Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memprediksi suhu bumi makin panas dalam lima tahun ke depan. Kenaikan suhu bumi diperkirakan bisa mencapai 1,5 derajat celcius di atas periode pra-industri (1850-1900) setiap tahunnya.
WMO pada 8 Juli lalu merilis prediksi iklim dalam 5 tahun ke depan. Analisis data dan prediksi tersebut dikumpulkan dari sejumlah kontributor pusat-pusat prediksi iklim di seluruh dunia, di antaranya 9 Pusat di Daratan Eropa, 3 di Asia, 4 di Benua Amerika, dan 1 di Australia.
Rilis dari WMO itu juga disampaikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). BMKG menyebut perkiraan iklim ini bisa digunakan sebagai landasan dalam membuat keputusan.
"Laporan tersebut memberikan pandangan dan informasi iklim untuk lima tahun ke depan yang dapat ditindaklanjuti bagi para pembuat keputusan," ujar Deputi Bidang Klimatologi, BMKG Herizal dalam keterangannya, Rabu (15/7/2020).
Herizal mengatakan rata-rata kenaikan suhu global naik sekitar 1 derajat celcius tiap tahunnya. Bahkan ada peluang naik hingga 20% atau sekitar 1,5 derajat.
"Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa kenaikan suhu global rata-rata tahunan dalam lima tahun mendatang akan cenderung setidaknya 1°C di atas tingkat pra-industri di masing-masing tahun pada 2020 hingga 2024, dan ada kemungkinan 20% kenaikan itu akan melebihi 1,5°C dalam satu tahun di antaranya," katanya.
Herizal mengatakan pada rentang tahun 2014-2019 kenaikan suhu rata-rata bumi sudah lebih dari 1,0 derajat celcius. Di mana pada periode itu adalah lima tahun terhangat dalam catatan meteorologi.
Prediksi itu tentu akan menjadi tantangan besar bagi WMO. Sekjen WMO, Petteri Taalas, kata Herizal menegaskan bahwa WMO akan menjaga target Perjanjian Perubahan Iklim Paris untuk menjaga kenaikan suhu di bawah 2 derajat celcius di atas periode pra-industri.
"Sekjen WMO, Petteri Taalas, menegaskan bahwa hal itu akan menjadi tantangan besar ke depan dalam memenuhi target Perjanjian Perubahan Iklim Paris untuk menjaga kenaikan suhu global abad ini jauh di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri dan untuk mengejar ambisi upaya membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5°C pada tahun 2030," tuturnya.
WMO mencatat perlambatan industri akibat pandemi virus Corona turut memberikan dampak kepada perubahan iklim. Namun Herizal menyebut peristiwa itu tentu bukanlah menjadi pengganti aksi untuk menjaga perubahan iklim global.
"WMO juga menekankan bahwa perlambatan industri dan ekonomi dampak COVID-19 bukanlah pengganti dari rencana aksi iklim yang berkelanjutan dan terkoordinasi secara global. Meskipun dampak COVID-19 berkontribusi pada penurunan emisi pada tingkat tertentu pada tahun ini, namun hal itu diperkirakan tidak akan signifikan pengaruhnya pada pengurangan konsentrasi atmosfer CO2 yang mendorong peningkatan suhu global, karena daur hidup CO2 yang sangat lama di atmosfer," katanya.
Sementara di Indonesia, BMKG menyebut 2019 menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah. Di mana terjadi peningkatan suhu sebanyak 0,84 derajat celcius di atas rata-rata iklim sepanjang tahun 1981-2000..
"Di Indonesia, Catatan Iklim BMKG tahun 2019 menunjukkan tahun 2019 merupakan tahun terpanas kedua setelah 2016 di Indonesia dengan peningkatan 0.84°C di atas rerata iklim 1981-2000, emisi gas rumah kaca (GRK) terukur di Stasiun GAW BMKG Kototabang terus meningkat mencapai 408,2 ppm meskipun masih relatif lebih rendah dari GRK global, jumlah kejadian bencana hidrometeorologi terus bertambah mencapai 3.362 kejadian," sebut Herizal.
Sedangkan khusus di Jakarta, berdasarkan penelitian dari BMKG sejak zaman Belanda, sekitar 150 tahun yang lalu, terjadi peningkatan suhu di Ibu Kota. Yaitu naik 1,6 derajat celcius dari tahun 1866-2012.
"Laju peningkatan ini cukup dapat dibandingkan dengan hasil analisis WMO, yaitu kenaikan suhu global sebesar 1,1°C terhadap zaman pra-industri (1850-1900) sebagai garis dasar periode acuan perubahan iklim global," tutur Herizal.
Herizal mengungkapkan peningkatan suhu bumi yang makin panas itu akan berdampak ke perubahan pola hujan dan meningkatkan cuaca ekstrem. Hal itu juga terjadi di Indonesia.
"Di Indonesia, secara umum perubahan pola hujan itu ditandai oleh peningkatan hujan di daerah di utara katulistiwa yang menyebabkan iklimnya cenderung semakin basah. Sementara di selatan khatulistiwa cenderung kering. Namun di banyak tempat ditemukan bukti bahwa hujan dalam kategori ekstrem terus meningkat kejadiannya," jelas Herizal.
Di Ibu Kota Jakarta, selama 130 tahun, BMKG mencatat rata-rata curah hujan relatif sama, namun frekuensi hujan ekstrem meningkat. Akibat perubahan suhu, intensitas hujan di Jakarta menjadi 14%.
"Sekitar 10% intensitas hujan tertinggi di Jakarta (di atas 100 mm per hari) telah meningkat 14% akibat penambahan suhu per 1 derajat celcius. Tren cuaca ekstrem juga meningkat, ditandai dengan peningkatan frekuensi dan skala bencana hidrometeorologi," tandasnya.(dtc)