Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) politik uang atau money politic adalah suap atau uang sogok. Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau sebuah upaya mempengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap.
Di kalangan pengamat politik, akademisi, pegiat pemilu, pegiat anti korupsi, masyarakat, politik uang dalam pemilihan umum selalu saja menjadi topik yang tidak ada habisnya. Selalu menjadi pembahasan menarik di berbagai kegiatan diskusi ataupun seminar kepemiluan bahkan di warung-warung kopi.
Politik uang bukan merupakan nilai-nilai atau norma adat yang diajarkan oleh leluhur kita. Namun merupakan hal yang sudah mendasar dan mendarah daging di masyarakat.
Jika dilihat dari sejarah, selain politik pecah belah (devide et impera), politik uang juga sudah terjadi sejak jaman penjajahan. Para penjajah menyuap para pribumi untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Dan politik uang ini berlangsung hingga sekarang dan juga diaplikasikan dalam konteks pemilihan umum.
Sikap haus kekuasaan juga alasan mengapa terjadi politik uang. Demi mendapatkan jabatan yang diinginkan, seseorang rela menumpuh jalan dengan melakukan politik uang.
Dalam bukunya “Politik Uang di Indonesia” oleh Aspinall, Edward dan Sukmajati, (2015) dijelaskan jenis-jenis politik uang dalam pemilihan umum di Indonesia, meliputi, pertama, pembelian suara, yaitu distribusi pembayaran uang tunai/ barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi.
BACA JUGA: Peran Perempuan Menuju Pesta Demokrasi 2024
(Bahkan ada istilah serangan fajar yakni pemberian uang kepada pemilih sebelum pencoblosan dilakukan. Serangan fajar kadang dilakukan pada subuh sebelum pencoblosan, atau bahkan beberapa hari sebelumnya. Serangan fajar telah membangun sebuah tradisi demokrasi yang buruk. Politisi menganggap serangan fajar adalah sesuatu yang lumrah, mesti dilakukan untuk bisa mengalahkan rivalnya pada pemilihan )
Kedua, untuk mendukung upaya pembelian suara yang lebih sistematis, para kandidat seringkali memberikan berbagai bentuk pemberian pribadi kepada pemilih. Biasanya mereka melakukan praktik ini ketika bertemu dengan pemilih, baik ketika melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau pada saat kampanye.
Pemberian seperti ini seringkali dibahasakan sebagai perekat hubungan sosial, misalnya, anggapan bahwa barang pemberian sebagai kenang-kenangan. Bahkan di Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara, kandidat sering mengumpulkan masyarakat dan menjadikan ajang memanggang ataupun minum tuak sebagai sitilah menjaga tali silaturahmi ataupun ajang promosi.
Ketiga, seperti pemberian uang tunai dan materi lainnya, kandidat seringkali menyediakan atau membiayai beragam aktivitas dan pelayanan untuk pemilih. Bentuk aktivitas yang sangat umum adalah kampanye pada acara perayaan oleh komunitas tertentu. Di forum ini biasanya para kandidat mempromosikan dirinya.
Contoh lain adalah penyelenggaraan pertandingan olahraga, pesta-pesta yang diselenggarakan oleh komunitas dan masih banyak lagi. Tidak sedikit kandidat yang juga membiayai beragam pelayanan untuk masyarakat, misalnya check-up dan pelayanan kesehatan gratis. Kandidat lebih sering memberikan sumbangan ke rumah ibadah dan mendukung kegiatan keagamaan
Keempat, pemberian untuk keuntungan bersama bagi kelompok sosial tertentu semisal donasi untuk asosiasi-asosiasi komunitas.
BACA JUGA: Potensi Konflik Sosial Pilpres 2024
Kelima, proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu. Kegiatan ini ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana publik dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu.
Banyak kandidat menjanjikan akan memberikan program, bantuan peralatan, proyek yang didanai dengan dana publik untuk konstituen mereka. Biasanya berupa proyek-proyek infrastruktur berskala kecil atau keuntungan untuk kelompok komunitas tertentu, terutama untuk aktivitas-aktivitas yang bisa menghasilkan atau peningkatan pendapatan.
Alasan dan Dampak Politik Uang
Politik uang sepertinya sudah menjadi kebiasaan yang melekat dalam masyarakat, sehingga masyarakat berfikir tidak ada uang maka tidak ada suara yang akan mereka salurkan bahkan masyarakat cenderung memilih siapa yang memberikan keuntungan lebih banyak.
Hal ini sangat memprihatinkan dan bahaya dalam Demokrasi. Pilihan ditentukan pada pragmatis politik, oportunis politik atau seberapa banyak uang yang diberikan calon kepala daerah, calon legislatif pada para pemilih.
Terjadinya politik uang juga dipengaruhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Kemiskinan menjadi faktor utama dalam politik uang. Kondisi kemiskinan memaksa seseorang untuk mendapatkan uang secara cepat. Politik uang menjadikan cara masyarakat untuk mendapatkan uang dengan instan tanpa mempedulikan kosekuensi yang akan diterima jika mereka menerima suap untuk memberikan suara,
Kurangnya informasi pendidikan politik yang diterima masyarakat menjadikan masyarakat tidak tahu bentuk politik dan dampaknya. Untuk menciptakan pemilu yang bersih sangat dibutuhkan pemahaman masyarakat akan bahaya politik uang. Masyarakatlah sebagai penentu masa wilayahnya dan masa depan negaranya.
Politik uang merusak tatanan demokrasi, yang sudah lama tumbuh subur dalam sistem sosial kemasyarakatan kita. Ini ibarat sebuah penyakit menahun yang mencederai sistem demokrasi dan menghambat dalam membangun sebuah proses demokrasi yang sehat. Bisa dibilang politik uang bentuk pembodohan rakyat.
Politik uang sampai pada saat ini belum bisa dihentikan. Belum ada cara yang efektif untuk menjerat para pelaku politik uang yang dilakukan baik secara terang-terangan maupun secara terselubung.
Para calon atau partai politik yang melakukan praktik politik uang secara tidak langsung mejadikan rakyat hanya semata-mata sebagai pihak yang suaranya dapat dibeli. Rakyak tidak lebih hanya sebagai obyek politik.
Hal ini mempengaruhi kedaulatan rakyat untuk memberikan pilihan suaranya secara bebas karena sudah diikat dengan jual beli suara sehingga secara substansi rakyat bukan lagi pemegang kedaulatan penuh sebagai penentu siapa pemimpin yang akan terpilih. Hal ini juga menjadikan pola hubungan sosial yang diikat dengan kepercayaan menjadi transaksional.
BACA JUGA: Politik Uang dan Pembusukan Demokrasi
Politik uang juga mengubah kekuasaan politik menjadi masalah individu. Bukan lagi masalah publik yang harus dipertanggungjawabkan secara akuntabel.
Politik uang akan memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan memikirkan kesejahteraan masyarakat yang memilihnya.
Karena adanya pemikiran bahwa dia telah membeli suara dari masing-masing individu rakyat. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan.
Politik uang juga menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain untuk biaya operasional tim, biaya serangan fajar, biaya kampanye, souvenir, donasi dan biaya yang lain, para kandidat juga diduga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis.
Tentu saja, itu bukan hanya dari uangnya pribadi, melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya dia terpilih. Akhirnya setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk.
Politik uang juga akan menghilangkan sikap kritis masyarakat terhadap kekuasaan. Masyarakat secara individu yang suaranya telah dibeli kelak akan merasa sungkan dan enggan untuk mengkritisi pemimpin yang sedang berkuasa terhadap berbagai kebijakan yang diterapkan.
Sebagai masyarakat, kita harus memantau, mencegah dan melaporkan terjadinya politik uang. Jangan mudah tergiur dan uang yang diterima tidak seberapa. Nasib kita ditentukan untuk lima tahun kedepan. Jika kita memilih hanya karna uang dan ternyata salah memilih, maka kita sendiri yang akan susah.
Kita diminta untuk tetap memberikan hak suara dan memilih kandidat yang kita kenal latar belakangnya serta tahu visi misinya. Sebagai masyarakat yang cerdas kita harus mampu menilai kandidat yang terbaik, yang mampu dan mau mendengarkan aspirasi kita. Bukan memilih kandidat yang mementingkan dirinya ataupun kelompoknya serta yang melakukan politik uang.
Walau kita tidak menerima uang, kita harus tetap memberikan suara. Jangan tidak memilih atau Golongan Putih (Golput). Golput juga akan memberikan ruang kepada kandidat yang tidak kredibel untuk berkuasa. Tolak Politik Uang dan Tolak Golput.
Politik Uang dalam Regulasi Pemilihan Umum
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pada Pasal 515 menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta“.
Selanjutnya dalam Pasal 523 menyatakan Ayat (1) “Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dlm pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah)”.
Ayat (2) “Setiap pelaksana, peserta dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp.48.000.000 (empat puluh delapan juta rupiah)”.
Ayat (3) “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Dalam Pemilu ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap praktik politik uang dibedakan menjadi 4 kategori peristiwa politik uang berdasarkan waktu kejadian yaitu peristiwa politik uang yang terjadi pada saat pemungutan suara berlangsung, pada saat kampanye, pada masa tenang dan pada hari pemungutan suara.
Lamanya ancaman sanksi pidana penjara dan denda yaitu berkisar antara paling lama 2 tahun dan denda 24 juta sampai dengan paling lama 4 tahun dan denda 48 juta. Sedangkan pihak yang dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda adalah pihak pemberi.
BACA JUGA: Antara 2024, Konflik dan Usul Perpanjangan Jabatan Kades
Dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang (undang-undang pilkada) pada Pasal 73 menyatakan, Ayat (1) “Calon dan/ atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/ atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/ atau pemilih”.
Ayat (2) “Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Prov atau KPU Kab/Kota”. Ayat (3) “Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Ayat (4) “Selain calon atau pasangan calon, Anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan , atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk : a. mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih. b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu”.
Dan ketentuan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 187 A menyatakan Ayat (1) “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000. (satu milyar rupiah)”.
Ayat (2) “Pidana yang sama diterapkan kepada Pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Dalam Pilkada ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap praktik politik uang diatur dengan lebih berat, dengan adanya ketentuan minimal pidana (bukan paling lama) yaitu pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 milyar. Sedangkan pihak yang dijatuhi sanksi pidana penjara dan denda adalah pemberi dan penerima.
====
Penulis pegiat jurnalis di Samosir.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]