Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Surabaya. Warga Surabaya pada 19 September 1945 digegerkan dengan berkibarnya bendera Belanda di atas Hotel Yamato. Kabar itu cepat menyebar dan membuat geram para pemuda.
Arek-arek Suroboyo langsung datang berduyun-duyun berkumpul di depan hotel yang sebelumnya bernama Oranje itu. Indonesia sudah merdeka tapi kenapa bendera tiga warna itu masih berkibar.
Setelah dicari tahu, ternyata biang kerok pemasangan bendera itu adalah WV Ch. Ploegman, pemimpin organisasi Indo Europesche Vereniging (IEV) yang diangkat NICA menjadi Wali Kota Surabaya.
Pada 18 September 1945 malam, Ploegman memerintahkan rekan-rekannya mengibarkan bendera Belanda untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada 31 Agustus.
Alhasil Cak Sidik Muljadi dan Hariyono memprotes dan masuk ke hotel dan menemui Ploegman. Di dalam mereka terlibat cekcok perang mulut dan Ploegman mengeluarkan pistol yang diarahkan ke Cak Sidik.
Merasa terpojok, Cak Sidik dengan cepat dan spontan menyerang balik. Ia bahkan berhasil menikam dan membunuh Ploegman. Namun, nyawa Cak Sidik juga tak tertolong setelah membunuh Ploegman. Ia juga langsung terbunuh juga oleh pengawal Ploegman.
Sementara itu, di waktu yang sama Hariono dan Koesno keluar dan mencoba memanjat Hotel Yamato menuju tiang bendera. Dengan penuh heoik, mereka berhasil meraih bendera lalu menyobek bagian warna biru.
Usai insiden penyobekan, saat mereka hendak turun, Hariyono dan Koesno terkena peluru yang ditembakkan Belanda. Kedua martir itu tumbang jatuh dari atap hotel.
Menurut pemerhati sejarah Surabaya Ady Setyawan, meskipun terkena peluru nasib Koesno tidak lebih baik dengan Hariono. Nyawanya masih bisa tertolong. Sedangkan Koesno harus mereggang nyawa.
"Kalau Hariono keserempet peluru di kepalanya. Meski ikut jatuh tapi tetap selamat," terang alumnus Teknik Sipil ITS itu.
Ada pesan heroik sebelum Koesno meninggal. Saat dibawa ke rumah sakit Simpang sebelum meninggal, ia masih sempat berpesan agar perjuangan tetap dilanjutkan.
"Cak Har, beritahukan pada arek-arek Suroboyo, perjuangan ini jangan sampai berhenti. Merdeka!" ujar Koesno sebelum meninggal.
Menurut Ady, pada insiden penyobekan bendera di Hotel Yamato sebenarnya ada banyak versi. Namun saat ini yang paling diyakini versi Sidik Muljadi, Koesno dan Hariono.
"Yang ngaku sebagai pelaku penyobek bendera saja ada sekitar 30 lebih. Tapi saat ini versi Sidik lah yang dipercaya," kata Ady.
Terlepas dari semua versi itu, insiden di penyobekan bendera di hotel yang sekarang bernama Majapahit itu mempunyai peran penting bagi pengaruh semangat arek-arek Surabaya. Untuk itu ia menyebut Hotel Yamato merupakan salah satu saksi bisu perjuangan menolak penjajahan kembali di Indonesia.
"Ada cerita menarik, ketika Bung Tomo pergi ke Jakarta. Saat itu ia marah besar karena di Jakarta ternyata bendera Belanda masih gagah berkibar. Meski kita sudah Merdeka. Tapi di Surabaya, hal itu merupakan penghinaan terhadap kedaulatan," imbuh Ady.(dtc)