Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Setelah berkirim surat ke Presiden Joko Widodo, Forum Sisada Ulaon melakukan hal serupa ke seluruh lembaga legislatif atau DPRD di tujuh kabupaten di kawasan Danau Toba (KDT). Surat bersisi pernyataan dengan pokok persoalan yang sama. Yaitu menciptakan situasi yang tidak merugikan masyarakat dalam pengembangan Danau Toba sebagai kawasan strategis pariwisata nasional.
Forum Sisada Ulaon (FSU), terdiri atas sejumlah profesional yang peduli pada KDT (seperti Miduk Hutabarat, Idris Pasaribu, Jhon Robert Simanjuntak, Mangaliat Simarmata, Parlin Manihuruk dan lainnya), mengingatkan perlu agar masyarakat dijadikan subyek dalam pengembangan pariwisata Danau Toba. Sedari awal hingga seterusnya.
Caranya dengan menjadikan warga menjadi pemilik atas seluruh rencana pembangunan yang dilaksanakan pemerintah melalui Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT).
Kata Miduk dalam surat mereka kepada DPRD seluruh Pemkab (Dairi, Tapanuli Utara, Karo, Humbang Hasundutan, Simalungun, Samosir dan Toba Samosir), sudah tidak patut warga dituntut berpartisipasi membangun Danau Toba hanya melalui mekanisme budaya "Batu Demban", Demban Tiar", "Pagi-pagi" dan "Somba Sikke". Sehingga mereka diminta melepaskan tanah milik leluhurnya untuk dijadikan tempat membangun objek pendukung pariwisata.
Misalnya, terangnya, konflik di Sibisa (Toba Samosir) yang mencuat belum lama ini. Warga berusaha mempertahankan tanah miliknya karena belum diganti rugi secara layak oleh BPODT. Hingga harus melakukan aksi "bugil" yakni melepas seluruh pakaiannya ketika melawan petugas lapangan yang membuldoser aset di atas tanahnya untuk pembangunan jalan.
"Dimasa lalu paling tidak ada sembilan sengketa tanah antara pemerintah dan masyarakat di kawasan Danau Toba. Warga dirugikan karena tanahnya diambil alih secara tak pantas dan akhirnya timbul perlawanan," ujar Miduk yang berprofesi sebagai arsitek dan pengajar pada pernyataan tertulisnya (10/11/2019).
Diantaranya kasus-kasus tersebut; Taman Hutan Raya (Karo tahun 1985) PLTA Sigura-gura tahun 1979-1984, pembangunan Sitopsi (Silalahi, Tongging, Paropo, Sipiso-piso tahun 2001-2003), Taman Simalem Resort tahun 1998, Pandumaan Sipitu Huta (Humbahas), Hutan Tele di Sianjur Mula-mula, Desa Sihaporas (Simalungun) dan sebagainya.
Agar kasus-kasus serupa yang merugikan masyarakat tak lagi terjadi, FSU meminta agar DPRD menerbitkan peraturan daerah tentang perlindungan masyarakat adat. Sejauh ini baru Kabupaten Samosir dan Humbahas yang memiliki Perda tersebut. Yang lainnya harus melakukan hal serupa. Sehingga kepemilikan warga atas tanah leluhurnya yang sudah turun-temurun diusahai terlindungi secara hukum.
FSU juga mengusulkan konsep kepemilikan atas tanah yang dibebaskan BPODT guna pembangunan berbagai keperluan di tujuh KDT. Sebesar 51% milik pemerintah daerah, 29% pemerintah pusat dan investor 20%.
"Pemerintah harus bersikap arif karena tanah bersifat spiritual dalam masyarakat Batak. Demi adanya kepastian hukum konsep yang kami ajukan seharusnya dilaksanakan," tegas Miduk.