Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
ADA satu film drama yang cukup baik menurut penulis, judulnya “A Man Called Otto”. Disutradarai Marc Forster, digarap rumah produksi Columbia Pictures, dibintangi aktor kenamaan; Tom Hanks, bersama Mariana Trevino, Rachel Keller dan Manuel Garcia-Rulfo.
Film ini pertama kali dirilis 30 Desember 2022 yang lalu di Amerika. Pesan di dalam film sangat kuat. Mengkisahkan kehidupan seorang pria tua yang baru saja pensiun bernama Otto.
Waktu menonton film ini, penulis sadar bahwa betapa mudahnya manusia melupakan makna dari keberadaannya sebagai manusia. Apalagi saat tidak adanya orang lain yang kita kasihi. Di saat impian, angan, cita-cita memiliki distingsi yang cukup jauh untuk menjadi realitas.
Seperti halnya Otto Anderson (Tom Hanks) yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan menggantungkan diri di atas tali tambang yang telah bertaut ke langit-langit rumah. Sebab apalagi yang harus dikejar Otto di dalam hidupnya?
Istrinya telah tiada karena kanker beberapa bulan sebelumnya. Wanita itu juga pernah keguguran, saat terjadi kecelakaan bus pasca mereka berlibur ke air terjun Niagara. Otto juga beru saja pensiun dari perusahaan properti rumah. Selesai sudah!
Sebelum Otto menggenapi tindakannya dengan menggantungkan diri, tampaknya bukan suatu kebetulan jika tetangga baru mereka dari Meksiko, Marisol dan Tommy membuat suatu keributan di depan rumah. Tommy gagal memarkirkan truk mereka dengan parkir paralel. Terganggu dengan keributan itu, akhirnya Otto berhenti sesaat dan membantu Marisol dan Tommy.
Alih-alih mengubah keputusannya, Otto justru kembali berniat menghentikan hembusan nafasnya, dengan kembali menggantungkan diri. Beruntung! Tali itu terputus memikul beban tubuhnya yang terlalu berat. Rencananya akhirnya gagal.
Kenapa Otto Anderson begitu keras dengan hidupnya? Dia tidak ramah sama sekali dengan tetangga-tetangganya. Apalagi teman kantornya. Termasuk dengan Ruben, suami Anita. Otto kerap bersitegang dengannya.
Otto dan Ruben kerap saling memamerkan mobil baru di garasi rumah mereka. Bahkan, kucing liar yang sering berteduh di garasi rumahnya tak mendapatkan keramahan sedikitpun dari Otto. Apa yang menyebabkan nuansa hidup menjadi gelap bagi Otto?
Tampaknya, Otto melupakan sesuatu, tentang mengapa hidup harus diperjuangkan. Terlebih setelah istrinya meninggal dunia. Sonya Anderson.
Penulis masih ingat, ketika Otto dan Sonya tidak sengaja bertemu di dalam kereta api. Sonya tidak sengajah menjatuhkan novel miliknya di stasiun.
Dengan maksud baik, Otto mengembalikan novel itu meski Otto harus kekurangan beberapa sen untuk membayar tiket-baru karena harus menaiki jalur kreta yang berbeda.
BACA JUGA: Dicari, Suasana yang 'Sepenuhnya Romantis'
Akhirnya, Sonya menambah ongkos Otto beberapa sen. Kisah mereka berdua berlanjut, untuk makan malam bersama di salah satu restoran terkenal.
Sonya bertanya, “Kenapa kamu tidak memesan makanan utama?” Lantaran Sonya sedang sibuk menikmati steak mewah dengan sayur tumis. Otto hanya menjawab, “Aku makan di rumah..., Tidak..., agar kamu bisa memesan makanan apapun yang kamu suka”.
Otto berencana pergi karena malu dengan peristiwa itu. Sonya sadar bahwa Otto telah berkorban banyak untuk makan malam ini. Alih-alih membiarkan Otto pergi, Sonya justru menggenggam tangan Otto. Dia tidak membiarkan pria itu berkecil hati. Kepercayaan Sonya itulah yang mewarnai kehidupan Otto untuk seterusnya.
Otto punya alasan sederhana untuk berjuang. Membahagiakan seseorang yang dikasihinya. Dan memang benar, Otto bisa diandalkan. Dia serba bisa di perusahaan tempatnya bekerja.
Dia menyempatkan diri untuk berlibur bersama istrinya. Membuat semua keadaan aman dan terkendali. Namun, naas begitulah kehidupan manusia. Otto dan istrinya mengalami kecelakaan bus. Istrinya keguguran dan lumpuh untuk selama-lamanya. Lalu kemudian, meninggal dunia belasan tahun kemudian akibat kanker. Sejak saat itu, Otto kehilangan makna dari hidupnya.
Akhirnya, beberapa kali, Otto Anderson melakukan percobaan bunuh diri. Mengantungkan diri di tembok, memasukkan gas beracun ke dalam mobil, menjatuhkan diri ke rel kereta api dan terakhir rencana untuk menembakkan kepalanya dengan senapan.
Setiap kali Otto berencana melakukan hal itu, suara Sonya istrinya terngiang-ngiang di dalam pikirannya hingga akhirnya membuat Otto mengubah tindakannya dan justru menolong orang di sekitarnya.
Sonya sejak pertama ada di dalam hidup Otto memang senantiasa memberikan keindahan di dalam hidup Otto. Dia wanita yang tak sungkan memberikan nasehat, motivasi dan bahu di saat Otto merasa gagal di dalam hidupnya.
Pesan-pesan itulah yang kerap kali diingat Otto saat dirinya bermaksud hati ingin mengakhiri hidup. Bahkan, pesan dari Sonya pulalah yang dilakukan Otto untuk tetap peduli dan memperhatikan kebutuhan oranglain disekitar mereka.
Hingga akhirnya, Otto meninggal dunia dalam damai. Bukan karena bunuh diri, melainkan setelah dirinya mengerti makna dari cinta yang dijalaninya selama ini. Pembengkakan jantung merenggut nyawanya di suatu pagi yang dingin kemudian hari.
Cinta Otto kepada Sonya itu baik. Otto justru bertumbuh menjadi pria yang bertanggung jawab. Dia memikirkan kebutuhan istrinya. Dia memikirkan apa yang dipikirkan istrinya. Dia bahagia disaat istrinya bahagia. Dia bersedih hati disaat istrinya bersedih.
Otto bahagia karena dia memiliki seseorang yang harus diperjuangkan. Dan, perjuangan Otto sekalipun kelihatan berat, tetapi baginya upaya itu tidak seberapa untuk dipikul lantaran kasihnya kepada Sonya. Bahkan pesan-pesan Sonya selama hidupnya, masih menjadi jejak langkah yang diikutinya selama Otto hidup.
Beberapa hari yang lalu, berkaitan dengan kisah Otto dan Sonya Anderson ini, penulis berdiri di tengah gantungan tangga yang menjulang tinggi--dari tepi Danau Toba hingga ke atas jalur lintas parapat--sekitar pukul 02.00 WIB memikirkan peristiwa serupa.
Waktu itu, terlihat rembulan, hempasan ombak dan tiupan angin yang cukup dingin dikulit. Membayangkan, apakah seseorang yang penulis pikirkan itu seperti Sonya Anderson?
Aku rasa dia seperti itu. Apakah cerita waktu Otto dan Sonya yang sedang makan bareng itu bisa menjadi kenyataan? Benar saja, akibat kelelahan dan mungkin karena udara dingin sebelumnya, membuat penulis sakit dan menunda rencana sebelumnya. Momen yang sangat penulis nantikan.
Paling tidak, dari kisah Otto dan Sonya akhirnya penulis mengerti bahwa sama seperti Otto, kasih itu harus tetap berlanjut sekalipun Sonya sedang tidak bersama dengannya.
Kebaikan itu harus tetap ada, entah saat bersama atau sedang tidak bersama dengan orang yang kita kasihi. Itulah eksistensi menjadi seorang manusia.
Berkorban bagi orang lain demi kebaikan orang lain dan diri sendiri. Berkorban bagi diri sendiri bagi kebaikan orang lain dan juga bagi diri. Sehingga makna dari kebahagiaan ditempatkan tidak hanya pada subjek tertentu yang terpisah dengan subjek lainnya.
Melainkan makna kebahagiaan dirubah menjadi kebahagiaan milik bersama dimana setiap subjek boleh menikmati kebahagiaan di dalamnya. Semoga masih ada kesempatan berikutnya, dihadirkan oleh Pencipta. Terima kasih untuk film ini; A Man Called Otto! #Seeusoon #buk
====
Penulis penikmat seni, filsafat, sejarah, politik dan theologia, tinggal di Samosir.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]