Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Pemerintah harus mengkaji ulang aturan mengenai kenaikan tarif transportasi online atau ojek online (ojol) yang termaktub dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi. Pasalnya, tarif baru ojol yang mulai berlaku besok ini berpotensi menggerus daya beli masyarakat.
"Saat ini ojol telah menjadi salah satu moda transportasi umum yang digunakan masyarakat, bukan hanya untuk mengantar penumpang, tapi juga jasa pengiriman barang. Karena itu, kenaikan tarif ojol yang terlalu tinggi berpotensi menggerus daya beli masyarakat. Selain itu, kenaikan ini juga akan membebani para pelaku UMKM," kata pengamat ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin, Sabtu (13/8/2022).
Dalam aturan baru, tarif ojek online dibagi menjadi tiga zonasi itu dimana Sumatra masuk dalam Zona I bersama Jawa (selain Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), dan Bali. Tarif baru ojol untuk Zona I yakni biaya jasa batas bawah sebesar Rp1.850/km dan biaya jasa batas atas sebesar Rp2.300/km. Tentang biaya jasa minimal jadi Rp9.250 sampai dengan Rp11.500 atau aik dari sebelumnya Rp7.000 hingga Rp 10.000.
Gunawan mengatakan, masyarakat pengguna jasa transportasi online ini cukup banyak. Jadi jika kenaikan tarif ojol cukup tinggi, otomatis inflasi bisa ikut naik, sehingga daya beli masyarakat akan tergerus. Masyarakat belakangan ini sudah tertekan dengan biaya hidup yang cukup tinggi. Selain itu kenaikan tarif ini juga bisa memberikan multiplier effect khususnya bagi pelaku UMKM karena daya beli masyarakat yang menurun yang akan berdampak pada omset mereka.
Gunawan berharap, pemerintah melakukan kajian mendalam sebelum menetapkan sebuah kebijakan agar mampu memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat. Menurutnya, kenaikan tarif ini justru akan mengakibatkan turunnya permintaan jasa pengantaran penumpang dan mengurangi daya beli masyarakat.
"Harus dikaji, apakah besaran kenaikan tarif ini akan berdampak positif bagi kesejahteraan pengemudi, atau justru berpotensi menambah pengangguran karena banyak mitra ojol yang akhirnya berhenti akibat permintaan yang terus turun. Jangan sampai kebijakan ini tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan, malah menambah angka pengangguran," katanya.
Gunawan juga mempertanyakan dasar pertimbangan pemerintah dalam menentukan besaran kenaikan tarif ojol. Karena hingga saat ini, ia belum mendapatkan informasi terkait formulasi apa yang digunakan pemerintah. Kalau pertimbangannya karena bahan bakar minyak jenis Pertalite yang akan naik, faktanya di lapangan Pertalite belum mengalami kenaikan. "Memang dipertanyakan, komponen apa yang jadi pertimbangan sehingga tarif ojol dinaikkan. Landasannya apa, karena kenaikan tarifnya kan cukup signifikan," katanya.
Menurut Gunawan beberapa komponen yang harus menjadi dasar penetapan tarif ojol diantaranya harga bahan bakar, rata-rata upah minimum regional di wilayah operasional ojol, biaya perawatan mesin, dan masa pemakaian kendaraan. "Kalau kita lihat, komponen biaya yang paling besar itu bahan bakar. Namun hingga saat ini bahan bakar belum menunjukkan kenaikan harga. Sebaiknya pemerintah menjelaskan dasar pertimbangan kenaikan tarif sebesar itu," imbuhnya.
Gunawan mengatakan, kenaikan tarif ini membuat resah konsumen di wilayah perkotaan. Sebab, kenaikan ini cukup membebani pengeluaran dan bisa berdampak pada inflasi.