Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jayapura.
Hari itu, embun pagi masih belum beranjak dari udara. Namun cuaca sudah terasa panas. Kira-kira jam 6 pagi, kami sudah tiba di sebuah pasar tradisional yang ada di Abepura, Jayapura, Papua. Pasar itu disebut Pasa Youtefa. Pasar tradisional ini merupakan yang terbesar di Jayapura.
Perjalanan medanbisnisdaily.com kali ini dalam rangka peletakan batu pertama, sebuah gereja HKBP di Jayapura, belum lama ini. Medanbisnisdaily.com ikut bersama rombongan pengisi acara yang dipimpin Lena Simanjuntak, seorang seniman dan juga aktivis perempuan yang rutin melakukan pendampingan kaum perempuan di Sentani, Jayapura.
Meski masih jam 6 pagi, tetapi matahari sudah mulai panas. Rasanya seperti jam 9 pagi waktu di Medan. Meski begitu, barang-barang terllihat sudah mulai habis di lapak-lapak pedagang. Bahkan barang-barang dagangan di setiap lapak pedagang nyaris habis. Namun para pedagang yang umumnya kaum ibu, masih terus melayani para pembeli.
Sebagaimana pasar tradisional, lapak-lapak itu didesain seadainya. Sebagian memang ada yang memiliki kios, tetapi kebanyakan cukup digelar di tanah yang sudah dialasi. Pasar Youtefa, termasuk pasar tradisional yang terbesar yang ada di Jayapura. Para pedagang datang dari berbagai daerah. Mereka membawa hasil ladang berupa sayur-mayur, buah, bumbu dan umbi-umbian. Begitu juga dengan ikan yang melimpah di Jayapura.
Tetapi yang paling menonjol dari semua dagangan itu adalah pinang dan sirih. Masyarakat Papua, terutama yang tinggal di Jayapura, terbiasa mengkonsumsi sirih dalam keseharian mereka. Tidak hanya orang-orang tuanya saja, tetapi juga anak-anak muda. Namun sirih yang dikonsumi orang Papua berbeda dengan yang dikonsumi orang Sumatera, khususnya Sumatera Utara. Bentuknya tidak menyerupai daun, melainkan gulungan. Sepintas mirip bunga nangka. Jika masih dalam satu gelondongan, bentuknya mirip kolang-kaling yang masih muda. Rasanya juga agak sedikit kelat. Selain itu pinang yang mereka makan bukan pinang yang tua namun yang masih sangat muda. Mereka juga tidak hanya memakan isinya saja, namun juga ikut kulitnya.
Cara memakan sirih itu juga berbeda. Mereka terlebih dulu mengunyah pinang muda, berserta kulitnya. Setelah itu, bunga sirih yang telah dicampur dengan gambir. Kebiasaan memakan sirih, bagi masyarakat Papua, merupakan rutinitas sehari-hari. Tak hanya dilakoni oleh orang tua saja, juga remaja dan anak-anak. Karenanya tidak heran, di setiap sudut jalan, bahkan gang dapat kita temukan para pedagang sirih. Karena kebiasaan itu pula, masyarakat Papua tidak begitu suka dengan makanan pedas. Sehingga di pasar tradisional Youtefa ini, sangat jarang kita jumpai penjual cabai. Yang mendominasi adalah sayur, umbi-umbian dan sirih. Begitu juga dengan buah-buahan. Komoditi ini termasuk langka di bumi mutiara hitam ini.
“Orang Papua tidak suka makan yang pedas. Lidah mereka tidak cocok,” kata Elly, salah seorang warga Jayapura yang mendampingi Medanbisnisdaily.com selama di sana.
Kebiasaan memakan sirih masyarakat itu merupakan peninggalan dari nenek moyang mereka. Hal itu diakui Mama Ando, salah seorang tokoh adat di Sentani, Jayapura. Selain baik untuk kesehatan memakan sirih juga memiliki nilai-nilai budaya. Mereka sendiri punya kebiasaan untuk memberikan bekas sirih yang mereka makan kepada anak-cucu mereka. Mereka menyuapinya langsung dari mulut mereka. Hal itu merupakan simbol berkat yang mereka terima.
Di Pasar Youtefa sirih berikut pinang mendominasi lapak-lapak para pedagang. Sebagai pasar tradisional terbesar yang ada di Jayapura, para pedagang banyak yang berjualan di tempat ini. Bahkan mereka harus rela bermalam di jalan untuk sampai ke tempat ini. Terutama para pedagang yang tinggal di ladang mereka di pebukitan.
Tak Kenal Timbangan
Yang menarik lainnya, para pedagang tidak menggunakan timbangan. Dagangan itu sudah mereka atur sesuai takaran. Untuk sayur misalnya, jumlahnya berdasarkan tumpukan. Jadi, pembeli tidak membeli sekilo atu dua kilo, namun berapa tumpukan.
Keunikan lain adalah barang dagangan itu mereka bawa dengan noken. Noken adalah tas jaring yang merupakan ciri khas masyarakat Papua. Baru-baru ini noken telah terdaftar di UNESCO sebagai warisan budaya dari Papua. Tradisi tawar menawar juga berlaku di pasar ini. Medanbisnisdaily.com juga mencoba menawar satu tumpuklan sirih berikut pinang. Jika ditaksir beratnya sekitar 0,5 kilogram. Satu tumpukan sirih dan pinang, yang jika ditaksir, beratnya sekitar setengah kilo, dijual dengan harga Rp 8 ribu, yang harusnya Rp 10 ribu.
“Di Papua kami tidak menjual pake kilo. Jadi kalo orang mau beli tinggal ambil saja. Nanti dihitung harganya. Kalau mau beli ikan, tinggal hitung berapa ekor saja,” kata Elly.
Lebih lanjut pria yang mengaku aktif di tim junior Persipura Jayapura ini, menjelaskan tradisi menjual tanpa alat timbangan ini sudah sejak dulu dipraktikkan masyarakat Papua.