Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Suroso Rahutomo*
Masalah stunting (gangguan pertumbuhan anak akibat kekurangan asupan gizi kronis) sempat dibahas dalam debat ketiga Pilpres yang menampilkan dua cawapres tanggal 17 Maret lalu. Kedua cawapres mengajukan strategi andalan masing-masing yang akan diterapkan untuk segera mencegah dan mengurangi angka stunting yang menurut WHO (World Health Organization) mencapai 7.8 juta balita di Indonesia.
Dari berbagai strategi yang diungkap kedua cawapres, belum ada yang membahas potensi minyak sawit sebagai alternatif mengatasi stunting. WHO yang merilis angka balita stunting di Indonesia juga belum pernah melirik minyak sawit. Sebaliknya, bulletin WHO tanggal 8 Januari 2019 lalu menampilkan artikel Sowmya Kadandale berjudul “Palm oil industry and noncommunicable diseases”, yang justru mengaitkan minyak sawit dengan penyakit tidak menular.
Tulisan Kadandale mungkin bisa dianggap sebagai artikel ilmiah karena telah mencantumkan beberapa sitiran dari artikel-artikel ilmiah lainnya. Sayangnya, akademisi yang terbiasa dengan penulisan ilmiah akan menangkap kesan bahwa artikel tersebut terlalu dipaksakan untuk menyuarakan sebuah gagasan yang bisa berdampak masif karena terbit di buletin WHO, organisasi kesehatan terbesar dunia milik Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Secara jelas judul artikel berusaha mengarahkan pembaca untuk mengaitkan minyak sawit dengan NCD (noncommunicable diseases). NCD diartikan sebagai penyakit tidak menular, atau penyakit kronis yang disebabkan oleh kombinasi faktor keturunan, lingkungan, dan gaya hidup tidak sehat.
Contoh NCD adalah penyakit kardiovaskular (jantung, stroke), hipertensi, diabetes, dan kanker. Pembaca yang berharap mendapat detil ulasan minyak sawit sebagai biang keladi NCD akan kecewa, karena hanya halaman pertama yang memuat ulasan tentang itu. Sembilan halaman berikutnya bercerita isu lain, seperti perdagangan, rantai pasok, lingkungan, dan lobi-lobi di industri minyak sawit.
Satu halaman tentang kesehatan ini juga sama sekali tidak memuat sitiran publikasi ilmiah lain yang mengungkap fakta sebaliknya tentang pengaruh baik minyak sawit terhadap kesehatan. Dengan kata lain, aroma cherry picking dalam menjadikan artikel lain sebagai referensi terasa sangat kental dalam tulisan ini, alih-alih menampilkan potensi minyak sawit sebagai sumber asupan gizi.
Terdapat paling tidak lima fakta yang menjadi alasan minyak sawit pantas dilirik sebagai sumber asupan gizi. Pertama, minyak sawit merupakan lemak nabati yang bebas kolesterol. Beberapa tahun lalu muncul isu bahwa minyak sawit mengandung kolesterol jahat penyebab penyakit jantung. Isu ini bahkan masih dipercaya oleh sebagian masyarakat hingga kini.
Fakta sebenarnya adalah kolesterol hanya terdapat pada lemak hewani, tidak ada lemak nabati yang mengandung kolesterol. Dengan demikian, mengaitkan penyakit jantung dengan minyak sawit melalui perantara kolesterol merupakan argumen yang lemah.
Fakta kedua, minyak sawit merupakan minyak nabati yang bebas asam lemak trans (trans fat), sebuah bentuk asam lemak yang diyakini sebagai penyebab kanker. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa menerapkan peraturan sangat ketat untuk membatasi peredaran makanan yang mengandung asam lemak trans. Trans fat muncul dalam proses hidrogenasi, yaitu proses untuk mengubah suatu minyak nabati yang secara natural berbentuk cair menjadi padatan seperti produk margarin dan shortening.
Minyak sawit memiliki komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh yang seimbang. Margarin dari minyak sawit dapat dibuat dari asam lemak jenuh yang secara alami sudah berbentuk padat tanpa perlu proses hidrogenasi.
Fakta ketiga, minyak sawit kaya phytonutrients dalam bentuk vitamin E (tokoferol dan tokotrienol) serta beta karoten (pro vitamin A). Jumlah vitamin E pada minyak sawit sekitar 1.200 ppm, paling tinggi dibanding minyak nabati lainnya yang umumnya di bawah 1.000 ppm. Total karoten pada minyak sawit sekitar 800 ppm, tidak kalah dengan wortel yang lebih dikenal luas sebagai sumber beta karoten. Vitamin E dan beta karoten dapat meningkatkan anti-inflamatori dan aktivitas antioksidan, memperbaiki respon kekebalan tubuh, mencegah kebutaan, dan menangkal radikal bebas.
Fakta keempat, minyak sawit mengandung squalene dengan konsentrasi 250-540 ppm. Masyarakat mungkin lebih mengenal squalene ini dengan istilah minyak ikan yang diekstraksi dari hati ikan hiu.
Teknologi penyajian minyak sawit kaya squalene bersama vitamin E dan pro vitamin A sudah tersedia, misalnya dalam bentuk minyak sawit merah. Apabila dikonsumsi pada jumlah yang benar dan teratur, minyak sawit merah dapat membantu pemenuhan kebutuhan asupan gizi harian.
Minyak sawit merah inilah yang sangat potensial dijadikan alternatif mengatasi masalah stunting. Minyak sawit merah mudah dikonsumsi, cukup dengan menjadikannya bagian dari resep makanan, seperti salad, mie instan, tumis, atau dalam bentuk enkapsulasi seperti minyak ikan yang umum dijumpai di pasaran. Kampanye konsumsi minyak sawit merah sudah mulai digaungkan meski belum menjadi gerakan yang masif.
Fakta kelima, komposisi asam lemak dalam minyak sawit memiliki kemiripan dengan komposisi asam lemak pada ASI (air susu ibu). Asam palmitat, asam stearic, asam oleic, asam linoleat, dan asam linolenat pada ASI berturut-turut sebesar sebesar 32.2%, 6.9%, 36.5%, 9.5%, dan 1.4% ; sementara pada minyak sawit berturut-turut sebesar 49.5%, 4.1%. 36.3%,8.3%, dan 0.5%.
Memang benar tidak ada satu pun produk makanan dan minuman yang bisa sebaik ASI dalam memberi asupan gizi untuk pertumbuhan bayi. ASI juga mengandung asam amino esensial yang tidak dimiliki minyak sawit. Namun ketika umur bayi telah cukup untuk dikenalkan pada asupan makanan pendamping ASI, minyak sawit yang memiliki komposisi asam lemak mirip ASI dan kaya phytonutrients akan menjadi pilihan yang sangat menarik.
Kelima fakta di atas menjadi alasan kuat agar minyak sawit dilirik menjadi bagian dari kampanye mengatasi stunting. Tentu teknologi processing minyak sawit yang digunakan dalam kampanye ini adalah teknologi yang mampu mengkonservasi phytonutrients berlimpah di minyak sawit dan tidak hilang ketika menjadi produk siap konsumsi.
Selain kelima fakta tersebut, fakta bahwa Indonesia adalah produsen terbesar minyak sawit dunia akan menjadikan industri nasional yang memproduksi produk-produk pangan bergizi tinggi berbasis minyak sawit tidak akan kekurangan pasokan bahan baku. Pasokan baku yang terjamin didukung teknologi pengolahan yang semakin maju dan efisien akan membawa harapan produk-produk pangan bergizi tinggi berbasis minyak sawit dengan harga yang terjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Namun semua harapan itu tentunya perlu didukung oleh kebijakan pemerintah terpilih nanti dan juga WHO, yang merupakan organisasi kesehatan terbesar dunia, sehingga kampanye mengatasi stunting melalui eksplorasi keunggulan minyak sawit dapat berlaku lebih massif dan cepat diterima oleh masyarakat Indonesia
*Peneliti di Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.