Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
TADI pagi, penulis melihat seorang anak kecil. Begitu senangnya dia, waktu menggerak-gerakkan tangannya di hadapan seorang kakek tua yang duduk di depan tubuh mungilnya.
Waktu anak kecil itu menggerak-gerakkan tangannya, si kakek spontan mengikuti gerakan si anak kecil. Melihat respon si kakek, anak itu tertawa. Berulang kali dia kembali memutar-mutar tangannya, berulang kali pula si kakek mengikuti gerak itu.
Maka tertawalah si anak kecil akibat adanya pengaruh yang berhasil ditimbulkannya terhadap diri seorang kakek tua.
Perilaku seorang anak balita memang demikian. Seorang anak kecil akan tertawa, jika keberadaannya menghasilkan reaksi. Dia akan banyak mengobservasi sesuatu di sekelilingnya. Dan lebih senangnya lagi, bila ada pengaruh yang ditimbulkan hasil dari aksinya.
Berulang kali pula dia akan melakukan hal yang sama hingga ledakan reaksi muncul. Itu sebabnya, tidak heran jika seorang dewasa menutup wajahnya dengan tangan, seketika membukanya di hadapan seorang anak kecil. Maka kaget dan bergembiralah anak kecil itu.
BACA JUGA: Pemilu Gado-gado
Sebelum kembali ke anak kecil tadi, sebentar kita akan mengulas tentang kekuasaan.
Jika mengulas secara fenomenologi, kekuasaan merupakan upaya untuk mendominasi, mengendalikan orang lain, mengambil keuntungan dari tindakan politik yang dipraktikkan secara paksa.
Sebutlah seperti perilaku Adolf Hitler selama Perang Dunia II. Dengan bengis dan kejamnya dia memasukkan gas beracun pun dengan menembak kan peluru api selama peristiwa Holocaust. Membunuh sekitar 6 juta orang Yahudi. Bangsa Arya hebat bagi Hitler, sementara tidak dengan bangsa inferior Yahudi.
Apakah Hitler tampak mengerikan dengan mendominasi musuhnya dengan membunuh orang-orang Yahudi? Memimpin perang melawan Prancis, Inggris, Amerika, Unisoviet? Kok saya beranggapan tidak ya.
Hitler sama sekali tidak berani. Dia penuh ketakutan, lantaran berambisi untuk menyingkirkan orang lain demi menonjolkan dirinya dan Bangsa Arya. Hitler merasa terganggu dengan keberadaan orang lain yang berseberangan dengannya. Inilah ciri ketakutan akut.
Eksistensialisme Jean Paul Sartre pun demikian. Diri akan menonjol selama menegasikan orang lain. Bagi penulis, Machiavellian pun demikian. Sekalipun memang Machiavelli tidak ada kaitannya dengan Hitler dari aspek filosofi kekuasaan. Paling tidak, Machiavelli pun memiliki naluri untuk memegang kendali atas kekuasaan. Hal ini pun wujud dari ketakutan.
BACA JUGA: Adian Napitupulu, Abang Sedang Kenapa?
Secara fenomenologi, manusia yang ingin mengendalikan/mendominasi orang lain pada umumnya tersirat keadaan diri yang dilingkupi rasa takut.
Takut jika keberadaannya/pengaruhnya tidak lagi berarti. Takut jika upaya atau perjuangannya sia-sia. Takut jika orang lain tidak lagi memperhatikannya. Dan berbagai ketakutan-ketakutan lainnya. Karena ketakutan itulah, legalitas untuk mengekang orang lain menjadi jawaban untuk mendapatkan rasa aman. Bahkan kepuasan diri.
Pada umumnya, manusia masih bisa mentolerir perilaku seorang anak kecil seperti cerita di awal. Mendominasi orang lain lazim dilakukan anak kecil. Terjebak di dalam ilusi kekuasaan. Tidak heran, banyak orang yang tidak mampu berhadapan dengan perilaku demikian. Butuh pedagogi yang tidak sembarangan dalam menghadapi anak kecil. Kita perlu melihat keindahan di dalamnya, alih-alih melihat motif dari seorang anak kecil.
Lain hal dengan usia dewasa/senja. Manusia pada umumnya tidak dapat mentoleransi perilaku demikian (mendominasi pengaruh atas orang lain) di kala usia seseorang tersebut telah dewasa/senja.
Sejatinya sikap demikian juga karakter kekanak-kanakan. Coba bayangkan, di usia tua seseorang berperilaku seperti anak kecil. Tukang ngatur, kata orang. Maka, rasa empati/simpati menjadi pudar seketika saat berhadapan dengan seseorang yang demikian--seperti anak kecil.
BACA JUGA: Peradaban Politik Indonesia dan Fenomena-fenomena yang Terjadi
Meskipun begitu, bukan berarti perilaku seperti seorang anak kecil tidak mendapatkan tempat untuk ditolerir di tengah-tengah masyarakat.
Biasanya, di dalam karakter yang berbeda, jika dikaitkan atau ditambahkan dengan aspek estetika/romantika maka akan ada toleransi-toleransi yang diberikan. Masyarakat justru menyukai keadaan ini.
Misalnya, seperti sepasang kekasih yang bermanja ria. Sikap seperti seorang anak kecil ini akan dipandang sebagai simbol ketulusan di dalam relasi intrapersonal. Atau berpose manja saat sedang berswafoto. Maka perilaku demikian, seperti seorang anak kecil akan diterima apa adanya. Di dalam keadaan saling mengasihi, memahami, bersuka ria.
Di dalam bagian akhir tulisan ini, saya akan menawarkan cara pandang yang berbeda dari relasi kuasa untuk saling mendominasi sebelumnya. Yakni, relasi subjek-subjek, menjadi kritik yang tepat atas relasi dominasi sebelumnya dalam bentuk subjek-objek.
Toh kekuasaan itu menyebar seperti kata Foucault. Kita memiliki pemahaman, kemampuan dan keunikan yang berbeda-beda. Itu sebabnya penting untuk saling menghormati.
Karena itu beranilah untuk berinteraksi di dalam pertemuan saat berjumpa dengan perbedaan. Lantaran, pertemuan akan meleburkan totalitas (keegoisan) seperti kata Emmanuel Levinas.
Selain itu, perlu menempatkan tujuan hidup bukan lagi pada eksistensi, melainkan pada tujuan etis yang dijadikan sentral utama dari kehidupan. Salah satunya aspek estetika/romantika.
BACA JUGA: Jangan Terlalu Berani Jadi Capres-Cawapres
Lalu, bagaimana dengan anak kecil dan kakek sebelumnya? Keadaan demikian, patut dianggap sebagai ruang estetika romantis dalam relasi subjek-subjek. Karena, kehidupan juga memberikan tempat untuk hal seperti ini.
Seorang subjek seperti halnya seorang kakek juga harus memiliki keluasan sikap untuk menerima realita yang sedang dihadapi subjek lainnya. Lagipula keadaan demikian tidak akan selalu bisa ditemukan. Setiap manusia memiliki keterbatasan usia di bumi. Tidak hanya seorang kakek, akan tetapi setiap manusia pun perlu memiliki kekuasaan sikap untuk menerima/memahami yang lain--yang berbeda dengannya.
Beginilah kekuasaan perlu dimaknai. Dia tidak tersentralisasi, melainkan tersebar di dalam relasi subjek-subjek. Seorang kakek di awal, tampaknya tengah melakukan hal itu.
====
Penulis, Gemar studi filsafat. Alumnus Magister Ilmu Politik FISIP USU.
====
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG) posisi lanskap, data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]