Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Beberapa tahun terakhir, kelapa sawit masih saja dituduh sebagai komoditas penuh mudharat dari aspek kesehatan, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Bahkan, di tengah masifnya pandemi Covid-19 di Indonesia, isu negatif terkait kebakaran hutan dan lahan yang sebelumnya pernah diangkat tahun 2013 silam, kembali ditayangkan sehingga berakibat timbulnya perspektif tanpa fakta empiris dari sejumlah kalangan.
"Jadi tantangan terbesar di industri sawit m terkait isu negatif. Seperti penyebab hilangnya hutan tropis, kebarakaran hutan, kesehatan dan lain sebagainya. Tentunya ini perlu dan penting diluruskan termasuk ke generasi milenial. Kita harus terus memberikan pemahaman dan sosialisasi tentang fakta sebenarnya industri kelapa sawit," kata Plt Direktur Kemitraan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Edi Wibowo, Kamis (24/12/2020).
Tidak hanya mendapatkan tekanan dari luar negeri, kelapa sawit juga diserang dari dalam negeri oleh LSM antisawit. Maraknya atribut negatif yang dilekatkan terhadap kelapa sawit tentu sebagai akibat dari isu-isu yang tidak berdasarkan fakta objektif. Dampak dari penyebaran isu tersebut yakni munculnya persepsi negatif dari masyarakat, baiksecara domestik maupun global.
Kelapa sawit sendiri merupakan komoditas strategis nasional dengan tingkat urgensi yang tinggi bagi perekonomian domestik dan global. Data Kementerian Pertanian, luas tutupan lahan sawit Indonesia pada 2019 mencapai 16,38 juta hektare dan 41% dikuasai oleh rakyat baik swadaya maupun plasma. Dengan lahan tersebut, Indonesia mampu memproduksi CPO rata-rata setiap tahun sebanyak 45 juta ton. Saat ini, lebih dari 65% dari kebutuhan minyak sawit dunia ditopang dari produksi CPO Indonesia.
"Dari tujuh komoditas strategis perkebunan, kelapa sawit merupakan komoditas unggulan nasional dalam mengembangkan dan menopang perekonomian nasional. Hampir satu dekade, kelapa sawit telah menjelma menjadi penyumbang devisa ekspor terbesar nasional," kata Edi.
Tidak hanya itu, multifungsi dan zero waste kelapa sawit sebagai sumber pangan, produk-produk oleochemical, hingga energi terbarukan (biofuel) menjadikan kelapa sawit layak dipertimbangkan sebagai priority dan identity negara. Selama masa pandemi, kata Edi, kelapa sawit tetap jadi penyumbang devisa terbesar dengan sumbangan US$ 13 miliar.
CEO dan Chief Editor Wartaekonomi, Muhamad Ihsan, mengatakan, ada 3 hal yang membedakan dalam penyebarluasan informasi, yakni misinformasi, disinformasi dan malinformasi. "Misinformasi dan disinformasi merujuk pada kesalahan komunikasi dan koordinasi yang dilakukan, sehingga menimbulkan komunikasi publik keliru yang tidak disengaja. Sementara malinformasi yakni bentuk informasi yang sengaja diberikan dengan memanipulasi data untuk menggiring opini publik pada kasus tertentu," katanya.
Hal tersebut selama ini yang dilakukan berbagai lembaga yang tidak setuju dengan keberadaan dan kemajuan industri kelapa sawit dengan memberikan label "No Palm Oil". Isu yang dibangun terhadap publik menjelaskan bagaimana tentang dampak negatif kelapa sawit lebih kepada isu politis atau perang dagang yang disusun Uni Eropa untuk mengurangi penggunaan kelapa sawit dengan menggunakan minyak nabati alternatif yang diproduksi di sana.
Tokoh masyarakat dan saksi hidup yang tinggal langsung di lingkungan kelapa sawit di daerah Merauke, Pastor Felix Amias MSC, mengatakan, banyak perubahan baik yang dirasakan ketika industri pertama kali tumbuh hingga berkembang di Merauke. Dimulai dari sistem transportasi yang mulai terbentuk, tingkat sosialisasi warga papua dengan masyarakat Indonesia di berbagai wilayah dan pendidikan yang terbangun.