Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Banyak situs di Kota Medan yang menjadi saksi sejarah di masa kolonial. Salah satunya adalah Rumah Sakit Elisabeth. Rumah sakit ini menjadi saksi betapa penjajahan Belanda telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat Medan.
Tetapi yang unik, meski Belanda dikenal sebagai bangsa yang “gemar” menjajah, tetapi tidak membuat semua rakyatnya berwatak kolonial. Salah satunya adalah komunitas biara.
Melihat penderitaan yang disebabkan kolonialisasi Belanda, membuat seorang uskup dari negeri kincir angin itu mendirikan sebuah komunitas untuk solidaritas kemanusiaan korban perang.
Dialah Mgr Henricus Van Beek. Van Beek mendirikan sebuah Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE) yang fokus menolong orang-orang korban perang. FSE didirikan tepatnya pada 1880, yang beranggotakan para suster.
Seperti tercatat dalam buku Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth, pada tahun 1925 Kongregasi suster-suster ini memulai karyanya ke Indonesia, termasuk di Medan. Mula-mula para korban perang ini ditampung di sebuah bangunan yang sederhana. Tenaga medisnya para suster langsung yang sebelumnya telah dibekali ilmu perawatan.
Hari demi hari para korban perang pun semakin bertambah. Selain “penampungan” yang tak lagi cukup luas, tenaga medis dirasa kurang. Alhasil para suster ini berinisiatif untuk memperluas serta menambah ruangan.
Pengumpulan dana mulai dilakukan. Sedikit demi sedikit fasilitas mulai dibangun. Hal itu terjadi di awal-awal tahun 1929. Lebih dari setahun kemudian, tepatnya November 1930, sebuah rumah sakit sederhana pun berdiri di kota ini.
Dari Rumah ke Rumah
Misi kemanusiaan para suster itu dimulai sejak kedatangan empat orang Suster (Sr M Pia, Sr M Philotea, Sr M Gonzaga dan Sr M Antonette) dari Breda, Belanda. Mereka tiba di Medan pada 29 September 1925. Para suster itu tinggal di sebuah rumah kecil.
Rencana semula keempat Suster ini akan membantu melayani orang sakit di rumah sakit pemerintah di Medan, tapi karena tidak diterima, akhirnya mereka melayani/merawat orang sakit dan menolong persalinan dari rumah ke rumah.
Cara pelayanan yang demikian tak dapat memenuhi harapan pasien korban perang yang terus bertambah. Karena itu, mereka membeli sebuah rumah di Jalan S Parman yang difungsikan menjadi rumah suster. Sebagian lagi dipakai untuk merawat orang-orang sakit. Meski begitu, mereka tetap merawat orang sakit dari rumah ke rumah.
“Di masa itu hampir tidak ada pelayanan kesehatan yang memadai. Karenanya, kehadiran keempat suster itu menjadi harapan bagi mereka,” jelas Pastor Nono kepada Medan Bisnis, beberapa waktu lalu.
Pastor yang pernah menjadi Ketua Komisi Sosial (Komsos) di Keuskupan Agung Medan (KAM) ini mengakui kekagumannya kepada para suster asal Breda, Belanda ini.
“Meski mereka orang Belanda, tetapi mereka berpihak kepada orang-orang pribumi yang menderita,” katanya.
Namun karena banyaknya pasien dan keterbatasan fasilitas, pelayanan dirasa tidak memadai. Maka mereka bersepakat untuk mendirikan sebuah rumah sakit. Sehingga pada tanggal 11 Februari 1929 diadakan peletakan batu pertama. Lebih dari setahun, tepatnya tanggal 19 November 1930, rumah sakit “kecil-kecilan” itupun diresmikan.
Pada zaman pendudukan Jepang, rumah sakit mengalami pasang surut yang sangat menyedihkan. Akhirnya, terpaksa suster-suster mengosongkan dan menyerahkan rumah sakit kepada tentara Jepang untuk dijadikan markas tentara.
Suster-suster tercerai-berai, ada yang ditawan di kamp tahanan dan sebagian mengungsi ke Jalan Gajah Madah Medan dan Berastagi.
Pada tanggal 14 Agustus 1945, suster-suster dibebaskan dari kamp tahanan dan dikembalikan ke Medan. Akan tetapi suster-suster tidak dapat kembali ke rumah sakit, sebab rumah sakit telah dikuasai oleh tentara Inggris dan kemudian diambil alih oleh Badan Kesehatan Pemerintah Belanda, yang disebut Dienst van Volks Gezondhied (DVG).
DVG menyerahkan rumah sakit Santa Elisabeth kembali kepada suster-suster atas kesepakatan Dr Tengku Mansur dengan Dr Steen sebagai pemimpin DVG.
Tanggal 23 Desember 1966, untuk pertama kalinya dibentuk struktur kepemimpinan dan adanya pemisahan yang jelas antara kepemimpinan rumah sakit dengan kepemimpinan kongregasi (biara).
Kemudian diangkat badan pengurus yayasan dengan nama "Yayasan Kongregasi Eksploitasi Rumah Sakit Santa Elisabeth" untuk mengelola rumah sakit dan diangkat badan direksi sebagai pengelola harian.
Tanggal 25 November 1977. anggaran dasar yayasan diperbaharui, dan tahun 1979 nama yayasan diubah menjadi Yayasan Santa Elisabeth sampai sekarang.