Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Anggota MPR Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu mengatakan Indonesia bisa semakin kuat dengan kebhinnekaan. Oleh karena itu penting bagi semua pihak untuk menjaga dan merawat kebhinnekaan.
"Sejak awal negara kita dirancang untuk semua, baik berbagai suku, adat istiadat, agama dan keyakinan yang berbeda. Karena itu sesungguhnya kita tidak mengenal warga negara kelas dua. Semuanya sama karena negara ini didirikan untuk semua," kata Masinton, Senin (4/3/2019).
Hal tersebut diungkapkannya dalam Diskusi Empat Pilar MPR bertema "Merawat Kebhinnekaan Indonesia" di Media Center Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta. Diskusi ini adalah hasil kerja sama MPR dan Pengurus Koordinatoriat Wartawan Parlemen.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam sejarah bangsa Indonesia, baik NU dan Muhammadiyah menjadi bagian dari pemilik saham terbesar bangsa ini.
"Karena itu NU dan Muhammadiyah punya kewajiban menjaga bangsa dan negara ini langgeng dengan prinsip kebangsaan, yaitu negara untuk semua meskipun memiliki latar belakang yang berbeda," ujarnya.
Ia mengingatkan dalam merawat kebhinnekaan itu ada upaya dari sekelompok kecil yang melakukan gerakan-gerakan seperti apa yang terjadi di Timur Tengah. Karena itu dia menegaskan Indonesia didirikan untuk semua dengan konsepsi Pancasila. Hal ini harus dijaga dan dirawat.
"Gerakan itu bukan tidak ada, tapi gerakan itu ada meski kecil. Misalnya, kasus bom bunuh diri," ucapnya.
Sementara itu juru bicara PBNU, Nabil Haroen juga mensinyalir akhir-akhir ini ada upaya yang dilakukan segelintir orang untuk membuat polarisasi di negeri ini.
"Tidak hanya saat Pemilu Presiden (Pilpres). Tapi sudah ada sebelumnya. Mereka ingin memecahbelah dan mengkotak-kotakan sehingga terjadi benturan-benturan di masyarakat," ungkap Nabil.
Ia pun menegaskan NU akan selalu dan terus berjuang dalam menjaga NKRI. Dari sejarah NU, mulai dari prakemerdekaan sampai sekarang, terlihat komitmennya terhadap Indonesia.
"Sampai kapan pun NU dan badan-badan di bawahnya akan selalu menjaga kebhinnekaan Indonesia," tuturnya.
Dia juga menyinggung keputusan Munas NU di Banjar soal kafir.
"Dalam berbangsa tidak dikenal kafir, tetapi sebagai sesama anak bangsa. Ini sesuai dengan ajaran NU, ukhuwah wathoniah, yaitu persaudaraan sesama anak bangsa. Keputusan ini adalah salah satu upaya dan komitmen NU terhadap kebangsaan. Urusan teologi ada di kamar masing-masing, tetapi sebagai anak bangsa kita menyebutnya sesama warga negara," jelasnya.
Senada dengan Masinton dan Nabil, pengamat politik, Pangi Syarwi mengatakan kebhinnekaan itu adalah sebuah keniscayaan.
"Kita memang bhinneka dan berbeda. Tapi dengan kebhinnekaan itu, Indonesia malah semakin kuat," kata Pangi.
Menurutnya dalam hal kebhinnekaan orang Indonesia tidak perlu diajarkan tentang toleransi.
"Bahkan NU dan Muhammadiyah tidak mau lagi diajarkan soal toleransi. Karena kedua organisasi besar itu sudah clear tentang pluralisme, kebhinnekaan, dan ke-Indonesiaan. Kalau kita ajarkan ormas itu tentang toleransi keberagamaan, kita jadi mundur lagi," ujarnya.
Namun, Pangi menyebutkan saat ini ada fenomena yang membenturkan antara nasionalisme dan Islam. Juga dihadap-hadapkan antara Saya Pancasila dan Tidak Pancasila, Toleran dan Intoleran, Nasionalisme dan Islam (Radikal).
"Antara yang paling Pancasila dan tidak Pancasila. Antara yang paling toleran dan tidak toleran. Antara yang nasionalis dan Islam. Ini dibenturkan terus menerus. Ini sangat berbahaya. Sampai kapan ini bisa selesai?" tanyanya.
"Biasanya kalau sudah dibelah-belah seperti ini agak susah. Recoverinya agak lama. Kita tidak selesai ber-Pancasila, bertoleransi. Marilah kita bernarasi tentang keadilan, kesejahteraan, kebangsaan, Merawat ke-Indonesiaan, kebhinnekaan itu penting," imbuhnya. dtc