Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
ADA orang bijak berkata bahwa politik itu bukan hanya soal kekuasaan, melainkan juga soal kebenaran. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa konstelasi politik tidak seharusnya diartikan secara sempit hanya soal merebut/bagi-bagi kue kekuasaan, melainkan pula soal kejujuran, proses dialektika, pendidikan politik dan kebermanfaatan bagi masyarakat. Hal tersebut menjadi muatan vital di dalam kegiatan politik itu sendiri.
Jika merujuk dinamika Pemilu Indonesia, secara khusus menjelang munculnya sosok Capres/Cawapres, pengertian yang telah diulas sebelumnya agaknya tidak menyajikan kenikmatan bagi intelektualitas dan pendidikan politik yang mencerdaskan.
Anehnya, ada pula partai politik yang memunculkan pemimpin instan sebagai gerak oportunisme. Dalam sekejap jadi pemimpin dia.
Kaderisasi anggota bermanfaat bukan hanya sekadar memperluas pemahaman administrasi kepartaian, ideologi Parpol, jaringan/relasi politik, namun juga soal kematangan emosional, nasionalisme, keteladanan sebagai anggota, kedekatan dengan konstituen dan kejujuran ketika diorbitkan menjadi pejabat publik pasca kaderisasi yang tidak singkat prosesnya.
Kemana mekanisme itu? Hilang tak tahu di mana. Beginilah jika kekuasaan menjadi orientasi utama.
Selain itu, beredar pula isu bahwa ternyata Parpol yang dibahas sebelumnya kini menjadi alat untuk merombak konstitusi, demi memunculkan opsi kaum muda di dalam kontestasi Pilpres. Mungkin untuk berpasangan dengan calon tertentu. Mungkin.
BACA JUGA: Epikurianisme, Stoikisme dan Kekristenan Mengenai Kesenangan
Saya tidak mau menduga-duga dan tidak mau mencampuri urusan Parpol tertentu. Ya, bisa saja terdapat hasrat untuk menggenapi hal demikian.
Saya hanya mau menyimpulkan bahwa dapat kita cermati bahwa nyaris keseluruhan Capres/Cawapres yang akan bertarung sekadar mempertontonkan drama lobi-lobi politik. Minim substansi.
Keadaan ini jelas berbahaya bagi kepentingan masyarakat luas. Sebab, lobi-lobi politik pada akhirnya akan bermuara pada kemunculan sekelompok oligarki yang kebal hukum, sebab dekat dengan kekuasaan.
Menurut saya, seorang calon pemimpin tertinggi di republik ini harus muncul dengan mengutamakan ide, konkret, realistis dan berpihak kepada masyarakat Indonesia keseluruhan.
Maaf saja! Menurut saya belum ada Capres/Cawapres yang muncul dengan ide-ide orisinil yang kuat, terperinci dan mendasar.
Narasi yang dilemparkan ke publik kebanyakan janji-janji utopis yang tidak realistis. Mungkin saja hanya modal nekat untuk jadi Capres/Cawapres. Toh, semua konsep nantinya akan dirancang tim sukses.
Beginilah cara berpikir seorang pemimpin boneka, yang kelak akan dikendalikan segelintir oknum (oligarki).
Jauh di dalam batin masyarakat Indonesia, sebenarnya terpatri kerinduan untuk dikenali oleh pemimpinnya.
Kesinambungan batin yang transenden antara rakyat dengan pemimpin, memunculkan regulasi, kebijakan dan implementasi kebijakan yang sejalan antara narasi dan praktek di tengah-tengah masyarakat.
BACA JUGA: Pria Bernama Otto dan Rembulan di Tepi Parapat
Kemudian, nikmatnya berbangsa dan bernegara menjadi keseharian dari hidup masyarakat kebanyakan setelah adanya pengenalan akan masyarakat yang hakiki oleh pemimpinnya.
Soekarno pun demikian. Dia menggali sedalam-dalamnya batin masyarakat, seinti-intinya reluk dasar dari karakteristik warganya.
Maka, lahirlah Pancasila, yang dianggapnya sebagai pusaka berharga yang ditunjukkan oleh Tuhan.
Soekarno menggali, mengamati, merancang dan menarasikan dengan begitu hebatnya. Sudahkah calon-calon pemimpin di Republik ini berlakon demikian?
Keadaan yang dialami masyarakat Indonesia saat ini masih belum berpihak kepada masyarakat kecil.
Biaya pendidikan masih tinggi. Masih banyak kaum proletariat harus berfikir ulang untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Upah minimum masyarakat terlalu rendah. Kapitalis memanfaatkannya demi menghemat biaya produksi. Padahal, keuntungan dengan upah yang dikeluarkan ditambah biaya produksi sangat tidak sebanding.
Guru-guru honorer belum mendapatkan upah yang layak. Perhatian terhadap disablitias. Penegakan hukum. Pelanggaran HAM. Kebebasan beragama dan mendirikan rumah ibadat. Penanganan korupsi. Perbaikan pelayanan medis. Pemanasan global. Human trafficking. Kedaulatan Negara. Pertarungan geo politik. Pengangguran. Perlindungan masyarakat adat dan masih banyak lagi persoalan yang perlu ditangani serta belum diperhatikan cara penanganannya.
Seharusnya, perang ide berlangsung di dalam kontestasi Pilpres 2024. Para Capres dan Cawapres seharunya dipertemukan karena kepentingan untuk menggenapi suatu ide tertentu.
Ide bagaimana menyukseskan kepentingan rakyat. Bagaimana merealisasikan kebutuhan orang-orang kecil. Bukan malah sebaliknya.
Capres-Cawapres kini malah dipertemukan atas dasar kepentingan jangka pendek. Koalisi miskin ide, namun tinggi hasrat untuk berkuasa.
BACA JUGA: Dicari, Suasana yang 'Sepenuhnya Romantis'
Sebagai catatan akhir, pesan untuk Capres/Cawapres; jangan terlalu berani maju merebut tahta kekuasaan, apalagi tanpa punya ide yang membangun terhadap kepentingan masyarakat Indonesia.
Kuatnya seorang pemimpin karena ide dan kebijaksanaannya akan memikat hati rakyat.
Koalisi jangka pendek pun menjadi tahluk kemudian terhadap presiden dan wakil presidennya kelak, lantaran tangguhnya ketokohan dari pemimpin Indonesia itu.
Capres/Cawapres yang lemah, miskin ide, sengaja diorbitkan karena kebetulan pamornya sedang tinggi, menjadi sangat berbahaya dan sangat kasihan saat berkuasa, lantaran gerombolan oligarki akan siap sedia menghambat keinginan dari pemimpin yang berkuasa untuk mengutamakan kepentingan kelompok mereka terlebih dahulu, dibandingkan memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia.
Atas dasar pernyataan itu, saya hanya akan mengucapkan: Selamat beradu ide!
====
Penulis Alumnus Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Sumatera Utara. Gemar studi filsafat
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG) posisi lanskap, data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]