Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pemerintah saat ini masih menggodok skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) flat 35 tahun. Dengan panjangnya masa tenor dinilai dapat meringankan beban pembayaran cicilan rumah bagi masyarakat.
Adanya rencana penerapan skema KPR flat 35 tahun ternyata bukan tanpa alasan. Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan Infrastruktur dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna menuturkan, hal ini untuk mengatasi isu sektor perumahan.
Herry mengatakan, terdapat isu perumahan yang ada, yaitu availability, affordability, accessibility, dan sustainability. Terkait masalah availability atau ketersediaan rumah, kata Herry, harus ada produknya terlebih dahulu supaya masalah perumahan bisa teratasi. Terlebih lagi, rumah merupakan hak konstituen bagi semua warga negara.
"Sehingga kalau kita bicara empat tantangan tadi, kalau saya pandangannya, pertama masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) harus dibuat mampu untuk membeli (rumah)," ujar Herry di kantor Kementerian PUPR, Jakarta, ditulis Sabtu (9/3/2024).
Untuk dapat membeli rumah, salah satu caranya adalah melalui KPR. Sebab, tidak semua orang mampu membeli rumah secara tunai atau cash.
Untuk bisa mencicil rumah, setidaknya 30% dari penghasilan saja yang digunakan. Sementara 70% dari penghasilan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
"Kalau (gaji) Rp 4 juta kan sepertiganya, Rp 1 jutaan (untuk cicilan). Kan gitu ceritanya kenapa akhirnya jadi flat 35," tuturnya.
Jika dikaitkan dengan urbanisasi, saat ini banyak orang yang tinggal di perkotaan, namun tidak tersedia banyak rumah karena keterbatasan lahan. Maka dari itu, diperlukan adanya hunian vertikal.
Akan tetapi, harga hunian vertikal di tengah kota cukup mahal, bahkan harganya bisa 2 kali lipat dari rumah tapak. Maka dari itu, skema KPR flat 35 tahun menjadi salah satu jawaban untuk MBR yang bekerja di perkotaan dan ingin memiliki rumah dengan harga terjangkau serta tenor lebih dari 20 tahun.
"Kalau rumah vertikal harganya 2 kali lipat lebih, jadi Rp 400 juta. Rp 400 juta tadi kalau cicilannya dikali dua, jadi Rp 2,5 juta cicilannya. Desil 4 tadi jadi nggak bisa cicil, lha wong Rp 2,5 juta kali 3 kan Rp 7,5 juta. Yang bisa (beli rumah vertikal) adalah yang pendapatannya di atasnya," paparnya.
"Nah ini yang akhirnya kita harus cari sesuatu agar mereka bisa cicil, di perkotaan terutama dan berani cicil dari sejak bekerja, dari awal. Jangan di ujung, jadi waktunya leluasa untuk merencanakan hidup," tambahnya.
Menurutnya, semakin panjang tenor cicilan, maka besaran cicilan yang dibayarkan akan semakin kecil. Hal ini tentunya bisa membuat banyak orang berani untuk membeli rumah sesuai dengan pendapatannya.
"Jadi satu kita harus membuat suatu produk yang memungkinkan orang mencicil, terutama rumah vertikal, sehingga dia bisa dekat tinggal degan tempat kerjanya, jadi lebih produktif," ungkapnya.
Ke depan, apabila tingkat perekonomian seseorang yang sudah melakukan akad pembelian rumah dengan tenor 35 tahun sudah meningkat, maka ia bisa melunasi harga rumah yang sudah diikat pada akad pembelian lebih dulu. Jadi tidak perlu membayar cicilan hingga 35 tahun lamanya.
Menurut Herry, dengan adanya skema KPR flat 35 tahun ini orang-orang jadi punya pilihan dalam memiliki rumah dan juga bisa merencanakan masa depannya.
"Yang penting, secara produk ada availability dan ini membuat jadi affordable. Kalo dia (rumah) affordable, dia berani untuk melakukan akad (pembelian rumah)," pungkasnya.(dtp)