Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Skema sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) saat ini masih menemui sejumlah masalah dalam pelaksanaannya terutama yang terkait dengan aspek legalitas. Saat ini, baru 502 perusahaan dengan lahan seluas 4,1 juta hektare yang mengantongi ISPO. Jumlah tersebut baru sekitar 29,3% dari total luas kebun sawit di Indonesia yang mencapai 14,03 juta hektare.
"Karena itu, skema ISPO kedepannya diharapkan dapat lebih menekankan pada pull factor yakni mendorong kepastian pasar dan harga yang lebih kompetitif dibandingkan hanya berkutat pada push factor berupa penetapan regulasi dan sanksi. Nantinya, skema ini diharapkan akan membentuk sebuah rantai pasok, bukan hanya sebuah kewajiban, namun perusahaan juga membutuhkannya untuk mendapatkan kepastian pasar dan harga yang kompetitif," kata Presiden Direktur PT Mutuagung Lestari, Arifin Lambaga, pada acara 4th Indonesian Palm Oil Stakeholders Forum (IPOS-Forum), di Hotel Santika Medan, Kamis (25/7/2019).
PT Mutuagung Lestari sendiri adalah salah satu lembaga sertifikasi ISPO. Sampai saat ini, dari 502 perusahaan yang telah mengantongi sertifikasi ISPO, 35% di antaranya atau total sekitar 167 adalah sertifikasi yang dikeluarkan oleh PT Mutuagung Lestari.
Arifin mengatakan, dengan adanya kepastian pasar dan harga dalam skema ini, dapat mendorong keterlibatan perusahaan untuk mengikuti skema ISPO. Ini sangat penting karena sertifikasi ISPO yang menyatakan bahwa pengelolaan perkebunan atau proses produksi minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) itu telah mengikuti kaidah-kaidah lingkungan yang didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
ISPO menyangkut tiga hal yakni masalah produksi, sosial dan lingkungan. Jadi jika sudah ada sertifikasi itu artinya perusahaan tersebut telah mengikuti atau telah menjalankan semua hal yang terkait dengan aspek yang terkait dengan sustainability.
"Selama ini kita tahu banyak negara-negara yang merupakan pasar sawit yang mempermasalahkan tentang deforestasi, dampak lingkungan yang ditimbulkan dari budidaya sawit, penggunaan tenaga kerja, perhatian terhadap lingkungan, masyarakat dan hewan yang dilindungi. Itu tentunya yang menjadi titik pokok masalah yang selalu digembor-gemborkan oleh pasar internasional (oleh negara yang mengimpor).Padahal sebetulnya kita sudah menjalankan semua hal yang dipermasalahkan tersebut," jelas Arifin.
Karena itu, kata Arifin, hal yang penting yang harus dijalankan adalah bagaimana mengkampanyekan standar ISPO ini dan semua aspeknya sudah betul-betul dijalankan secara transparan dan profesional. Tentunya diharapkan itu akan bisa menjamin pasar dan harga CPO Indonesia, termasuk Sumatra Utara.