Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Upah sekaligus proses penerimaan pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak (PPPK) bagi guru honorer kini tengah menjadi sorotan. Pasalnya, baru-baru ini viral sebuah surat atas nama Pengawas Ujian Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), Novi Khassifa.
Surat itu ditujukan untuk Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim. Di dalamnya bercerita soal guru yang mengikuti tes seleksi PPPK. Surat itu juga dilengkapi tangkapan layar chat WhatsApp dengan narasi jika guru tersebut berusia 57 tahun dan memiliki pendapatan kurang dari Rp 500 ribu sebulan.
Pengamat Kebijakan Publik sekaligus Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan turut prihatin atas kondisi guru honorer di tanah air. Dia menilai, pemerintah lalai dalam memastikan kesejahteraan guru honorer di tengah keberadaanya dibutuhkan.
"Pertama memang kita sebetulnya prihatin dengan kondisi seperti itu, artinya pemerintah memang lalai dengan pembinaan guru-guru honorer, kesejahteraan guru honorer itu mereka lalai. Padahal guru honorer dibutuhkan karena banyak sekolah yang kosong," kata Cecep saat dihubungi detikcom, Sabtu (18/9/2021).
Terkait proses rekrutmen guru, kata dia, seharusnya pemerintah membedakan antara tes untuk lulusan baru dengan guru honorer. Menurutnya, perlu ada kebijakan afirmasi bagi guru honorer yang sudah mengabdi 10 tahun lebih.
"Hemat saya sebaiknya kebijakan kaitan dengan tes itu harusnya dibedakan antara honorer yang sudah sekian lama mengabdi dengan fresh graduate. Makanya saya sering ungkapkan perlu adanya kebijakan afirmasi, atau afirmatif. Bagi mereka setidak-tidaknya yang 10 tahun atau lebih maka sebaiknya tes itu tidak untuk menyatakan lulus atau tidak tapi hanya menggambarkan kondisi rill para guru honorer kemudian angkat saja jadi guru PPPK," paparnya.
Cecep juga menilai, pemerintah tidak memiliki pemetaan guru honorer sehingga mempersulit proses pengadaan PPPK. "Persoalan ini kan sudah terlalu lama, menumpuk, guru-guru honorer tidak diangkat-angkat. Menumpuknya guru honorer tanpa kejelasan dan kepastian. Artinya kebijakan selama ini belum punya grand design yang baik soal penataan guru," paparnya.
Grand design yang ia maksud yaitu soal berapa kebutuhan guru untuk berapa sekolah termasuk bagaimana kemampuan pemerintah untuk mengangkat status guru honorer menjadi PNS.
Senada dengan itu, Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji mengatakan, permasalahan kuantitas dan kualitas guru tidak dapat diselesaikan dengan perekrutan semata. Jauh dari itu, dia meminta secara tegas untuk pembenahan tata kelola.
Bahkan, kata dia, berdasarkan data di website Kemendikbud, Indonesia saat ini kelebihan jumlah guru. "Kan ada datanya di website kemendikbud jelas. Tapi mereka mengatakan kekurangan guru, nah itu letaknya di mana mungkin distribusinya nggak bagus," kata Indra.
Dia mengatakan, data dari Bank Dunia menyebut 25% guru Indonesia sering bolos ke sekolah. Itu sebabnya beberapa sekolah merekrut guru honorer.
"Mungkin itu yang tadi kita kekurangan guru karena 25% nya suka bolos. Berarti kalau merekrut guru baru kan nggak menyelesaikan masalah. Karena kita banyak guru yang masih digaji tapi nggak pernah masuk sekolah," sambungnya.
Menurutnya, membicarakan perekturan dan status yang dipersulit tidak akan menyelesaikan masalah. Melainkan menambah masalah baru.
"Sekarang status guru honorer saja itu di UU nggak ada. Hanya ada guru ASN dan guru yayasan. Sekarang tiba-tiba ada guru honorer, dasar hukumnya apa nih. Kualifikasinya apa. Jadi karena nggak pernah didesain dengan baik, manajemen SDM nya akan selalu seperti ini. Segera benahi lah tata kelola nya dulu," pungkasnya.(dtf)