Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Risiko pekerjaannya cukup berat. Bukan hanya karena rawan kecelakaan, tapi juga kerap bertatap muka dengan hewan-hewan buas. Bahkan sebagian hewan itu ada yang dianggap gaib. Begitulah kisah Pandapotan (Potan) Sianipar. Bapak 53 tahun ini, sehari-hari keluar masuk hutan hutan Tobasa untuk maragat (menyadap) tuak.
Berbagai pengalamannya itu ia ceritakan saat medanbisnisdaily.com berkunjung ke objek wisata Pantai Bul-bul, Desa Lumban Bulbul, Kecamatan Balige, Tobasa, Sumatra Utara, Kamis, 4 Juli 2019. Di lokasi inilah setiap akhir pekan maupun libur sekolah, Potan menjual tuaknya.
"Aku pernah lihat tokek ( sebangsa cicak) ukurannya kira-kira 1,5 meter. Nempel dia di jabi-jabi (pohon beringin tua). Kalau kita Batak, tokek ini dibilang boraspati. Cuma gak pernah kudengar ada ukurannya segitu. Sudah kayak biawak," kata suami boru Napitupulu ini membuka cerita.
Warga Dusun Sibitara, Desa Hutanamora, Balige, Tobasa ini, sempat tak percaya ada tokek sebesar itu. "Kata orang, kalau sudah sebesar itu, tak semua bisa lihat. Berarti ini keberuntungan," katanya.
Tapi, lanjut Potan, yang paling berkesan adalah ketika ia pernah "dilompati" nagogoi (harimau). Waktu itu ia memang tidak sedang menyadap nira, namun sedang bersepeda motor membawa ratusan bungkus roti untuk dijajakan di desa yang bertetangga dengan desanya. Meski profesi utamanya menyadap dan menjual tuak, namun demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Potan juga melakoni sejumlah pekerjaan. Termasuk juga mencari tumbuhan langka di hutan belantara.
"Waktu itu magrib, gerimis pulak. Pas mau masuk jembatan, terdengar suaranya," cerita pria yang selalu membawa istri dan dua anaknya yang masih kecil ini berjualan tuak. Ketika berada di atas jembatan, dalam hitungan detik, si raja hutan itu pun melompat, tepat di atasnya. "Memang sudah diingatkan orang kampung, kalau lewat jembatan jangan pas magrib," akunya.
Lain waktu, Potan juga pernah melihat ular kepala dua. Warna ular itu belang coklat dengan panjang 2 meteran. "Tak tahu kita mana kepala mana ekornya. Waktu itu mertuaku bilang, jangan diganggu, dibiarkan saja," akunya.
Setiap hari keluar masuk hutan untuk menyadap tuak, membuat Potan akrab dengan hewan berbahaya lainnya. Lipan, ular, semut besar, lebah, sudah seperti sahabat. Bukan itu yang mereka takuti. Yang mereka takutkan bila air tuak sedikit atau tidak ada sama sekali.
"Kalau menyadap, pohonnya 'kan kami elek (bujuk) supaya banyak airnya. Tapi kalau sudah dielek gak menetes juga, kami marah. Kami cucuki tunasnya itu, ibaratnya supaya dia nangis. Dia (pohon) kan jelmaan seorang perempuan," katanya.
Karena pengalaman keluar masuk hutan itu, jasa Potan sering juga dipakai sejumlah pihak untuk mencari tumbuhan langka di hutan. "Ini ada yang cari bambu petuk. Bambu ini tunasnya ke bawah, makanya dibilang petuk," katanya bersemangat.
Pandapotan Sianipar, penyadap tuak di hutan Tobasa. Pengalamannya keluar masuk hutan menyimpan banyak cerita mengejutkan.