Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Palas. Suara bising dentuman palu beradu dengan batu saling bersahutan bersama nyamannya suara aliran sungai. Terdengar jadi membentuk notasi irama yang berbeda.
Suara itu tak lain bersumber dari aktifitas sekumpulan ibu-ibu pemecah batu di Desa Gunung Barani, Kecamatan Barumun Selatan, Kabupaten Padang Lawas (Palas), Sumatra Utara. Usia mereka rata-rata setengah abad, bahkan ada yang lebih.
Tuntutan ekonomi demi mengebulkan asap dapur, biaya anak sekolah juga keperluan lain merupakan alasan utama mereka bekerja sebagai pemecah batu menjadi batu split.
Meski dalam sehari ibu-ibu pemecah batu di Desa Gunung Barani ini hanya mendapat penghasilan sekitar Rp 30.000, namun faktor ekonomi dan sulitnya pekerjaan, memaksa ibu-ibu tersebut untuk menekuni pekerjaan keras ini hingga puluhan tahun.
Boru Hasibuan (55), salah satu perempuan pemecah batu sungai menjadi batu split mengaku ia sudah 25 tahun bekerja menjadi pemecah batu.
"Sekitar 25 tahun jadi pemecah batu, sejak saya masih gadis, sekarang saya sudah punya cucu," ungkapnya kepada medanbisnisdaily.com (5/2/2024)
Diungkapkannya, untuk memperoleh uang sebesar Rp 30 ribu tersebut, perjuangannya tidak mudah. Sebab, sebelum batu dipecahkan, dia harus terlebih dahulu mengangkat batu bulat dari sungai ke pondok sederhana, yang sengaja dibuat agar terhindar dari teriknya matahari.
Boru Hasibuan mengaku, dengan alat seadanya dia bisa mengumpulkan hingga 2 kubik batu split setiap pekannya. Pekerjaan ini memang cukup berat. Dirinya harus mengubah bentuk batu menjadi bongkahan kecil.
"Bila dijual satu kubik Rp 120 ribu, Seminggu bisa dapat Rp 240 ribu. Jadi kalau dibagi, sehari cuma dapat duit Rp 30 ribu. Kecil memang, tapi mau gimana lagi," terangnya
Berkurangnya Pembeli
Boru Hasibuan mengatakan, sebelum marak penggunaan mesin pemecah batu atau crushrer di sejumlah wilayah di Tabagsel, sebenarnya batu split produk warga Desa Gunung Barani cukup laris. Sehingga bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.
Namun hal tersebut tak berlangsung lama sejak menjamurnya crusher, baik berizin maupun ilegal. Buntutnya, penjualan split hasil warga pun turun drastis.
"Kalau dulu lumayan, sebelum adanya pabrik pabrik pemecah batu itu. Sehari bisa dapat Rp 50.000," ucapnya.
Berkurangnya pesanan split produk pemecah batu manual asal Gunung Barani juga tidak lepas dari sepinya pekerjaan proyek karena depisitnya Pemkab Palas tahun lalu.
Meskipun kehidupan mereka begitu memprihatinkan, namun boru Hasibuan mengaku belum pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah. Sejumlah bantuan sosial yang sering diberitakan bisa dimanfaatkan bagi rakyat kecil, nyatanya juga tak pernah ia rasakan.
"Sejak saya bekerja jadi pemecah batu puluhan tahun silam, mohon maaf belum pernah ada bantuan. Bahkan bantuan seperti palu untuknya bekerja," keluhnya.