Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SEBUT saja namanya adalah Jeri (demi keamanan, seluruh nama dan tempat, para pelaku penyalahgunaan narkoba di tulisan ini disamarkan). Ia lajang berusia 26 tahun yang sehari-hari berprofesi sebagai pengedar narkoba sabu-sabu. Pekerjaan yang dikatakannya, telah dilakukannya selama 4 bulan terakhir.
Ditemui di sekitar kediamannya (Jeri mengaku masih tinggal bersama orang tuanya), di sebuah wilayah pemukiman, yang namanya juga dijadikan sebagai nama salah satu kelurahan di Kecamatan Rantau Utara, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatra Utara, Jeri mengatakan bahwa kampungnya tersebut merupakan salah satu sentra peredaran narkoba di Rantauprapat. Dimana saat ini, katanya, ada beberapa pedagang lainnya, yang berprofesi sama dengan dirinya.
"Kalau kampung ini sudah terkenal dari dulu sebagai tempat membeli narkoba, dari yang dulunya ganja hingga sekarang ini, sabu-sabu!" katanya. Dan situasi yang seperti itu, menurut Jeri, menjadi salah satu pendorong bagi banyak anak muda di kampungnya, memilih terjun menjadi seorang pengedar narkoba.
Diceritakan Jeri bahwa sejak dia berusia remaja, sekitar 10-15 tahun yang lalu, penggunaan sabu-sabu sudah marak terjadi di daerah tempat tinggalnya tersebut. Karena itu pulalah akhirnya ia mencoba menggunakan barang haram tersebut selepas tamat SMA.
"Mulanya coba-coba sama kawan, karena penasaran melihat penggunanya yang banyak. Akhirnya lama-lama menjadi kecanduan," sebutnya. Kemudian setelah kecanduan, dia mengatakan bahwa setiap memiliki uang pasti akan dihabiskan untuk membeli barang tersebut.
Bahkan saat tak memiliki uang, kadang ia memberanikan diri untuk mengambil (mencuri) uang orang tuanya, yang sebenarnya hidupnya pun pas-pasan. Akhirnya suatu ketika, datang tawaran untuk menjual barang tersebut, dengan sistem setoran, yang langsung disetujui olehnya.
Periode pertama menjual, Jeri mengakui sering kali mengalami kerugian, yang sebabnya dia pun tidak ketahui. Akhirnya karena setorannya sering kurang, tidak memenuhi target, ia pun kemudian diberhentikan bandarnya dan digantikan oleh temannya yang lain.
Namun nasib yang hampir sama, ternyata juga dialami oleh temannya tersebut. Uang hasil penjualan tidak mencapai jumlah yang harus disetorkan. Akibatnya temannya tersebut pun digantikan lagi oleh temannya yang lain.
"Sudah banyak kawan-kawan yang juga mencoba, bang! Tapi jarang ada yang bisa untung! Padahal yang dipakai (dikonsumsi) pun gak nya berlebihan," ungkap Jeri, yang sekarang dipercaya lagi untuk menjualkan barang tersebut. Persaingan yang ketat, menurutnya, menjadi penyebab orang seperti dirinya yang merupakan lapisan terbawah dalam sindikat perdagangan narkoba, sulit meraih keuntungan yang besar.
Menurut pengakuannya, sampai sekarang dirinya tidak memiliki simpanan uang, walau risiko pekerjaan yang ditekuninya cukup besar. Dan ketika ditanyakan resikonya, Jeri menjawab bahwa ia menyadari bahwa lapisan terbawah seperti dirinya merupakan golongan yang paling sering ditangkap oleh Polisi.
"Keuntungannya ya, lepas make aja lah bang, dengan resikonya yang besar. Kawan-kawan anak sini, sudah banyak yang ditangkap. Kalau dipikir-pikir menyesal aku kenal sama sabu-sabu ini bang," katanya. Selain itu, Jeri pun mengatakan jika dia bersedia direhabilitasi, jika ditanggung pemerintah.
Kondisi serupa juga dialami oleh Marko, seorang ayah dengan 4 anak, yang memiliki keahlian sebagai pekerja kontruksi. Mengaku mencandu sekitar satu dekade terakhir, Marko mengatakan tidak memiliki tabungan karena uangnya habis untuk membeli barang haram tersebut.
Padahal menurutnya, profesi yang mempunyai keahlian tertentu seperti dirinya sewajarnya menjanjikan kemapanan karena punya wewenang untuk menentukan tarif pekerjaannya. Dan hal tersebut pun sebenarnya berlaku pada dirinya.
Namun seperti disebutkan di atas, harga sabu-sabu yang mahal telah menggantikan tabungan yang seharusnya dimilikinya. "Keinginan untuk berhenti, ada. Sudah pernah dicoba beberapa saat. Namun candu yang ditimbulkannya, membuat saya kembali memakainya," ujar pria berusia 43 tahun tersebut.
Marko mengisahkan bahwa sabu-sabu pertama kali masuk ke daerahnya, sekitar 15 tahun yang lalu, dibawa oleh seorang bernama Samsul, yang mengaku bekas anggota TNI yang bertugas di Aceh. "Dulu ada tentara dari Aceh namanya Samsul, yang kos di sekitar sini. Awalnya gabung-gabung dia main judi. Terus diajaknya lah anak muda di kampung ini, untuk make sama-sama. Siapa saja pun boleh ikut! Banyak stoknya! Akhirnya setelah banyak yang candu, dia pun menghilang gak nampak lagi," bebernya.
Dikatakannya bahwa dirinya merupakan salah satu yang termasuk diajak dan diperkenalkan Samsul kepada sabu-sabu. Yang sampai sekarang ternyata masih dikonsumsi Marko, yang dikatakannya merupakan hal yang ingin dihentikannya.
Ketika ditanyakan kenapa dirinya tidak mengikuti rehabilitasi, Marko menjawab bahwa dirinya mengkhawatirkan nafkah keluarganya jika dirinya tidak bekerja saat mengikuti rehabilitasi. Selain itu menurut pengetahuannya, dibutuhkan dana besar untuk mengikuti program tersebut.
"Tetangga ku ada yang ikut rehab, yang mengatakan dia keluar biaya sampai Rp 5 juta perbulan selama di rehab. Terus ada juga kawanku yang mengaku diminta uang Rp 10 juta, sewaktu melapor ke BNN untuk minta direhab," kata pria yang mengatakan saat ini dirinya tidak mempunyai dana untuk ikut program tersebut.
Di sisi lain, Badan Narkotika Nasional (BNN), sebenarnya sudah menegaskan tentang perlunya rehabilitasi bagi para pecandu narkoba. Dikutip dari laman www.tempo.co, kepala Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, dr Yolan mengatakan pencandu narkoba dapat sembuh atau pulih dengan direhabilitasi. "Mereka dapat sembuh dengan rehabilitasi medis dan sosial," kata Yolan.
Dijelaskannya, rehabilitasi medis merupakan pemulihan fisik dan tingkat kecanduannya, sedangkan rehabilitasi sosial ialah pemulihan perilaku, psikologis, dan kejiwaannya. Menurutnya pecandu narkoba adalah pasien yang sakit, tapi bukan sakit biasa.
Yolan menjelaskan, seseorang yang sudah kecanduan narkotik akan mengalami kegelisahan atau sakaw saat tubuhnya tak lagi mengkonsumsi narkoba. "Jadi mereka butuh direhab. Sebab, saat mereka putus zat dan mulai gelisah atau sakaw, ada dokter dan psikolog yang menangani," ujar Yolan.
Yolan khawatir, jika pecandu tak direhabilitasi, mereka akan kembali menggunakan narkoba saat timbul kegelisahan atau sakaw. "Makanya harus direhab dan ditangani dengan obat-obatan oleh dokter," imbuhnya.
Namun penegasan BNN diatas, sampai sejauh ini ibarat isapan jempol semata. Karena seperti yang kita ketahui jumlah panti rehabilitasi yang ada sekarang ini, masih sangat sedikit. Bahkan banyak daerah/kabupaten yang belum memiliki panti rehabilitasi, contohnya seperti di Labuhanbatu tempat narasumber tulisan ini, berdomisili.
Tentunya ini menjadi tugas besar pemerintah yang kita harapkan dapat segera terwujud. Karena permasalahan narkoba merupakan masalah sosial yang ada di sekitar kita dan kapan saja bisa menyentuh diri kita ataupun keluarga kita.