Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ketersediaan bahan pangan dalam waktu yang berkesinambungan harus dipersiapkan, mengingat ketahanan pangan menjadi isu global, sejalan dengan kerawanan pangan di masa pandemi Covid-19. Hal itu mengemuka dalam seminar "Iptek dan Kebijakan Mewujudkan Ketahanan Pangan di Sumut", diselenggarakan Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (LPER) Sumut bersama Fakultas Pertanian Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan, Rabu (10/03/2021).
Hadir sebagai pembicara Dr Jongkers Tampubolon (dosen FP UHN), Kepala Perwakilan BI Medan diwakili Agustinus Fajar, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumut diwakili Jonni Akim Purba, Kepala Kantor Bulog Sumut diwakili Rudi Amran, Ketua Yayasan Bitra diwakili Iswan Kaputra dan dimoderatori Ferlando Jubelito STP MSc (Kaprodi Tehnologi Pangan FP UHN Medan).
"LPER Sumut sebagai lembaga baru ingin agar pemberdayaan ekonomi di sektor pertanian menjadi fokus semua stakeholder karena masalah ketahanan pangan sudah menjadi isu global. Sehingga Kami ingin agar masalah-masalah ketahanan pangan baik itu IPTEK dan kebijakan nantinya kelihatan, dimana duduk persoalannya," kata Ketua LPER Sumut, Ir Ronald Naibaho MSi.
Pola angka harapan pangan Sumut berdasarkan data BPS, kata Ronald, menunjukkan masih banyaknya warga yang mengalami kerawanan pangan. Tentu dengan pandemik ini, kondisi ini dikhawatirkan akan semakin meningkat.
Untuk itulah, kata Penasihat LPER Sumut, Naslindo Sirait, lewat seminar yang dilaksanakan di Ruang Justin Sihombing Kampus UHN Medan itu, akan melahirkan sejumlah rekomendasi untuk pemerintah dalam rangka membuat kebijakan peningkatan ketahanan pangan di Sumut ke depan.
Pentingnya melakukan upaya mendorong ketahanan pangan, kata anggota DPRD Sumut Meril Saragih, memerlukan strategi ke depan, yakni bagaimana mendorong masyarakat kembali bisa menikmati hasil pertaniannya.
Selama ini, kata Politis PDI Perjuangan itu, profesi sebagai petani tidak lagi menjanjikan di pikiran masyarakat. Padahal, tanpa pertanian, bagaimana masyarakat bahkan bangsa ini mendapatkan ketahanan pangan. Untuk itu, lanjutnya perlu membangun satu sistem from farm to table.
Harus dicari solusi yang tepat soal bagaimana petani bisa langsung menjual produknya ke konsumen tanpa melalui proses distribusi yang terlalu panjang. "Petani bisa mendapatkan harga yang lebih tinggi, sementara di konsumen harga tersebut masih rendah karena terlepas dari biaya distribusi yang panjang," katanya.
Dari data Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Sumut yang disampaikan Jonni Akim Purba, menunjukkan dari sisi produksi bahan pangan seperti beras, Sumut surplus. Bahkan diperkirakan 1,8 juta ton beras surplus di Sumut.
"Kalau dihitung per daerah, ya mungkin bisa ada yang kurang produksinya. Namun daerah sekitarnya bisa menutupi kebutuhan itu," kata Jonni Akim, seraya mengatakan Pemprov Sumut hingga saat ini mendorong peningkatan periode pertanaman dengan harapan akan semakin meningkatnya produksi.
Sementara dari sisi perbankan, dukungan terhadap sektor pertanian terus ditingkatkan. Hanya, kata Agustinus Fajar, belum banyak masyarakat petani memanfaatkan dunia perbankan untuk mendukung proses produksi. Perubahan mindset akan dunia perbankan masih perlu diubah, sehingga kolaborasi pertanian dengan perbankan bisa semakin dioptimalkan.
Fakta di Sumut saat ini, kata Dr Jongkers Tampubolon, mayoritas petani tidak bisa dikategorikan sebagai produsen netto, akan tetapi menjadi produsen netto. "Mayoritas petani di Sumut lebih banyak membeli saat paceklik dan bukan me jual lebih banyak pada saat panen," kata Jongkers.
Bahkan menurut mantan Rektor UHN Medan itu, saat ini ketahanan pangan tidak bisa hanya dilihat dari sisi produksi pangan. Namun juga harus melihat kemampuan seseorang untuk menyediakan bahan pangannya dengan kemampuan finansial yang dimiliki.
"Seperti Singapura, meski dengan produksi bahan pangan dari sektor pertanian sangat rendah, tidak bisa dikatakan tidak memiliki ketahanan pangan," lanjutnya seharusnya mengatakan sebab mereka mampu untuk mengadakan bahan pangan meski tidak memiliki lahan produksi yang mencukupi.