Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
“Pertajam argumen, kendalikan sentimen!”
Rocky Gerung
PADA hakikatnya homo politicus sejati adalah mereka yang mempunyai jalan pikiran rasional dan logis di bidangnya, sehingga mampu bertengkar secara pikiran untuk mewakili kepentingan rakyat. Karena hanya dengan pikiran yang tajam para politisi sekaligus wakil rakyat mampu merumuskan dan membentuk sebuah keputusan yang berpihak terhadap tuannya, yaitu rakyat.
Beberapa hari yang lalu saya dibuat dongkol oleh seorang politikus sekaligus sebagai wakil rakyat terpilih kemarin sore. Mohon maaf kalimatku sedikit tajam maklum tertular sang idola (Rocky Gerung).
Bagaimana tidak, jalan pikirannya sebagai politikus menunjukan bahwa dia kekurangan asupan ide dan gagasan sehingga disinyalir terpilihnya dia sebagai wakil rakyat karena kecukupan modal bukan akal.
BACA JUGA: Jangan Salah Pilih di Pilkada, Ini Kriterianya
Sedikit saya bercerita dari rangkaian panjang perdebatan kami waktu itu. Intinya begini, lewat komentar di Facebook pak dewan ini mau menakar kapasitas seorang bakal calon wali kota yang seyogyanya masih bakal calon yang kemungkinan besar menjadi bagian dalam perhelatan Pilkada 2024. Dengan menyuruh bakal calon wali kota tersebut supaya membangun kembali salah satu jembatan yang rusak di wilayah administrasi dimana dia mencalonkan diri sebagai wali kota.
Komentarnya itu sedikit mengganggu akal sehat saya sebagai masyarakat yang ia wakili sekaligus membuat saya minder dengan kapabilitasnya sebagai anggota dewan.
Dimana komentarnya itu tidak logis dan tentunya fallacy. Seharusnya seorang anggota dewan pada dasarnya sudah paham konsep kompetisi pemilu dan juga konsep tentang pembangunan infrastruktur. Tapi kok pak dewan yang satu ini sepertinya agak lain?
BACA JUGA: Putusan MA, Antara Kepentingan Bersama atau Segelintir Orang?
Singkatnya saya merespon komentarnya begini, apa kira-kira yang sudah bapak perbuat pada saat bapak menjadi calon legislatif kemarin? Dengan kapasitas calon legislatif ya bukan setelah bapak menang. Sehingga bapak menyuruh salah seorang bakal calon wali kota untuk membangun sebuah jembatan. Seharusnya komentar pak dewan itu lebih pas ditujukan kepada pemerintah kota yang berkuasa saat ini.
Tentunya membangun sebuah jembatan membutuhkan dana yang besar dan pastinya tercover dananya dalam anggaran pembangunan daerah tersebut.
Setahuku dengan kapasitas bapak sebagai calon legislatif kemarin pak dewan tidak ada atensi apa-apa tentang kepentingan masyarakat apalagi membangun infrastruktur yang notabene infrastruktur kita tergolong rusak.
BACA JUGA: Kursi Panas Pilkada 2024 dan Peran Penting Masyarakat
Sampai akhir perdebatan pun jawaban dari pertanyaan saya tidak ada dan pak dewannya hanya pandai omong kosong, sama mengedepankan sentimen yang menandakan bahwa dia anti kritik dan hanya mau mengkritik orang saja. Aneh bukan?
Masih banyak lagi komentar pak dewannya yang tidak saya tuangkan dalam tulisan ini, mengingat para pembaca yang kaya akal pikiran nanti terbawa suasana dan ikutan dongkol.
Terlepas dari perdebatan itu, saya mencoba menganalisis bahwa perlunya para politikus ini mengevaluasi diri sebagai cerminan dari suara masyarakat yang ia wakili. Dalam hal ini saya mengkritik jalan pikirannya dengan basis argumen bukan sentimen.
BACA JUGA: Nikson Nababan yang Saya Kenal
Apalagi dia wakil saya yang sewajarnya saya periksa jalan pikirannya untuk memastikan bahwa dia punya stok akal yang mumpuni sehingga tidak planga plongo waktu di rapat paripurna.
Jangan sampai akibat dari kekurangan akal tersebut pak dewan membentuk sebuah kebijakan terhadap masyarakat yang ujungnya senjata makan tuannya.
Kembali pada bagian paling fundamental yang harus kita pahami bersama. Pada saat ini masih banyak politikus sekaligus wakil rakyat yang menang perhelatan pemilu bukan karena kualitas intelektualitas dan moralitas tetapi karena dorongan modal finansial.
BACA JUGA: Edy Rahmayadi Mencari Kawan
Sehingga masyarakat menjadi pragmatis dan khawatir akan aspirasi yang dia titipkan kepada wakilnya. Itulah akibat dari demokrasi transaksional membuka peluang bagi mereka pecundang pemikiran para pendiri bangsa ini.
Memutuskan jadi politikus tidak terbatas dalam ruang lingkup menang kalah. Tetapi menjadi politikus sekaligus anggota dewan memiliki ruang lingkup yang cukup luas.
Termasuk menerima pendapat, menerima kritikan, memberikan pendapat logis, kritis terhadap kebijakan publik, mengorganisasi komunitas untuk kegiatan kebangsaan dan berbagai kegiatan lain yang memberikan sumbangsih terhadap kepentingan umum, tidak sebatas untuk mengejar kepentingan pribadi.
BACA JUGA: Pemilu dalam Kacamata Rakyat dan Politisi
Bukankah kodrat kita sebagai manusia adalah binatang yang berpikir (animal rasional). Pikiran itu menjadi senjata tajam untuk bertahan hidup. Lantas kenapa budaya berpikir itu seakan hilang di tengah-tengah suasana berbangsa dan bernegara.
Hidupkan kembali budaya berpikir kritis atas dasar kejujuran karena hanya dengan itu kita bisa menghasilkan demokrasi yang sehat!
====
Penulis merupakan alumni Universitas Darma Agung Medan
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]