Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
TEKANAN pemeliharaan pangan nasional boleh jadi memberi aksentuasi baru bagi langkah rasional guna mendukung stabilatas pangannasional. Hal ini menjadi dasar rasional menciptakan antisipasirasional dalam menyelamatkan pangan dari krisis pangan nasional.
Kesadaran ini telah diingatkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan dunia saat ini dihadapkan berbagai ancaman, termasuk krisis pangan. Hal ini Beliau sampaikan saat sidang terbuka Dies Natalis ke-60 Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 15 September 2023.
Apa yang menjadi keresahan Presiden Jokowi faktanya sangatlah beralasan karena tekanan penduduk dunia dari hari ke hari semakin meningkat, termasuk Indonesia yang mengalami kenaikan sebesar 1,25 persen per tahun.
Terjadinya arus peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan kebutuhan pangan. Namun yang terjadi saat ini, kebutuhan pangan harus ditekan oleh masalah perubahan iklim yang mengganggu produksi pangan.
Apa yang menjadi keresahan Presiden Jokowi memang mendasar, apalagi hal ini juga diperburuk dengan ketidaksuburan kawasan pangan di seluruh wilayah Indonesia.
BACA JUGA: Mengeluhkan Kenaikan Harga Beras Meskipun Surplus
Melihat kenyataan di atas, maka ada satu persoalan yang wajib diingat, masalah pangan sekiranya juga bukan menyangkut perubahan iklim, krisis pangan juga disebabkan masih belum meredarnya ketegangan geopolitik termasuk soal pemblokiran akses pangan akibat masalah politik Rusia dan Ukraina.
Kondisi semakin sulit karena faktanya 19 negara dunia telah membatasi ekspor pangan demi menyelamatkan rakyatnya masing-masing. Yang terbaru, negara India
memutuskan untuk berhenti mengekspor beras. Sebagai dampaknya harga beras naik di semua negara. Indonesia pun semakin sulit untuk mendapatkan beras impor.
Jika terus menerus terjadi ketidakstabilan pangan dalam negeri, maka dampaknya akan menyebabkan kemerosotan dalam negeri.
Arah Kebutuhan
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat, sehingga komoditas tanaman pangan utamanya padi merupakan suatu komoditas yang sangat penting dan strategis.
Ketersediaan pangan merupakan aspek penting dalam mewujudkan ketahanan pangan karena penyediaan pangan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan secara berkelanjutan.
BACA JUGA: Kenapa Harga Beras Tak Kunjung Turun?
Jika menelisik data secara berkala, sejak dulu Indonesia menghadapi masalah pangan, bahkan di masa mendatang akan menjadi masalah lebih serius jika sektor pertanian sebagai penghasil pangan tak digarap secara serius.
Faktualnya, dari waktu ke waktu menurunnya perhatian terhadap sektor pertanian, membanjirnya beras impor memasuki pasar domestik sehingga menurunkan gairah petani bertanam padi, mengandalkan sumber pangan hanya pada beras, dan diversifikasi pangan masih sebatas slogan dan retorika belaka, telah mengakibatkan sistem ketahanan pangan nasional semakin melemah.
Berbicara soal krisis pangan, doktrin Malthus sampai hari ini kenyataanya diungkit-ungkit kembali. Malthus pada 1798 pernah mengajukan teori yang berjudul Essay on the Principle of Population, yang memberikan bukti pertumbuhan penduduk akan mengungguli pertumbuhan produksi pangan, kecuali ada perang, wabah penyakit atau bahaya kelaparan.
Malthus menulis teori ini pada saat Inggris dilanda krisis pangan yang serius, yakni sebelum terjadinya revolusi pertanian yang memungkinkan intensifikasi dalam usahatani.
Malthus pun mengungkapkan pertumbuhan penduduk yang melebihi pertumbuhan produksi pangan adalah tantangan bagi manusia melakukan eksperimentasi dan
inovasi di bidang produksi pertanian.
Dalam konteks ini, peningkatan produksi pangan memang telah terjadi terutama di negara maju, tetapi negaranegara sedang berkembang dan miskin justru sebaliknya.
Tampaknya sudah ada konsensus umum bahwa meskipun dunia telah surplus pangan saat ini, kelaparan masih terjadi di negaranegara miskin, dan pangan
akan tetap masih menjadi masalah yang merisaukan di masa-masa mendatang.
Saat masa Hindia Belanda, dalam mengatasi masalah pangan, pemerintah Belanda saat itu mendirikan Sticking het Voedings Middelen Fonds (VMF) yang bertugas membeli, menjual dan mengadakan persediaan bahan makanan (dalam hal ini beras) dan lahirlah stock policy.
BACA JUGA: Probabilitas Kinerja APBN untuk Ekonomi Indonesia
Pada masa pemerintahan Indonesia, peningkatan produksi beras yang dilakukan sejak tahun 1959 terus dipacu melalui revolusi hijau dan telah menunjukkan keberhasilan sangat menakjubkan yakni dicapainya swasembada beras tahun 1984, sehingga merubah status Indonesia dari sebuah negara importir beras terbesar di dunia dalam tahun 1970-an ke negara swasembada.
Dalam rentang waktu 1980 an akhir, produksi beras meningkat rata-rata 4,5 persen per tahun. Keberhasilan ini akibat kebijakan yang menekankan penggunaan teknologi baru, investasi infrastruktur, dan harga-harga yang menguntungkan para petani.
Penggunaan varietas unggul hasil tinggi, penggunaan pupuk, penyuluhan kepada petani dan perbaikan pengelolaan air irgasi adalah dasar kunci dalam meningkatkan produksi beras dalam negeri.
Oleh karena itu selama kebutuhan pangan Indonesia masih bertumpu pada satu jenis pangan yakni beras adalah sangat riskan dan rawan. Jika sewaktu-waktu terjadi kegagalan panen, maka kelaparan akan mengancam.
Untuk itu, agar Indonesia mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani dan nelayan, serta peningkatan produksi yang diatur dengan undang- undang. Sebagaimana amanat konstitusi negara Indonesia.
BACA JUGA: Tantangan Industrialisasi Indonesia
Tantangan Rasional
Dalam era digitalisasi seperti sekarang perdagangan relatif gampang mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, namun ada beberapa faktor penting yang perlu mendapat perhatian yaitu kondisi politik dunia, kondisi produksi pangan dunia, dan kondisi atau ketersediaan devisa dalam negeri.
Kondisi politik dunia yang kacau akan membuat produksi dan distribusi pangan dunia akan terganggu, yang pada akhirnya akan menyulitkan negara-negara yang
mengandalkan pangannya dari impor.
Kondisi atau ketersediaan devisa suatu negara importir akan mempengaruhi kuantitas impor pangan. Jika devisa dalam negeri tersedia jumlah yang cukup, maka impor pangan tidak menjadi masalah.
Namun sebaliknya, jika devisa dalam negeri langka, maka akan menyulitkan negara-negara impotir pangan. Semakin menipisnya devisa yang diperoleh dari ekspor minyak bumi mungkin menempatkan Indonesia pada posisi yang lebih sulit jika menggantungkan kebutuhan pangannya dari impor.
Untuk negara yang bertekad pada swasembada (self-sufficient), mengurangi impor adalah relatif mudah. Dengan meningkatkan harga biji-bijian cukup tinggi, konsumsi akan menurun, produksi akan distimulasi, dan jurang impor dapat tertutup.
Pencapaian swasembada tentu merupakan keberhasilan suatu kebijakan pangan. Namun pengurangan impor pangan tidak menjamin bahwa penduduk miskin memiliki cukup pangan untuk dimakan, dan boleh jadi banyak yang bertambah jelek atau kekurangan pangan (Timmer et al, 1983). Melihat kekhawatiran ini jelas jika butuh keseimbangan rasional untuk dapat saling mengisi.
BACA JUGA: Harapan Sensus Pertanian 2023
Sebagai solusi rasional, untuk terus menjaga keamanan pangan pemerintah harus dapat secara ptaktis memadukan hubungan interaksi antara teknologi, sumberdaya manusia yang dikoordinasikan, baik melalui mekanisme pasar atau mekanisme pengaturan lainnya seperti kebijaksanaan pemerintah yang mengatur produksi pertanian.
Dalam rasional ini, solusi dari permasalahan dan tantangan utama untuk dapat mencapai derajat keamanan pangan yang tinggi adalah mengatasi atau memecahkan masalah dalam pengorganisasian seluruh subsistem dalam sistem pangan, subsistem masukan, subsistem produksi, subsistem pemasaran, dan subsistem konsumsi.
Melalui serangkaian cara teknokratis ini kemajuan dan keberlanjutan pangan akan dapat terus lestari.
====
Analis dan Mahasiswa S3 Universitas Indonesia
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]