Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kadang, maaf, harapan kita bagai katak (di bawah tempurung) yang hendak menjadi lembu. Begitu tempurung disepak orang, kita terbelalak. Ternyata masalah bangsa ini sedemikian luas. Dan besar. Sudah ada sebelum seseorang menjadi presiden, gubernur atau wali kota.
Saya bayangkan Pak Jokowi, Edy Rahmayadi dan Akhyar Nasution masygul. Pak Jokowi hanyalah presiden ketujuh dan kedelapan RI. Edy pun bukannya pemimpin pertama provinsi ini. Sudah berapa wali kota pula sebelum Akhyar?
Oh, alangkah kecilnya kita dalam perjalanan sejarah. Ketika kita berani bercita-cita, kita tahu yang mewujudkannya adalah orang-orang di masa depan. Kita hanya bisa meluruskan arah ke depan, setelah, mungkin sempat rusak oleh sejarah yang panjang.
Bahkan jika mau realistis, “pelurusan” itu tak selesai di tangan kita. Harus ada penerus, dan penerus, barulah mungkin bisa perlahan “take off” oleh generasi penerus.
Kita selesaikan satu hal, muncul banyak hal. Ibarat rumah, perlu membangun fundasi barulah dinding. Seorang penguasa tak bisa membereskan masa silam yang semrawut seraya membawa masyarakat ke hari depan yang cerah sendirian belaka.
Selama-lamanya menjadi presiden dan kepala daerah hanya 10 tahun. Padahal, Hindia Belanda membangun kota-kota di Sumatera Utara – dengan investasi besar-besaran – nyaris 50 tahun, sejak 1880 hingga 1930. Aha, dalam ukuran kini perlu 10 kepala daerah bagai lari beranting.
Penguasa tak mungkin single fighter. Mereka memerlukan mitra dunia usaha, politikus, intelektual, buruh dan masyarakat. Kesalahan kita adalah kegemaran mempertentangkannya. Inilah “dosa” Marxis!
DPR, DPRD dan LSM termasuk yang oposisi bukan musuh eksekutif. Kritik hanya check and balances yang tak menjatuhkan. Ada kesamaan cita-cita, yakni cita-cita kolektif kebahagiaan masyarakat.
Kritik tak sekadar meminta membangun ini dan itu. Sebab, jika ini itu sudah ada, maka perjuangan sudah selesai. Tidak. Cita-cita masyarakat adil dan makmur itu masih jauh. Di mana semua orang, bukan segelitir, tertawa sebenar tertawa. Bukan yang dibikin-bikin, apalagi yang palsu.
Kesamaan persepsi itu perlu agar semua tulus bekerja. Keluhan yang terus selalu ada pun adalah peluang bagi penerus. Jalan masih panjang. Nun di ujung sana, harapan yang indah moga jadi kenyataan.