Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
ADA perbedaan prinsipil di dalam ketiga pemikiran sebelumnya; epikurianisme, stoikisme dan kekristenan mengenai Kesenangan. Pemikiran epikurianisme masa Helenistik (era Alexander Agung) akan berdalih bahwa puncak dari kesenangan adalah pemenuhan kebutuhan jasmani. Rasa nikmat hasil dari pemenuhan hasrat bagi kaum epikurianisme adalah tujuan hidup atau puncak dari kebahagiaan.
Stoikisme, setidaknya dari pendapat Musonius Rufus (25-95 M) beranggapan berbeda dengan pandangan epikurianisme sebelumnya. Bagi Rufus, si filsuf Stoa, mengejar kesenangan bukanlah tujuan hidup di dunia. Baginya, hidup di masa muda adalah persiapan (bekal) di masa tua untuk mencapai kepenuhan hidup.
Sederhananya, masa muda adalah masa persiapan untuk menjadi seorang tua yang sesungguhnya. Bukan kekanak-kanakan, bukan menjadi orang yang haus perhatian atau bahkan larut dalam ketakutan kelak di masa tua.
Hal demikian dapat dicapai dengan keselarasan dengan alam (mampu menerima keadaan, memiliki tujuan hidup, banyak ide dan bijaksana). Sehingga bagi penganut stoikisme penting memiliki keutamaan hidup setiap saat (Setyo Wibowo, Pendidikan Karakter ala Stoikisme 2023: 19-20).
Waktu merenungkan pandangan stoikisme sebelumnya, penulis cukup kagum soal pandangan mereka mengenai latihan kedewasaan sedini mungkin untuk persiapan di masa tua. Serta, perlunya memiliki keutamaan hidup.
BACA JUGA: Pria Bernama Otto dan Rembulan di Tepi Parapat
Apa yang paling penting (bijaksana hidup), biarlah menjadi prioritas. Good! Kita layak menerima bijaksana ini. Namun demikian, untuk melihat perspektif kekristenan, dan keutamaan hidupnya, tampaknya kita perlu menekankan prioritas paling penting, menerobos pemikiran Stoik ke dalam aspek transendental.
Dari keutamaan hidup, tidak berlebihan jika menyebutkan bahwa seorang Kristen dipanggil untuk menjadi seperti Kristus. Dan pesan penting dari pewahyuan dalam kitab suci adalah permintaan Allah terhadap manusia untuk mengetuk, mengejar, mencari dalam penghayatan waktu yang semakin lama membawa setiap manusia semakin bertumbuh seperti Dia.
Inilah salah satu keutamaan Kristen. Saudara dan saya menjadi bahagia jika mengejar, aktif berbuat, mau berbagi dan pergi mencari, segala sesuatu yang membuat kita bertumbuh seperti Kristus.
Itulah yang akan membuat ciptaan berbahagia dengan benar. Karena ada pembenaran bagi manusia, kemudian ada pembentuk perlahan menjadi ciptaan yang sempurna melalui latihan hidup di dalam liturgi (penghayatan spiritual).
Sampai di bagian ini, penulis teringat dengan salah satu pernyataan Timothy Keller, seorang theolog di New York. Semasa hidupnya, pengajaran akan hadirat Kristus cukup sering disinggung Keller. Hal demikian tampaknya dikutip dari Yesaya 55:6-7: "Kejarlah Allah selagi Dia mau ditemui."
Dalam hal pengejaran akan Allah ini, Immanuel Kant ada benarnya meskipun dalam konteks yang berbeda mengenai konsep Allah. Namun ada prinsip yang benar dalam etika Kant.
Kant mengulas mengenai pentingnya terlibat di dalam kebaikan-kebaikan, seperti menyusuri aliran sungai untuk mencapai lautan, maka dalam hal yang sama kamu akan menemukan Alla.
BACA JUGA: Dicari, Suasana yang 'Sepenuhnya Romantis'
Aspek penyembahan dalam keseharian tersebut membentuk ciptaan menjadi mirip dengan Pribadi yang disembah. Sama seperti pembahasan sebelumnya, sebagai seorang Kristen. Pesan yang dapat disimpulkan mengenai kebahagiaan, yakni kejarlah segala sesuatu yang membuat kamu bertumbuh seperti Kristus, maka kamu akan berbahagia di dalam keadaan dan pengertian yang berbeda. Termasuk berbeda dengan pandangan epikurianisme bahkan stoikisme.
Tidak tentu seseorang dapat berbahagia dalam hal pengejaran materi. Banyak orang mengakhiri hidupnya dengan gampangan padahal punya cuan. Namun, kebahagiaan melalui keseluruhan aspek kemanusiaan (psikomotorik, afeksi dan kognisi) menjadi poin perhatian dalam hal ini. Khususnya di dalam pengejarannya untuk menjadi seperti Kristus dalam perspektif iman Kristen.
Mengejar hikmat dan pengertian. Termasuk aspek kognisi dengan ingatan yang baik dan benar terhadap Pencipta yang menebus dan ciptaanNya yang ditebus (aspek kognisi), dengan mengingat hal demikian membuat setiap orang memaknai hidup dan relasinya dengan benar.
Selain itu, tentu tidak hanya sekadar mengejar hikmat dan pengertian saja. Namun juga pertobatan afeksi (emosi yang sehat lewat pembaharuan Allah) untuk bersyukur menghitung anugrah Pencipta dan sukacita menyatakan kebenaran. Kasih yg dimengerti, menutupi banyak kesalahan namun tetap ingin menyatakan kebenaran.
Terakhir, juga mengenai aspek psikomotorik, untuk mengejar/berbuat suatu tindakan yang penuh penghayatan di dalam liturgi. Sederhananya, dengan adanya kesadaran ragawi untuk beribadah dalam setiap tindakan/perbuatan pun adalah kenikmatan hidup untuk menjadi serupa seperti Kristus.
Dengan demikian terdapat cakupan yang cukup luas, tidak hanya rasio, sekaligus emosi dan psikomotorik mendapatkan pembaharuan atas pengejaran seorang Kristen itu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang Kristen haruslah mengejar segala sesuatu yang membuatnya menjadi serupa seperti Kristus. Mengejar secara aktif pun dapat pula secara pasif (kerelaan hati).
BACA JUGA: Suatu Pelajaran dari Kisah Cinta yang Telah Berakhir
Maka dengan demikian, akan ada kesenangan dengan pengertian berbeda, yang tentu saja akan terus bertumbuh sebagai hasil dari pengejaran itu. Demikianlah seorang Kristen merasakan sukacitanya.
Jika epikurianisme akan memuaskan keinginan hasrat, stoikisme mencari kesenangan dengan latihan hidup serta membentengi dirinya dengan rasio dan pengusahaan pribadi terhadap apa yang dapat dikendalikan dan melepaskan apa yang tidak dapat dikendalikan.
Maka, Kekristenan pun memiliki penghayatan hidup di dalam ibadah untuk terus bertumbuh secara kreatif seperti Kristus dan pergumulannya diserahkan pada Tuhan yang mengasihinya serta mengasihi manusia keseluruhan pun alam ciptaan. Sekian.
====
Tulisan ini merupakan refleksi theoligis-filosofis Kristen. Penulis master bidang politik lokal dan pemikiran politik Kristen, juga seorang filsuf.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]