Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PENULIS punya pengalaman menyenangkan dengan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Kampus mungil, namun melimpah gagasan-gagasan besar. Tidak hanya mengkaji secara theologis namun analisis kritis melalui ragam pemikiran para filsuf dibahas lewat proses akademik di dalam kampus.
Pengabadian pemikiran hasil diskursus di dalam kampus nyatanya tidak menjadikan civitas academica jumawa untuk sekadar terpolarisasi menjadi sekelompok elite akademik. Melainkan pengetahuan dibagi ke ruang publik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Dalam bentuk lisan, STF Driyarkara kerap melakukan kelas-kelas terbuka bagi publik. Internalisasi pengetahuan ini menerobos kerentanan manusia yang sejatinya memiliki kehausan akan kebenaran. Apalagi tidak ada emben-embel relasi komersil di dalam relasi pengabdian yang dibentuk selama kelas terbuka berlangsung.
Biasanya menjelang hari ulang tahun Kampus STF Driyarkara akan ada kelas-kelas terbuka untuk diikuti publik dalam menggeluti kajian theologis dan filosofis.
Gerakan demikian merupakan wujud dari pengabdian untuk menjalakan tridharma perguruan tinggi. Sekaligus sebagai kritik terhadap komersialisasi pendidikan yang justru membuat disparitas antara kelompok elite dan elompok marjinal. Tidak-tidak! Celaka pemahaman yang demikian. Kala kursus di luar sekolah malah kini lebih penting daripada sekolah itu sendiri. Aneh luar biasa.
STF Driyarkara menunjukkan kedalaman pengabdian, bahwa kampus harus menarik dirinya hingga sampai ke ruang publik. Mendidik publik tanpa ada pertimbangan akan mendapatkan balas jasa. Cukup kecerdasan publik sebagai imbalannya.
Kadang penulis keheranan tentang bertebarannya jasa-jasa kursus di Indonesia. Lah, buat apa sekolah jika harus kursus kembali di luar sekolah? Tidakkah sekolah saja sudah cukup?
Atau jangan-jangan ada yang salah dengan cara kita memahami pendidikan. Kini pendidikan menjadi ajang komersialisasi. Bahkan, ada sekolah yang menekan siswa/siswi harus mengikuti kursus dari guru tertentu di luar kelas agar lulus ujian. Tidakkah pemaksimalan jam belajar seharusnya lebih dimaksimalkan?
BACA JUGA: Pria Bernama Otto dan Rembulan di Tepi Parapat
Penulis pernah mengalami langsung momen demikian, bahkan kabarnya ada sekelompok guru di sekolah itu dulu yang berkoalisi untuk membentuk jasa kursus.
Alih-alih menambah animo untuk belajar, tindakan yang demikian justru bersifat represif bagi kebebasan intelektual. Banyak siswa/siswi waktu itu yang terpaksa harus ikut kelas dari guru-guru yang terlalu sempit pemikirannya sekadar untuk mendapatkan uang.
Begitulah pengalaman penulis melalui masa-masa sekolah dulu. Tapi tidak dengan Driyarkara. Setidaknya dengan pengalaman perdana.
Pengalaman empiris waktu berkunjung ke STF Driyarkara juga memunculkan hasrat intelektual yang begitu besarnya. Awal kisah bermula ketika penulis berkunjung ke dalam kampus untuk dapat berfoto di tugu Driyarkara yang terkenal itu.
Setibanya penulis disana, sekitar pukul 17.00 WIB hari Kamis, 20 Juli 2023. Seperti biasa, lokasi kampus telah ditutup karena jam kerja hingga pukul 16.00 WIB.
Akhirnya, penulis meminta izin satpam agar diperbolehkan keliling kampus. Satpam pun menyetujui rencana itu. Kami keliling kampus mungil ini, mengitari tugu Driyarkara dan sebentar ke arah Perpustakaan kampus. Lalu menariknya, di dekat post satpam ada rak buku dengan tulisan: "Boleh diambil Gratis!"
Langsung saja, penulis memilih buku-buku terbaik yang masih tertinggal. Ada sekitar 8 buku yang penulis ambil.
Lalu, penulis bertanya kepada Satpam perihal buku gratis yang ada di dalam kampus. "Mengapa ini ada? & setiap kapan bagi buku gratis ini dilakukan?"
Spontan, Satpam berkata. "Wah, kalau buku gratis ini memang ada di kampus dua kali setahun. Siapa saja bebas mengambil. Mau satpam, pendatang, mahasiswa. Semua bebas mengambil."
"Waduh, ini tidak mengapa Pak? Kebanyakan soalnya buku yang saya ambil. Dan ini knpa ya Pak bukunya gratis?" Ucap penulis kebingungan.
"Memang seperti itu, semua boleh mengambil. Gak tau kenapa memang boleh!" Ucapnya melanjutkan percakapan.
Begitulah kesan langsung dengan kampus STF Driyarkara. Buku-buku yang dibagi rata-rata sangat berkualitas. Seperti inilah seharusnya pendidikan. Pendidikan bukan untuk dimonopolisasi oleh oknum tertentu. Pendidikan dari semua, bagi semua dan untuk semua.
Seperti halnya filosofi pendidikan Driyarkara bahwa, pendidikan bagi semua karena melalui pendidikan, kita dibebaskan dari ikatan yg membelenggu melalui pikiran-pikiran besar ada di dalam buku.
Hal sederhana membagikan buku gratis, tentu dengan mekanisme anggaran dan tuntutan untuk semakin bertanggung jawab akan kebebasan intelektual tersebut cukup mengingatkan banyak pihak yangg memonopolisasi pendidikan, menindas dengan pendidikan dan mengkomersialisasi pendidikan. Sebab pendidikan ada bagi semua.
Apakah anggaran kita cukup untuk melakukan hal yang demikian? Saya pribadi berkata cukup. Anggaran pendidikan setiap tahun sekitar 20% dari APBN. Termasuk di dalamnya dana abadi pendidikan yang sangat besar.
Namun anehnya, angka literasi pendidikan Indonesia masih sangat rendah. Skor PISA Indonesia selalu bertengger nyaris urutan terakhir dibanding negara-negara di dunia. Mengapa demikian?
Mungkin saja salah satu variabelnya karena tidak ada buku cetak yang mereka sukai yang harus mereka baca dengan sangat antusias. Beranikah kampus-kampus di Indonesia melakukannya? Biar waktu yang menjawabnya.
====
Penulis alumnus Magister Ilmu Politik FISIP USU
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]