Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Gara-gara Setya Novanto, hubungan PDIP dan Partai Demokrat menjadi panas. Padahal dua partai ini belum lama menjalin kemesraan yang mengarah ke pembukaan peluang koalisi.
"Jelas. Kelihatan sekali ini bakal mengurangi peluang koalisi," kata pengamat politik Rico Marbun, Jumat (23/3).
Direktur Eksekutif lembaga survei Median ini menilai konflik bakal berpengaruh ke peluang dukungan Partai Demokrat ke pencapresan Joko Widodo (Jokowi). Padahal peluang ini baru saja terbuka di Rapat Pimpinan Nasional 10 Maret 2018 yang dihadiri Jokowi sendiri, tokoh PDIP.
Saat Rapimnas, Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono berkata, "Jika Allah menakdirkan, sangat bisa PD berjuang bersama Bapak (Jokowi)," kata SBY di hadapan Jokowi dalam Rapimnas PD di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, 10 Maret 2018 kemarin.
Kemesraan itu seolah buyar gara-gara reaksi Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto terhadap pernyataan Novanto di persidangan, yang menyebut Puan Maharani dan Pramono Anung dari PDIP menerima uang berkaitan dengan kasus e-KTP. Anehnya, Hasto tak menyerang Golkar namun menyerang Partai Demokrat. Hasto mengkontraskan slogan 'Katakan Tidak Pada Korupsi' dengan kasus korupsi yang menimpa kader Partai Demokrat.
Balasan datang dari Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik dan Sekjen Partai Demokrat Hinca Pandjaitan. Situasi PDIP-Partai Demokrat menjadi tegang dalam waktu yang relatif singkat.
"Ketagangan ini pasti akan berlanjut sampai penentuan capres-cawapres," kata Rico Marbun memprediksi.
Selain itu, Rico memandang PDIP memang tak ingin partai lain menjadi mitra koalisi yang diuntungkan pada Pilpres 2024 kelak. Maksudnya, bila Jokowi terpilih lagi di 2019 maka Jokowi tak akan bisa maju ke Pilpres 2024 karena sudah dua periode masa jabatan. Otomatis yang berpeluang menjadi presiden selanjutnya adalah wakil presiden.
"Kalau kita bisa membaca, ada nuansa keterancaman dari masuknya figur AHY menjadi cawapres dari Pak Jokowi. Bayangkan juga kalau PDIP gagal lagi menempatkan figur yang bisa melanjutkan representasinya dari posisi cawapres di 2019-2024," tutur Rico.
Rico memandang, PDIP punya kepentingan menempatkan calon wakil presidennya di sisi Jokowi supaya tahun 2024 menjadi Presiden RI. Padahal bila tercipta koalisi dengan Partai Demokrat, ada sosok AHY yang potensial mendampingi Jokowi.
Panasnya suhu politik PDIP-Partai Demokrat dewasa ini juga menguatkan peluang terciptanya poros ketiga yang tak mendukung Jokowi maupun Prabowo. Poros ketiga akan memunculkan capres baru, asalkan jumlah kursi mereka melebih ambang batas pencapresan.
"Bisa jadi poros ketiga, tergantung siapa parpol yang ditarik Partai Demokrat. Partai Demokrat dan PAN punya sejarah bersama, tapi itu tidak cukup. Dia harus ambil satu partai lagi," kata Rico.(dtc)