Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat ME Manurung, mengaku petani sawit hancur lebur setelah pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang larangan ekspor minyak goreng sawit (MGS) dan bahan bakunya tersebut. Karena harga TBS harian, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sesuka hatinya menentukan harga beli TBS Petani tanpa dasar. Hingga Senin (25/4/2022) sore, hitungan Apkasindo, harga TBS sudah ambruk 60%.
"PKS hanya kira-kira dan agak-agak saja. Ini sangat merugikan petani. Jadi kami sangat menyayangkan kenapa kebijakan Presiden tidak cepat diantisipasi para menteri terkait, melalui otoritas masing-masing Kementerian. Sehingga, kejadian seperti saat ini seharusnya tidak perlu terjadi," katanya, Rabu (27/4/2022).
Gulat mengatakan, jika Kementerian terkait langsung mengantisipasi, harga TBS tidak akan babak-belur. Dia pun menekankan, sawit itu tidak sama dengan kasus batubara atau nikel karena harga TBS itu harian.
"Saya hitung kerugian kami petani sawit sejak tanggal 23 April sampai hari Senin sore (25 April) sudah mencapai Rp 11,7 triliun. Karena selisih harga TBS kami sebelum tanggal 22 April berbanding setelahnya sekitar Rp 1.500 hingga Rp 1.850/kg," kata Gulat.
Dia pun menyinggung soal Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) yang dilaksanakan secara mendadak pada hari libur (24/4/2022) yang terasa sia-sia karena seperti berlalu begitu saja. Karena tindaklanjutnya hanya berupa surat selevel Direktur Jenderal (Dirjen), yang itupun Plt (Pelaksana Tugas Dirjen). Dan di lapangan, sekalipun sudah terbit surat edaran Plt Dirjenbun yang menegaskan bahwa yang dilarang ekspor itu hanya RBD Palm Olein (bahan baku minyak goreng sawit) dan minyak goreng sawit (MGS), sedangkan untuk CPO (crude palm oil) tidak ada larangan atau pembatasan ekspor, nyatanya tidak berpengaruh besar menetralkan kembali harga TBS petani. Karena roh permasalahannya bukan pada hal pelarangan ekspor CPO-nya.
Adakah pengaruh pelarangan ekspor CPO kepada serapan TBS petani? Jawabnya tidak. Karena berdasarkan data Gapki, persentase ekspor CPO pada tahun 2021 dari total ekspor berbahan baku sawit (oleokimia, biodisel, refined PKO, crude PKO, refined palm oil dan CPO), hanya di angka 7,14 %. "Angka yang sangat kecil inilah yang selama ini menjadi dasar 'pengamat' atau spekulan pasar terhadap harga TBS petani. Tidak usah dilarangpun orang tak tertarik untuk ekspor CPO dengan beban Levy US$ 575/ton," tegas Gulat.
Namun selama ini, kata Gulat, isu yang dibangun adalah 'bahwa larangan ekspor CPO identik dengan pengurangan kebutuhan TBS dalam jumlah yang besar' dan dan itu menyesatkan.
Tapi disayangkan sekali bahwa tidak satupun kementerian terkait yang meluruskan isu dan spekulasi yang beredar pasca Pidato Presiden Jokowi. Inilah titik utama dan roh permasalahannya kehancuran harga sawit rakyat. Hal inilah penyebab harga TBS petani jatuh ambruk sampai 60%. Karena dipermainkan isu yang dibangun.
"Jadi hancurnya harga TBS petani dengan alasan CPO dilarang ekspor hanya 'modus' semata untuk menghancurkan petani sawit. Kita bicara fakta, jangan membodoh-bodohi petani sawit, kami sudah generasi kedua, kami bisa berhitung," tegas Gulat.
Dia pun menekankan jika petani menuntut penjelasan dari tindaklanjut kebijakan Presiden Jokowi dari Kemenko Ekonomi didampingi Kementerian terkait. Gulat menyerukan bahwa Petani sawit bukan tidak menghargai upaya Dirjen Perkebunan Kementan tetapi situasi ini sudah semena mena terhadap petani karena kebijakan Presiden hanya ditindaklanjuti oleh Dirjen yang notabene jauh sekali levelnya. Seharusnya ditindaklanjuti oleh selevel Menko.
"Lihat saja hasil tender CPO KPBN hari Senin (25/4/2022), berakhir WD (tidak saling sepakat), harga tertinggi penawaran hanya Rp 15.000/kg dan WD Rp 17.070/kg. "Apa mampu selevel Dirjen mendamaikannya? Senin sore terpantau harga TBS makin tidak karuan, sudah turun 60% dan antri panjang truk sawit dibeberapa PKS," katanya.
Jika tidak ada penjelasan dan tindakan tegas kepada PKS nakal, kata Gulat, dia sudah kehabisan jawaban kepada petani sawit di 22 Provinsi yang marah karena kondisi ini dan tidak bisa melarang Ketua-ketua dan petani di 146 DPD Kabupaten/Kota Apkasindo dari 22 Provinsi untuk tidak turun ke Jakarta, bukan ke PKS-PKS.
Gulat juga berharap, Satuan Tugas (Satgas) Pangan Nasional baik dari Markas Besar Polri, Kejaksaan Agung dan Satgas Pangan Provinsi untuk dapat memonitor kecurangan-kecurangan yang terjadi di PKS-PKS. Karena penetapan harga TBS wajib dilaksanakan berdasarkan Permentan 01/2018 dan turunannya Pergub Tataniaga TBS. "Kalau melanggar, maka berarti pidana," katanya.