Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
TANDA-tanda harga beras akan turun tampaknya masih belum terlihat. Justru yang terjadi harga beras masih bergerak liar dan makin melambung seiring dengan dinamika El Nino yang terjadi. Kendati pasokan masih dikatakan normal dan aman.
Law of inflation: whatever goes up will go up some more. Barangkali begitulah hukum inflasi, apa yang sudah naik akan terus naik karena apabila harga komoditas yang terlanjur naik akan terus melambung, dan kalau pun harga itu turun tetap saja sudah di atas harga sebelumnya.
Ketika harga naik, itulah yang dikatakan telah terjadi gejala inflasi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menyebut bahwa harga beras masih belum normal kembali. Jokowi menyebut El Nino menjadi biang kerok yang membuat harga pangan menjadi melambung.
Kondisi itu makin diperparah dengan kekeringan yang terjadi di sejumlah wilayah. Tak hanya itu, terdapat 19 negara juga menyetop ekspor berasnya.
Sekalipun pemerintah telah menempuh sejumlah upaya untuk menurunkan harga beras di pasaran, antara lain melalui operasi pasar, menggelontorkan beras ke retail dan grosir hingga membagikan beras untuk keluarga penerima manfaat (KPM), namun berdasar data SP2KP Kementerian Perdagangan yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), harga beras hingga pekan ketiga bulan September 2023 masih melanjutkan tren kenaikan.
BACA JUGA: Di Bawah Bayang-bayang El Nino
Tercatat, rata-rata harga beras secara nasional berkisar Rp 13.477 per kg. Rata-rata harga beras ini berbeda antar wilayah: Pulau Jawa Rp 12.384/kg, Sulawesi Rp 12.687/kg, Bali dan Nusa Tenggara Rp 12.894/kg, Sumatera Rp 13.398/kg, Kalimantan Rp 14.170/kg, Maluku Rp 14.331/kg, dan Papua Rp 14.636/kg.
Selain itu, jumlah daerah yang mengalami kenaikan harga beras juga semakin meluas. Pada pekan pertama September 2023, kenaikan harga beras terjadi di 230 kabupaten/kota, kemudian naik menjadi 263 kabupaten/kota di pekan kedua.
Dan terus melaju pada pekan ketiga di 284 kabupaten/kota. Bukan tidak mungkin kenaikan harga beras dapat memicu inflasi di bulan September 2023, sehingga berpotensi menurunkan daya beli masyarakat yang dikhawatirkan berdampak pada penambahan jumlah penduduk miskin. Ikhsan (2001) menyatakan bahwa setiap kenaikan harga beras 10 persen akan menyebabkan pertambahan penduduk miskin sebesar satu persen atau lebih dari 2 juta orang.
Ini yang perlu kita waspadai bersama. Apalagi konsumsi beras nasional meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2020, rata-rata konsumsi beras di Indonesia, baik beras lokal, kualitas unggul maupun impor tercatat 6,45 kg per kapita sebulan. Konsumsi beras kembali naik pada 2021 menjadi 6,75 kg per kapita sebulan dan 6,81 kg per kapita sebulan pada 2022.
BACA JUGA: Target Pertumbuhan 2024 di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global
Ada sejumlah tantangan dalam menurunkan harga beras dipasaran saat ini. Pertama, seperti dikatakan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi dalam keterangan resmi, Rabu (27/9/2023), bahwa kenaikan harga beras di tingkat konsumen tidak terlepas dari kenaikan harga gabah di tingkat produsen.
Naiknya harga gabah tersebut diakibatkan oleh kurangnya stok di lapangan sehingga terjadi perebutan gabah yang memicu kenaikan harga di tingkat petani. Kenaikan harga gabah dapat digunakan sebagai momentum untuk mendorong peningkatan produksi karena harga di tingkat petani relatif baik.
Oleh karena itu, faktor-faktor produksi seperti penyediaan lahan, pengolahan, pupuk, benih, penyuluhan hingga teknologi dan mekanisasi sangat penting dalam menjaga tingkat produksi di lapangan di tengah ancamana El Nino yang berdampak pada penurunan produksi.
Kedua, faktor perkiraan produksi beras yang cenderung menurun, salah satunya dipengaruhi El Nino. Berdasar data BMKG, ancaman El Nino diperkirakan akan mencapai puncaknya pada Agustus dan September 2023. Sementara itu, berdasar perkiraan Kementerian Pertanian, dampak El Nino bisa mengurangi produksi beras 300 ribu ton sampai 1,2 juta ton.
Bahkan dalam beberapa bulan ke depan hingga awal tahun nanti, produksi beras berpotensi akan memasuki level terendah. Berdasar data sementara Kerangka Sampel Area (KSA) yang dilakukan BPS, pada September hingga November 2023, produksi beras nasional diperkirakan lebih rendah dari total kebutuhan konsumsi beras yang mencapai 2,55 juta ton per bulan.
Pada Oktober 2023 misalnya, perkiraan produksi padi nasional tercatat 3,82 juta ton gabah kering giling (GKG) atau lebih rendah dari bulan sebelumnya 4,07 juta ton GKG.
BACA JUGA: Menyoal Sensus Pertanian 2023
Padahal biasanya di Oktober adalah waktu awal tanam dan akan di panen akhir Januari atau awal Februari tahun depan saat musim panen raya. Namun karena situasi El Nino membuat hujan datang terlambat atau memasuki musim paceklik.
Tentu ini berdampak pada mundurnya musim tanam, dan di bulan Oktober 2023 diperkirakan akan terjadi defisit beras 0,27 juta ton. Defisit ini jauh lebih tinggi dari bulan September 0,09 juta ton, sehingga yang perlu diwaspadai adalah kenaikan harga beras di sejumlah wilayah akibat keterbatasan pasokan.
Ketiga, menyangkut stok beras nasional yang kian menipis. Stok yang menipis tergambar dari volume beras yang disalurkan untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP). Dua bulan terakhir, Juli - Agustus, rerata penyalurannya sekitar 68 ribu ton per bulan, tiga kali lipat lebih dari rerata periode April - Juni. Lantas, kapan harga beras akan turun?
Meminjam pandangan ekonom dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori, harga beras turun agak sulit. Operasi pasar dan bantuan sosial (bansos) beras kemungkinan hanya akan menahan kenaikan harga beras. Hal itu berdasarkan dari pengalaman sebelumnya.
Harga bisa turun kalau kebutuhan pasar, berapapun jumlahnya, dipenuhi. Masalahnya, dengan stok seperti sekarang pemenuhan itu bakal menguras cadangan yang ada. Saat ini, stok di Bulog 1,5 juta ton.
Kemudian akan datang 0,4 juta ton beras impor. Berarti total stok beras ada 1,9 juta ton. Stok ini dikurangi bansos beras 3 bulan sebesar 640-an ribu ton. Perkiraan, September hingga November volume SPHP total 150 ribu ton. Karena Desember tak ada bansos beras, SPHP bisa 100 ribu hingga 150 ribu ton.
Artinya, stok akhir akan di bawah sejuta ton beras. Stok yang ada cukup rawan. Kalau pasar bergejolak, pemerintah bisa kesulitan melakukan pengendalian karena stok terbatas.
Keempat, menyangkut persoalan integrasi data perberasan. Sudah saatnya pemerintah harus mengintegrasikan data antar lembaga pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk menghitung ketersediaan beras secara nasional maupun daerah.
Kita pun tak mau lagi mendengar persoalan klasik perbedaan data beras antar lembaga pemerintah. Karena itu, sinergi dan kolaborasi antar lembaga pemerintah itu penting untuk dilakukan, terutama untuk integrasi data stok dan neraca beras di daerah. Beras merupakan salah satu komoditas dari struktur data pertanian yang ada.
Menurut Ari Anggorowati (2023), sumber data pertanian bukan hanya dari satu kementerian atau lembaga. Integrasi data pertanian dari berbagai produsen data dapat dioptimalkan.
Integrasi data pertanian dapat dikumpulkan oleh BPS sebagai penyedia data nasional, lalu Kementerian Pertanian, asosiasi, kelompok-kelompok tani, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, serta produsen data lainnya.
Integrasi data yang ada dapat menjadi dasar atas terbentuknya satu data pertanian Indonesia, yang akan menjadi referensi pada berbagai isu pembangunan pertanian.
Pada akhirnya kita pun berharap bahwa strategi pengelolaan stok beras dan kemampuan pengelolaan psikologi pasar akan mampu menjinakkan lonjakan harga (inflasi) beras di dalam negeri.
BACA JUGA: Peran Penting Kelompok Tani Ujung Tombak Ketahanan Pangan
Selain itu, upaya percepatan penyaluran cadangan beras pemerintah sebanyak 210 ribu ton per bulan untuk bantuan pangan beras 10 kg kepada 21,35 juta KPM selama tiga bulan (September, Oktober dan November) diharapkan mampu mengurangi beban ekonomi masyarakat, dan mesti segera didistribusikan.
Merujuk pada data Badan Pangan Nasional (Bapanas), hingga 23 September 2023 sudah tersalurkan bantuan beras sebanyak 120.275 ton (59,89%) untuk alokasi bulan September di 38 provinsi.
Tak kalah pentingnya, dinas urusan pangan provinsi dan kabupaten/kota agar mempercepat realisasi penyerapan anggaran dekonsentrasi dengan total Rp 142 miliar se-Indonesia terutama dalam rangka pengendalian inflasi daerah dan penguatan ketahanan pangan daerah.
Untuk mencapai semua itu, sekali lagi, diperlukan kolaborasi, sinergi, kerjasama, komitmen, dan tanggung jawab bersama semua pihak, termasuk tim pengendali inflasi pusat maupun daerah.
====
Penulis Statistisi Ahli Madya di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]