Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Psikolog Irna Minauli dari Minauli Consulting sekaligus Dosen psikologi dari Universitas Medan Area (UMA) menilai, para perempuan sepertinya enggan ikut berpartisipasi sebagai Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) dalam Pemilihan umum (Pemilu) mendatang, disebabkan masih terikat dengan norma-norma atau tradisi konservatif yang sudah ter-mindset atau menjadi stigma di kalangan masyarakat Indonesia.
Sementara, untuk pemenuhan quota bagi partai politik (parpol), sesuai peraturan KPU, harus terpenuhi minimal 30%. Dan ini menjadi syarat mutlak, agar parpol dapat lolos melenggang di pemilu nanti. Alhasil, banyak pengurus partai mengajak keluarganya, para istri, anak perempuan atau saudara perempuan mereka untuk turut serta sebagai bacaleg.
"Hal ini miris, sebab zaman sekarang, tidak ada lagi istilah perempuan dilarang berpolitik atau dianggap tabu jika perempuan terjun ke dunia politik," kata Irna kepada medanbisnisdaily.com di Medan, Kamis (19/7/2018).
Dijelaskannya, pada kebanyakan budaya sering dibuat pembagian berdasarkan gender. Dalam pandangan ini, para perempuan identik dengan femininitas yang dianggap bahwa berada di area domestik (rumah tangga) sedangkan area politik dianggap sebagai area maskulin sehingga tidak sesuai dengan kondisi para perempuan.
Banyaknya konflik dan intimidasi, lanjut Irna, dianggap tidak sesuai dengan sifat gender femininitas yang bersifat mengasuh dan merawat.
"Padahal, jika diberi kesempatan terbukti bahwa perempuan dapat menunjukkan prestasi yang sama bagusnya dengan laki-laki dalam masalah politik. Akan tetapi banyak perempuan yang membuat batasan bagi dirinya sendiri (ceiling glass)," tegasnya.
Dijelaskannya, dari sudut pandangan belajar sosial (social learning theory), para perempuan sering belajar dari perempuan-perempuan lain yang sudah terlebih dahulu memasuki dunia politik. Misalnya ketika mereka melihat bahwa para politisi perempuan seringkali gagal dalam kehidupan perkawinan atau dalam pengasuhan anak.
"Kondisi ibu membuat mereka khawatir akan mengalami masalah yang sama. Itu sebabnya kebanyakan yang berani masuk ke dunia politik umumnya adalah mereka yang tidak terikat perkawinan. Lingkungan seringkali "menakut-nakuti" perempuan sehingga mereka tidak berani terlibat dalam politik," bebernya.
Akan tetapi dalam perkembangannya saat ini, papar Irna, dimana mulai ada gerakan "Barisan Emak-emak Militan" memberikan insight bahwa ketika mereka melihat bahwa kelompok mahasiswa yang seharusnya menjadi penggerak ternyata tidak mampu berbuat apa-apa, maka para perempuan pun mulai menunjukkan peranannya.
"Hal ini dapat meningkatkan keberanian para perempuan untuk lebih terlibat dalam politik," ujarnya.