Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Persatuan Nasional Aktivis 98 (PENA 98) Sumut menggelar acara diskusi interaktif untuk memperingati 25 tahun reformasi. Diskusi mengangkat tema “Kami Menolak Lupa” tersebut digelar Selasa (9/5/2023), di Aula Universitas Katolik (Unika) St Thomas Medan.
Hadir dala, diskusi itu, di antaranya aktivis PENA 98 Sumut Andi Siahaan, Patrick Rajagukguk, Jansen Sihombing dan Ketua DPD Pospera Sumut, Liston Hutajulu.
Hadir pula mahasiswa dari berbagai kampus, yaitu Unika, USU, Unimed, UDA, UISU, Unpab, UHN, Unpri, Amik Medicom, Politektik MBP, Universitas MBP, Universitas HKBP Nomensen Siantar, dan USI.
Ada tiga pembicara yang tampil, yaitu Dadang Darmawan Pasaribu, dosen UMA yang dahulu merupakan salah satu aktivis 98, J Anto, seorang peneliti dan juga jurnalis di Kota Medan, Nicodemus Sitanggang, salah satu Presidium Nasional PENA 98. Diskusi interaktif ini dimoderatori oleh Sri RM Simanungkalit, aktivis perempuan yang juga terlibat dalam gerakan 98.
Dadang Darmawan mengungkapkan bahwa pasca runtuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto pada 21 Mei 1998 silam masih menyisakan pekerjaan rumah yang penting untuk diselesaikan, terutama soal kesejahteraan rakyat.
Ia melihat bahwa Gerakan Mahasiswa 98 memiliki kesadaran, keberanian dan pengorbanan menghadapi rezim represif dan otoriter orde baru.
“Gerakan 98 diawali dengan kejatuhan ekonomi global yang diawali oleh Argentina pada tahun 1996, merembet ke Amerika dan juga Indonesia. Mahasiswa saat itu dipertemukan oleh informasi yang ada di media. Lalu dengan kesadaran, keberanian dan pengorbanan, seluruh mahasiswa menyatukan tekad dan perjuangan yaitu Indonesia tanpa Soeharto. Reformasi kemudian melahirkan perubahan sistem yang sebahagian besar sudah terwujud dan kita nikmati hari ini. Antara lain dihapusnya dwi fungsi ABRI, perubahan sistem pemilu dan kepartaian, perlindungan HAM,” ujar Dadang.
Dadang juga mengingatkan bahwa penting untuk mengingat sejarah dan memutus mata rantai kekuasaan Orde Baru dengan tidak membiarkan kekuatan orde baru kembali mengkonsolidasikan diri.
J Anto mengungkapkan bahwa pada masa pemerintahan Soeharto tidak sedikit terjadi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kekerasan yang dialami warga negara dan berujung pada perbuatan rasial yang dirasakan etnis Tionghoa di seluruh Indonesia.
“Serangan rasialisme yang paling tragis itu adalah pada peristiwa tragedi Mei 1998 dan yang menjadi sasaran itu adalah etnis Tionghoa. Kekerasan fisik, seksual, pemerkosaan dialami warga Tionghoa, termasuk di Sumatera Utara. Jangan sampai kita mengulangi lagi sejarah kelam politisasi identitas yang mungkin berpotensi muncul menjelang pemilu 2024,” kata J Anto.
Nicodemus Sitanggang mengatakan mahasiswa pada 1998 melakukan demonstrasi besar-besaran karena berawal dari rasa kekecewaan terhadap jalannya pemerintahan Soeharto.
Ia menyebut bahwa telah banyak perubahan yang terjadi meskipun masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai.
“Karena itu, generasi muda harus mampu melihat masa depan yang lebih baik, termasuk dengan memilih pemimpin yang tepat untuk kemajuan bangsa,” kata Nicodemus.
Nicodemus mengatakan demi kesinambungan reformasi, ada delapan kriteria pemimpin Indonesia versi PENA 98, yaitu :
Rektor Unika St Thomas, Prof Dr Maidin Gultom SH MHum mengapresiasi kegiatan tersebut. Ia memberikan cinderamata berupa ulos dan souvenir kepada para pembicara.