Bahkan menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bukan cuma limbah dari baterai bekas saja yang berbahaya. Proses produksi dan daur ulang baterai pun ternyata menghasilkan limbah berbahaya. Sangat kompleks bukan?
Solusi
Harus diakui, jika melakukan perbadingan secara head to head, keberadaan kendaraan listrik berbasis baterai lebih menguntungkan ketimbang kendaraan dengan bahan bakar minyak. Namun mengingat potensi masalah-masalah yang ditimbulkan, ada baiknya pemerintah melakukan kajian yang lebih mendalam.
Kita bisa belajar dari Jepang. Meski merupakan negara industri otomotif terbesar di dunia, masyarakat negeri sakura itu nyatanya tidak suka menggunakan kendaraan pribadi.
Pemerintah diharapkan bisa lebih banyak menyediakan alat-alat transportasi umum berbasis listrik yang aman dan nyaman untuk mendukung mobilisasi masyarakat.
Jika pola pikir kita seperti orang-orang Jepang, tujuan ini niscaya akan tercapai. Untuk perjalanan dekat, kita bisa berjalan kaki atau bersepeda. Untuk perjalanan yang lebih jauh, kita bisa naik bus atau kereta api.
Dengan cara seperti itu bukan hanya kualitas hidup kita yang akan semakin membaik, lingkungan kita juga akan menjadi sehat, udara yang kita hirup akan lebih segar dan anak-anak kita akan punya secercah harapan untuk masa depan yang lebih cerah. Semoga!
====
Penulis Guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan Alumnus Pascasarjana Unimed
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: redaksimbdmedanbisnisdaily.gmail.com