Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
TERJADI kenaikan inflasi Indonesia yang tercatat 2,28% menjadi catatan rasional bagi masyarakat Indonesia karena sejalan dengan penurunan produksi sejumlah komoditas akibat imbas besar dari El Nino. Namun hal ini sangatlah rasional karena secara faktual daya beli masih tertekan. Ini terlihat pengaruh inflasi inti yang kembali turun, serta penurunan indeks kepercayaan konsumen serta kinerja penjualan ritel yang rendah.
Namun demikian, kinerja korporasi relatif masih baik terlihat Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur yang terus berada zona ekspansi dan neraca perdagangan yang masih mencatatkan surplus.
Jika berkaca pada data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional periode Januari hingga September 2023 faktanya mengalami penurunan 0,22 persen atau mencapai 26,11 juta ton.
Sedangkan pada Oktober hingga Desember, produksi beras diprediksi hanya 4,78 juta ton (BPS, 2023). Artinya penurunan sebesar 0,59 juta ton. Angka tersebut anjlok 10,92 persen dibandingkan tahun lalu, dengan penurunan produksi beras berada di Jawa yang turun 0,41 juta ton, Sulawesi yang menurun 0,24 juta ton, Kalimantan turun 0,04 juta ton, dan Sumatera yang turun 0,01 juta ton.
Penurunan pada produksi beras ini sejalan dengan penurunan luas panen padi di 2023. Yakni dari 10,20 juta hektare turun 255,79 ribu hektare atau setara 2,45 persen dibandingkan luas panen padi di 2022 lalu.
Konkritasasi Rasional
Data produksi pada 2023 yang turun 1,12 persen juta ton gkg atau turun 2,05 persen dibandingkan tahun lalu juga menjadi faktor besar yang sangat mempengaruhi menurunnya produksi beras nasional.
BACA JUGA: Kesadaran Teknokratis Sistem Pangan Nasional
Oleh sebab itu ada perkiraan defisit beras tahun 2023 dan memang ini seperti siklus tahunan. Pada akhir tahun, masa – masa bulan Oktober, November, Desember selalu mengalami defisit produksi beras.
Sementara kebutuhan konsumsi beras rata-rata per bulan di Indonesia adalah 2,55 juta ton per bulan. Ini menunjukkan terjadinya dependensi yang sangat besar didalamnya.
Jika kita melihat perkembangan terkini, ada 5 provinsi yang memiliki potensi panen padi tertinggi di bulan September-November 2023, dengan market share sekitar 60%.(BPS, 2023).
Tercatat, hanya di Provinsi Jawa Timur, Lampung, dan Sulawesi Selatan yang mengalami kenaikan luas panen. Masing-masing terjadi pada September, Oktober, dan November 2023. Di November 2023, Sumatra Utara masuk dalam 5 provinsi dengan panen padi terbesar, menggeser Lampung.
Mengacu data paparan saat rapat inflasi tersebut, pada bulan September 2023, curah hujan di 5 provinsi panen padi tertinggi Indonesia diprediksi dalam kategori rendah dengan level berbeda. Paling rendah di Jawa Timur, Lampung, dan Jawa Tengah.
BACA JUGA: Mengeluhkan Kenaikan Harga Beras Meskipun Surplus
Pada Oktober 2023, curah hujan di kelima provinsi masih dilaporkan rendah, namun levelnya membaik dibandingkan bulan September 2023. Dan bulan November 2023, hanya Sulawesi Selatan dan Jawa Timur yang diprediksi mengalami curah hujan rendah, sedangkan 3 daerah lain dalam kategori curah hujan menengah.
Curah hujan pada bulan September-November 2022 lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun 2022. Lantas apa langkah taktis yang perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini untuk dapat mengendalikan kondisi beras ditengah perubahan iklim yang ekstrim dengan cuaca yang sangat panas.?
Manajemen Terpadu
Secara rasional, perubahan iklim dapat mengancam sistem produksi tanaman dan oleh karena itu juga mengancam mata pencaharian dan ketahanan pangan untuk miliaran orang yang bergantung pada pertanian.
Data menunjukkan populasi penduduk yang terpinggirkan akan mengalami penderitaan luar biasa akibat perubahan iklim dibandingkan dengan populasi kaya, seperti negara-negara industri. Tak hanya negara miskin yang mengalami dampak lebih parah, tapi juga mereka yang sering kekurangan sumber daya menyiapkan dan mengatasi risiko perubahan lingkungan.
Pertanian sendiri merupakan sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim karena ketergan- tungan tinggi pada iklim dan cuaca dan juga karena orang yang terlibat di sektor pertanian cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di kota.
Dalam konteks ini, perngaruh besar dari perubahan iklim khususnya terhadap sektor pertanian di Indonesia terasa dan menjadi kenyataan. Perubahan ini diindikasikan antara lain adanya bencana banjir, kekeringan (musim kemarau yang panjang) dan bergesernya musim hujan.
BACA JUGA: Kenapa Harga Beras Tak Kunjung Turun?
Dalam beberapa tahun terakhir ini pergeseran musim hujan menyebabkan bergesernya musim tanam dan panen komoditi pangan. Sedangkan terjadinya banjir dan kekeringan menyebabkan gagal tanam, dan gagal panen.
Di Indonesia, perubahan pola hujan adalah ancaman terbesar, karena begitu banyak petani mengandalkan langsung hujan untuk kegiatan pertanian dan mata pencahariannya, setiap perubahan curah hujan menyebabkan resiko besar.
Pertanian tadah hujan sangat rentan terhadap perubahan iklim, jika praktek bertani tetap tidak berubah. Suhu yang lebih tinggi menantang sistem pertanian. Tanaman sangat sensitif terhadap suhu tinggi selama tahap kritis seperti berbunga dan perkembangan benih.
Seringkali dikombinasikan dengan kekeringan, suhu tinggi menyebabkan bencana untuk lahan pertanian. Perubahan suhu dan kelembaban udara juga dapat memicu perkembangan dan ledakan hama dan penyakit tanaman. Banjir dan kekeringan mempengaruhi produksi pertanian.
Banjir dan kekeringan yang berkepanjangan akibat dari pengelolaan air yang tidak baik dan kapasitas yang rendah mengakibatkan penurunan produksi yang signifikan.
Peristiwa perubahan iklim faktanya mempengaruhi sistem pertanian tergantung pada berbagai faktor, antara lain jenis tanaman yang diusahakan, skala operasi, orientasi pertanian terhadap tujuan komersial atau subsistensi, kualitas basis sumber daya alam, dan variabel manusia atau hilirisasi dari penataan pertanian (misalnya pendidikan, usia, toleransi resiko dll).
Adanya keragaman pola iklim, sistem pertanian, kondisi sosial, ekonomi, politik dan lingkungan menyebabkan terjadinya kerentanan, dan risiko perubahan iklim akan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, ini tentu menjadi tantangan untuk mengkaji kerentanan, dan risiko di semua wilayah.
Dalam proses ini jelas perlu dilakukan identifikasi terhadap bidang pertanian, sistem produksi, dan populasi yang paling bahaya, rentan, dan berisiko terhadap perubahan iklim.
Secara sederhana dapat dikatakan jika dampak perubahan iklim dan variabilitas iklim seperti temperatur dan pola perubahan curah hujan bulanan, serta pening- katan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrim (extreme event) seperti Nina dan El Nino.
BACA JUGA: Harapan Sensus Pertanian 2023
Ada tiga aspek dampak perubahan iklim yang dianalisis, yaitu analisis kejadian bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability) dan tingkat risiko (risk). Kerentanan tingkat kemam- puan suatu individu atau kelompok masyarakat, komunitas dalam mengantisipasi, menanggulangi, mempertahankan kelangsungan hidup dan menyelamatkan diri dari dampak yang ditimbulkan bahaya secara alamiah.Apalagi kerentanan pertanian selalu berubah seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi dan sosial.
Dalam menghadapi ancaman perubahan iklim dapat ditempuh melalui peningkatan ketahanan (resilience) sistem produksi pangan. Pada dasarnya jurus jitu menghadapi kejadian El Niño dan La Niña adalah memadukan beberapa pendekatan, seperti pendekatan teknis, sosial ekonomi dan kelembagaan.
Menghindari dampak (langkah antisipasi) dan menyelamatkan tanaman di lapangan melalui penerapan teknologi adaptasi. Kebijakan antisipasi dan adaptasi menghadapi iklim ekstrem El Niño dan La Niña difokuskan pada tiga sasaran utama.
Pertama, mengurangi dampak negatif terhadap produksi pangan dan sosial ekonomi petani, baik yang disebabkan kekeringan, banjir maupun gangguan hama dan penyakit melalui tindakan adaptasi.
Kedua, dengan meningkatkan kapasitas produksi pangan melalui optimalisasi sumberdaya lahan dan air, inovasi teknologi dan pemanfaatan sumberdaya genetik.
Ketiga, mengurangi permintaan pangan boros dalam pemanfaatan sumberdaya air dan rentan terhadap El Niño dan La Niña, serta mengembangkan pangan lokal alternatif yang lebih pas terhadap kedua peristiwa iklim ekstrem tersebut.
Dengan demikian jelas jika masalah produksi pertanian ditengah tekanan perubahan iklim bukan hal yang tak dapat diselesaikan. Pemerintah sejatinya dapat melakukan perbaikan aspek teknis dapat meliputi berbagai inovasi yang terkait dengan pengembangan sistem pertanian dan juga melalui pola tanam, pengembangan inovasi teknologi adaptif seperti penggunaan varietas unggul, teknologi irigasi dan teknologi budidaya tanaman, serta model usaha tani yang disesuaikan dengan situasi iklim yang dihadapi.
Aspek pendukung dapat meliputi pemetaan daerah rawan kekeringan, identifikasi atas sumberdaya lahan dan air alternatif, rehabilitasi fasilitas irigasi, pengembangan sistem informasi dan peringatan dini, serta penyediaan sarana dan prasarana produksi yang dibutuhkan untuk menerapkan teknologi adaptif.
Adapun perbaikan kelembagaan dapat direalisasi dengan pengembangan kelembagaan prediksi iklim, kelembagaan penyuluhan dan kelembagaan asuransi pertanian.
====
Mahasiswa S3 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]