Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid telah meresmikan kedutaan baru negara itu di Abu Dhabi dalam kunjungan resmi pertama Israel ke Uni Emirat Arab (UEA) sejak kedua negara menormalisasi hubungan tahun lalu.
Berbicara pada upacara pemotongan pita di peresmian Kedubes Israel pada hari Selasa (29/6) waktu setempat, Yair Lapid tampaknya ingin menjangkau musuh-musuh regional lainnya.
"Israel menginginkan perdamaian dengan tetangganya - dengan semua tetangganya. Kami tidak akan kemana-mana. Timur Tengah adalah rumah kami ... Kami meminta semua negara di kawasan itu untuk mengakui itu, dan datang untuk berbicara dengan kami," kata Lapid menurut transkrip yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri Israel seperti diberitakan The Telegraph, Rabu (30/6/2021).
Israel dan UEA - kekuatan ekonomi di kawasan itu - telah diam-diam bekerja sama selama bertahun-tahun mengenai musuh bersama mereka, Iran. Kedua negara secara resmi menandatangani perjanjian diplomatik yang dikenal sebagai Perjanjian Abraham pada Agustus 2020.
Normalisasi hubungan antara Israel dan UEA, serta beberapa negara Arab lainnya, diawasi oleh pemerintahan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang melihatnya sebagai aspek penting dari kampanye "tekanan maksimum" terhadap Iran.
Para menteri Israel sebelumnya telah mengunjungi UEA, tetapi Lapid yang baru diangkat adalah yang pertama melakukan perjalanan dalam misi resmi, serta yang paling senior.
Sementara perjalanan itu secara luas dipandang sebagai kesempatan pertama bagi pemerintah baru Israel untuk membuat terobosan diplomatik, Lapid juga mengakui mantan perdana menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai "arsitek" dari Perjanjian Abraham.
"Momen ini adalah miliknya (Netanyahu), tidak kurang dari itu, ini juga milik kita," tutur Lapid.
Selama kunjungan dua harinya, Lapid juga akan meresmikan sebuah konsulat di Dubai dan menandatangani perjanjian bilateral tentang kerja sama ekonomi, yang terjadi setelah kesepakatan-kesepakatan perdagangan yang nilainya diyakini telah melampaui US$ 354 juta.
Bahrain, Maroko dan Sudan juga telah menjalin hubungan baru dengan Israel. Para kritikus memperingatkan bahwa restu Trump akan dilihat oleh elit penguasa negara-negara ini - yang tidak lagi melihat masalah Palestina sebagai masalah mendesak - sebagai "lampu hijau" untuk mengejar kebijakan represif di dalam negeri.(dtc)