Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) menyayangkan pernyataan Nursedima Parhusip yang mengatakan bahwa lahan yang dia kelola dan diperjuangkan masyarakat adat di Tano Batak ini adalah punya negara. Pernyataan tersebut tidak hanya melukai masyarakat adat yang saat ini sedang berjuang membebaskan tanah Batak dari penjajahan baru, tapi juga meniadakan perjuangan para pahlawan Batak yang memperjuangkan Tano Batak di era kolonial.
"Tapi saya yakin, Inang Nursedima Parhusip mengatakan itu bukan dari hatinya yang paling tulus. Saya mengenal baik inang ini, bagaimana dulu beliau sedih, marah, dan menangis melihat perladangan mereka yang dirusak TPL. Bahkan satu orang anggota komunitas mereka dipenjara karena memperjuangkan tanah adatnya. Pilihan mereka untuk bermitra dengan TPL tentunya adalah pilihan sulit sebagaimana dulu beliau dan teman-temannya menyampaikan kepada kami di tahun 2018," kata Direktur KSPPM, Delima Silalahi, Sabtu (5/5/2021)
Lanjut Delima, mereka dijanjikan akan diberikan modal pertanian, jalan ke desanya diperbaiki dan akan diberikan lampu jalan. Juga memberikan pekerjaan kepada anak-anak mereka.
"Seperti apa janji TPL itu dipenuhi saat ini, merekalah yang merasakannya, " kata Delima.
Keputusan bermitra dengan TPL, sambung Delima, juga tidak sepenuhnya disetujui oleh seluruh anggota komunitas.
"Karena beberapa di antara mereka mengatakan keberatannya kepada kami dan menyesali keputusan pengurus untuk bermitra dengan TPL, " imbuhnya.
BACA JUGA: Tak Ada Gunanya Masyarakat Natumingka dan TPL Bentrok, Lahan Milik Negara Bukan Opung Kita!
Sebelumnya Nursedima mengomentari sengketa mengenai pengakuan tanah adat di kawasan hutan tanaman industri (HTI) antara masyarakat Desa Natumingka, Kecamatan Borbor Kabupaten Toba, dengan PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL), belum lama ini.
Salah satu tokoh aktivis masyarakat Simalungun sekaligus petani ini mengatakan tak ada gunanya masyarakat bentrok dengan pihak PT TPL.
"Terkait dengan sumbangan biaya dan waktu, mungkin Ibu Nursedima lebih tahu berapa biaya yang mereka keluarkan untuk perjuangan mereka. Karena KSPPM tidak pernah mencampuri keuangan komunitas masyarakat adat di manapun. Mereka adalah organisasi yang mandiri secara manajemen dan keuangan. Jika mereka mengumpulkan dana untuk perjuangan mereka, itu mereka kelola sendiri. Tidak sedikit pun ada diterima KSPPM. Mereka memiliki aturan organisasi sendiri, soal keuangan dan manajemen organisasi," sambung Delima.
Sebelumnya Nursedima mengomentari sengketa mengenai pengakuan tanah adat di kawasan hutan tanaman industri (HTI) antara masyarakat Desa Natumingka, Kecamatan Borbor Kabupaten Toba, dengan PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL), belum lama ini.
“Tidak ada gunanya bentrok antara masyarakat dan perusahaan, sebaiknya bekerja sama dan bermitra, sehingga pemerintah dalam hal ini dinas kehutanan dapat merekomendasi masyarakat, untuk program pengembangan. Karena semua lahan adalah milik negara dan bukan milik opung kita,” tutur Nursedima Parhusip dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Jumat (4/6/2021).
Nursedima Parhusip (67 tahun) adalah masyarakat Dusun II Nagahulambu, Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Nursedima menuturkan, lebih dari 12 tahun dirinya berteman dengan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM), dengan program pendampingan masyarakat menuntut tanah adat. Namun hasilnya, kata Nursedima, tidak pernah ada kejelasan dalam setiap perjuangan. Masyarakat hanya diajak untuk melakukan aksi protes melawan pemerintah dan perusahaan, namun hasilnya tidak pernah ada kejelasan.
“Saya sudah berteman dengan KSPPM dan AMAN lebih dari cukup, biaya dan waktu sudah terkuras hanya mendengarkan dan mengikuti arahan mereka yang tidak jelas, hasilnya hanya mengklabui masyarakat saja. Menyesal saya mengenal dan ikut program mereka, semuanya hanya membual omong kosong tidak ada hasil sedikitpun. Malah kami sebagai masyarakat dirugikan dengan sumbangan biaya dan waktu kami,” tutur Nursedima.
Dengan pengalaman dan perjuangan yang tidak ada artinya, Nursedima mengimbau masyarakat Natumingka untuk tidak terprovokasi dengan pihak ke tiga (LSM), dan sengaja dibentrokkan dengan perusahaan. Karena menurutnya kerugian terbesar malah terjadi pada masyarakat yang menjadi korban, baik secara fisik maupun mental.
Tuntutan pengakuan tanah adat sebaiknya dibicarakan dengan cara perdamaian antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan. Karena menurutnya semua mekanisme tersebut sudah ada aturan hukum yang diberlakukan negara, dan tidak begitu saja dapat diakui oleh pemerintah. Menurut Nursedima Parhusip, saat ini lebih baik masyarakat saling bekerja sama dengan pemerintah dan perusahaan dalam membangun perkampungan Natumingka.
“Harapan saya kepada masyarakat Natumingka, sebaiknya jangan mau masyarakat dibentrokkan dengan perusahaan, saya sudah pernah menjadi korbannya, sebaiknya berdamai saja, tidak ada gunanya . Karena sebenarnya kehadiran perusahaan ditengah masyarakat sangat berguna, dalam membantu pembangunan, seperti jalan mendukung pertanian dan perekonomian,” harap Nursedima Parhusip.