Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MAS ATQA dari Kemendikbud menghubungi saya. Mereka punya niat melakukan penyuluhan para petani kemenyan. Penyuluhan itu dari hulu, tapi lebih menekankan hilirisasi. Hilirisasi supaya kemenyan naik daun kembali.
Selama ini, petani kemenyan hanya menjual getah. Harganya di kisaran Rp100.000-300.000. Bagi orang yang tak paham, harga itu sudah menjanjikan. Namun, bagi yang paham, harga itu cukup rendah. Rendah sekali malah.
Konon ceritanya, sekilogram kemenyan adalah segram emas. Itulah sebabnya kemenyan adalah sumber masa depan orang Batak. Terbukti, salah satu sebutan rezeki bagi orang Batak tradisional disederhanakan dengan kalimat: sai margota ma na niula ni tanganmuna (teruslah mengeluarkan getah apa yang dikerjakan tanganmu).
Masalahnya kini, harga emas kian melambung, harga kemenyan malah menurun. Tidak hanya harga, bahkan hasil panen pun jauh berkurang. Akibatnya, petani kemenyan mulai berkurang. Mereka meninggalkan lahan kemenyan.
BACA JUGA: Menggelorakan Opera Batak
Untuk beberapa kasus, lahan dibiarkan begitu saja menganggur. Pada beberapa kasus lain, lahan itu direbut oknum atau perusahaan. Maka, semakin menyempitlah lahan kemenyan. Apalagi kemudian, ada beberapa masyarakat beralih "profesi".
Lahan kemenyan, misalnya, diubah jadi lahan tanaman mudah, seperti cabai, sayuran, bahkan kopi. Ada banyak alasan mereka meninggalkan dan mengalihkan fungsi lahan kemenyan tersebut. Alasan itu pada umumnya bahwa kemenyan tak lagi menjadi masa depan.
Rupanya, "sai margota ma na niula ni tanganmuna" tak lagi relevan untuk Batak. Apakah kemenyan ini akan semakin ditinggalkan, bahkan akhirnya tertanggalkan dari kultur Tanah Batak? Kemungkinan untuk itu tentu saja sangat besar.
Apalagi hidup tidak terjamin dari kemenyan. Masih ada tanaman lain yang lebih menjanjikan. Persoalannya, apakah kita begitu saja meninggalkan kultur kemenyan ini? Perlu pemikiran lebih mendalam. Sebab, kemenyan sudah mendarah daging bagi kita.
BACA JUGA: Pembicaraan Adat dan Kebudayaan Memang Menarik
Malah disebutkan dalam berbagai catatan, pada masa silam—diproyeksi mulai terjadi 2500 sebelum Masehi (temuan Tumanggor, 2017; 2019)—komoditas unggulan Nusantara ini diperdagangkan dengan bangsa Cina, Eropa, dan Arab di Tapanuli (Tanah Batak).
Jaringan perdagangan ini kemudian melahirkan pertukaran budaya dan bahasa, tepatnya pengayaan budaya. Yang menarik, jalur rempah di Barus tidak bermula dari masa kolonial. Jauh sebelum Eropa, Barus sudah menjadi titik yang menarik perhatian.
Dilansir dari kemdikbud.go.id, dalam sebuah teks kuno abad ke-7 tertulis bahwa pada abad ke-12 di Barus terdapat sebuah gereja dan biara Mesir, sedangkan pada abad ke-9, Barus didatangi oleh orang-orang Fansur (orang Timur Tengah, Persia, dan India).
BACA JUGA: Salah Strategi Membersihkan Pyramid of Toba (?)
Sangat menarik mengimajinasikan terkait biara dan gereja Mesir. Sebab, pada masa silam, sebagai salah satu pusat imperium, Mesir sangat dekat dengan kemenyan. Sementara itu, pada saat yang sama, kemenyan terbaik berasal dari Nusantara.
Yang terbaik di Nusantara pun berasal dari Tapanuli atau sering disebut Kemenyan Toba. Mengapa Mesir bisa dipertemukan dengan Tapanuli melalui jalur rempah? Ini terkait dengan budaya Mesir yang suka dengan wewangian serta pembalseman sosok penting (mumi).
Mesir adalah pengembang pertama budaya wewangian (parfum). Bangsa Mesir percaya parfumlah yang menyertai roh naik ke surga selain bisa menjaga kulit mayat tetap sehalus sutra. Prosesi pembalseman mumi menggunakan parfum dengan bahan baku kemenyan.
Masih banyak untuk diceritakan. Intinya, adalah rugi besar bagi kita jika menanggalkan kultur kemenyan. Karena itu, kita berharap ada hilirisasi dan penyuluhan kepada petani dan pengrajin kemenyan supaya kemenyan kembali mahal.
BACA JUGA: Siapa Bilang Monsak tak Mendidik, Hadapilah Parmonsak!
Karena itu pula, saya selalu terobsesi untuk menggelorakan semangat petani kemenyan. Entah dari bidang literasi ataupun budaya. Katakan, misalnya, Opera Batak tentang kemenyan. Kita pun jadi melestarikan haminjon dan merevitalisasi opera Batak.
====
Penulis Tim Ahli Cagar Budaya Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]