Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Raja-raja Bius Motung, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Sumatra Utara mempertanyakan nasib tanah ulayatnya kepada Bupati Darwin Siagian. Hal itu sehubungan keluarnya SK 3719/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/2018 tentang penetapan batas areal hutan produksi yang dapat dikonversi untuk pengembangan wilayah kawasan pariwisata Danau Toba atas nama Gubernur Sumatra Utara seluas 386.72 hektar. Dari luas itu 107 hektar di antaranya berada di atas ulayat bersama Bius Motung Siopat Marga.
Keluhan warga itu disampaikan kepada bupati di kantornya, Jumat (31/5/2019). Demikian informasi yang diterima medanbisnisdaily.com dari salah seorang aktivis Forum Pemuda Toba (FPT), Sahat S Gurning. FPT selama ini gencar mendampingi warga Motung dalam mempertahankan tanah ulayatnya.
Maniur Sitorus (67), Pande Nabolon-Sitorus Bius Motung menyampaikan bahwa mereka menerima Badan Otorita Danau Toba (BODT) dengan terbuka, namun harus memperhatikan Hak-hak Masyarakat Adat di wilayah itu. Misalnya harangan bius (hutan adat) yang telah mereka kuasai, mereka rawat dan mereka jaga sejak ratusan tahun lalu dan tetap memberlakukan hukum adat.
Menurut penuturannya bahwa status hutan adat mereka saat ini berstatus hutan lindung milik negara sesuai peta kawasan hutan Provinsi Sumatera Utara yang tertuang dalam SK. 579 Menhut-II/2014. Oleh karena itu mereka meminta kepada Bupati Tobasa Darwin Siagian untuk mengembalikan dan menetapkan secara legal hutan adat mereka tersebut sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku dan aspirasi lainnya.
Bupati Toba Samosir Darwin Siagian dan jajarannya menanggapi bahwa untuk penetapan hutan adat, maka terlebih dahulu dibuat peraturan daerah sebagai dasar hukum penetapannya.
Kepala Bagian Hukum, Pertanahan dan Pemerintahan Pemkab Tobasa, Lukman Siagian, menjelaskan, Ranperda Masyarakat Adat Toba Samosir ada perbaikan dan masih digodok Badan Peraturan Daerah DPRD Toba Samosir, karena Ranperda tersebut merupakan inisiatif DPRD Tobasa.
Atas permintaan Raja-raja Bius Motung tersebut, Bupati dan jajarannya memohon agar masyarakat Motung bersabar menunggu Perda Masyarakat Adat Toba Samosir disahkan dan perlunya dukungan dari masyarakat.
Terkait pemasangan pal beton BPN di lahan otorita seluas 107 hektar di wilayah Desa Motung, Raja-raja Bius Motung mengizinkannya dan mereka berharap kepada tim terpadu yang telah dibentuk Bupati Tobasa beberapa waktu lalu untuk jeli dan jujur mendata apa saja situs budaya dan hal lainnya di atas lahan tersebut. Maniur Sitorus juga menyampaikan bahwa di dalam areal tersebut ada bekas perkampungan tua Sosordolok-1 dan Sosordolok-2, Dolok Motung serta situs-situs lainnya.
Perry Manurung (43) Pande Nabolon Manurung Bius Motung menekankan kepada jajaran pemerintah agar BPODT mengubah cara pendekatan kepada masyarakat.
"BPODT sebaiknya menerapkan pendekatan sosial-budaya kepada kami, bukan pendekatan undang-undang dan hukum, sebab kami tak mengerti hukum", ujar Perry.
Atas masukan dari Pande Nabolon Bius Motung tersebut Bupati Tobasa berencana menghadirkan BPODT dan pihak Kehutanan selesai liburLlebaran untuk duduk bersama membicarakan hal itu.
Pada pertemuan ini, Badan Pengurus Harian Bius Motung Siopat Marga, Kosbin Sitorus (42) menyampaikan juga bahwa walaupun hutan adat mereka saat ini berstatus hutan lindung di bawah wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mereka tetap menjalankan hukum adat sesuai amanah dari leluhur mereka dan telah mereka bubuhkan dalam dokumen Anggaran Dasar Raja-raja Parbaringin Bius Motung tahun 1952.
"Kami sarankan juga hukum adat kalian itu tetap dijalankan sebagaimana mestinya dan pemerintah akan lebih mudah mendatanya nanti sesudah Perda itu terbit," ujar Kadis Pariwisata Pemkab Tobasa, Murpy Sitorus.
Candrow Manurung, Caleg DPRD Tobasa terpilih dari Dapil II Tobasa meminta kepada Bupati Tobasa untuk membela kepentingan masyarakat adat.
"Saya meminta pemerintah harus pro kepada masyarakat adat dan saya siap membantu masyarakat adat dalam pengakuan atas hak-hak adatnya. Bilamana masyarakat dikucilkan dalam pembangunan pariwisata ini, saya siap memperjuangkannya," ujar Candrow.