Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PEMILIHAN Umum (Pemilu) merupakan pengejawantahan yang kongkret bagi negara-negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi. Tentunya hal ini harus didasarkan dengan sistem pemilu yang baik pula. Di negara kita unsur pemilu yang baik menurut undang-undang adalah, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, berkepastian hukum, efektif, efisien, proporsional, profesional, mandiri serta akuntabel.
Demokrasi sendiri sebenarnya menurut ahli seperti Karl Proper ialah kesempatan para rakyat untuk memilih pemimpinnya yang akan diberikan kekuasaan. Jika merujuk pada kekuasaan yang dibagi oleh Montesquie seperti yang diterapkan di Indonesia, maka kita akan menemukan kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.
Esensi dari demokrasi sendiri ialah konsep keterwakilan. Maka dari itu negara yang menganut sistem demokrasi maka mustahil jika tidak memiliki partai politik sebagai representatif keterwakilan-keterwakilan aspirasi para kelompok yang akan diwakilinya.
Representatif yang akan diwakili ini pada dasarnya merupakan keterwakilan konsep pandangan politik atau kepentingan yang diharapkan ditawarkan oleh partai politik untuk meraih suara para pemilih yang dirasa memiliki keinginan yang sama.
Misalnya salah satu partai politik memiliki visi jika mereka berhasil duduk di parlemen, maka mereka akan memperjuangkan pemberian subsidi BBM bagi nelayan serta petani yang sebelumnya dicabut oleh pemerintah yang lama. Kepentingan ini secara tidak langsung akan mendatangkan pemilih yang tertarik pada visi partai politik tersebut.
BACA JUGA: Pemilu Gado-gado
Pada dasarnya, visi sebuah partai politik itu ditentukan oleh warisan ideologis yang tertanam di sebuah partai, dengan kata lain spektrum politik partai politik berpengaruh pada kebijakan yang diambil sebelumnya atau kebijakan yang akan ditawarkan pada Pemilu yang akan datang.
Kita dapat melihat contoh dari kiblat negara maju seperti Amerika, di sana antara Partai Republik dan Demokrat sering rutin berdebat terkait hal substantif, perdebatan antara kedua partai politik sangat menarik untuk disimak.
Karena keputusan yang akan diambil sangat mempengaruhi kehidupan mereka dalam empat tahun yang akan datang, kedua partai terus berdebat terkait pilihan apakah pemerintah harus ikut campur terhadap bisnis rakyat?
Kemudian apakah pemerintah akan lebih melindungi hak-hak buruh kulit putih dengan mempersulit imigran dari Afrika dan Asia melalui perubahan peraturan? Dan tentunya dengan perdebatan-perdebatan lainnya, yang sangat dinantikan oleh para pemilih.
Contoh lain yang dapat dilihat ialah saat Donald Trump dinyatakan kalah, ribuan pendukungnya berdemonstrasi dan bertindak anarkis karena menurut mereka jika tidak melalui Donald Trump maka kepentingan ekonomi dan politiknya tidak akan terwakili dan tentunya mengancam kesejahteraan hidupnya.
Di Indonesia sendiri, jika kita lihat bersama Pemilu sangat garing dan membosankan untuk dinikmati. Perdebatan yang ada di media sosial hanya merujuk pada isu Islam konservatif dan nasionalisme, atau antara perubahan dan berkelanjutan, para calon presiden (Capres) beserta wakilnya juga dalam beberapa kesempatan tidak memanfaatkan momen untuk memberikan narasi-narasi yang dapat membuat gejolak publik serta mempengaruhi klasemen elektabilitas mereka.
BACA JUGA: Adian Napitupulu, Abang Sedang Kenapa?
Menurut penulis, ketiga pasangan calon ini seperti ingin bermain aman, karena konsekuensi dalam melakukan aktraksi politik hanya dua. Pertama jika berhasil, mereka akan mendapatkan atensi publik, namun jika gagal risiko terburuk adalah elektabilitas yang menurun.
Anies Baswedan sendiri sebagai penantang isu keberlanjutan yang diusung oleh dua pasangan lainnya juga belum terlihat secara kongkret menawarkan pemilih tentang apa yang akan diubah jika dia duduk menjadi presiden.
Hal ini berbeda ketika 2019, Prabowo secara kongkret di setiap kampanye mengatakan akan melakukan perbaikan di tubuh birokrasi dengan salah satunya peningkatan gaji untuk menekan perilaku banal di lingkungan penyelenggaraa pemerintahan, dan isu perubahan lainnya.
Sedangkan pada saat Pemilu sudah di depan mata, narasi perubahan yang paling banyak diingat oleh publik yang ditawarkan oleh Anies Baswedan dan partai pengusungnya hanya bertaut pada isu Ibu Kota Negara (IKN) baru.
Padahal semestinya Anies Baswedan mampu menawarkan isu yang sangat krusial di hadapan publik. Pada saat hadir dalam acara Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Anies juga sangat diplomatis dalam menjanjikan akan mencabut Undang-undang Cipta Kerja. Dia seakan-akan hanya ingin memuaskan peserta dengan berkata bahwa aspirasi tersebut (pencabutan UU Cipta Kerja) akan diserap, padahal Anies Baswedan bisa mengatakan dengan lantang," Kami pasangan Anies-Muhaimin dengan ini menyatakan, jika kami menjadi Presiden dan Wakil Presiden, kami akan mencabut UU Cipta Kerja". Seperti kelantangan salah satu kader PKB yang meralat ucapannya saat menjanjikan menggratiskan BBM untuk rakyat.
BACA JUGA: Jokowi yang Butuh PDIP atau Sebaliknya?
Bahkan mirisnya, akhir-akir ini terdapat fenomena Capres gemoy dalam strategi politik yang ditawarkan salah satu pasangan calon, yang menurut penulis ini sangat tidak bermutu untuk disajikan dihadapan publik.
Pasangan Prabowo dan Ganjar seakan-akan tidak memiliki jualan lagi yang akan ditawarkan kepada para pemilih. Kedua pasangan ini sepertinya seakan-akan berlomba-lomba untuk menunjukan siapa yang paling Jokowers atau dengan kata lain mereka ingin menunjukkan siapa yang paling mendukung dan melanjutkan kinerja Jokowi.
Hal-hal inilah yang membuat suasana politik kita semakin membosankan, kita sehari-hari hanya disuguhkan berita yang stagnan.
Kalau kita boleh melirik negara tetangga kita seperti Thailand, pada saat Pemilu terakhir beberapa waktu yang lalu, para calon perdana menteri mereka memberikan penawaran yang beragam, sehingga iklim politik sangat menarik dinantikan, ada yang mendukung program investasi asing, ada yang menolak.
Selanjutnya yang paling menarik ketika salah satu calon Perdana Menteri mereka Phita yang banyak didukung kaum muda menjanjikan agar Thailand melakukan demiliterisasi, demonopolisasi, serta desentralisasi.
Pada akhirnya harus diakui bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa Pemilu kali ini suasana yang hadir sangat membosankan untuk dilihat para penikmat isu politik.
Pertama kuatnya pengaruh Jokowi. Kebijakan yang dibuat oleh Jokowi dalam 10 tahun terakhir seakan-akan menyihir rakyat bahwa tidak ada lagi tatanan yang perlu diubah.
Bahkan berdasarkan data yang ada dari beberapa survei seperti SMRC, Indikator Politik, dan lainnya menyebutkan bahwa Anies-Muhaimin yang menjual isu perubahan seperti tidak mendapatkan atensi publik, sehingga menyebabkan Anies-Muhaimin kebingungan dalam catur politik
Sebenarnya menurut penulis, PKB dan Nasdem sendiri sebenarnya juga tahu akan hal itu (kekuatan Jokowi) bagaimana tidak? Mereka ini sebenarnya merupakan pendamping Jokowi dalam dua periode terakhir di dalam kabinet. Maka tidak pantaslah sebenarnya Anies-Muhaimin menjual isu perubahan atas capaian Jokowi dalam kampanyenya.
Kedua, adanya framing isu politik ceria. Hal ini sebenarnya menurut penulis didasarkan oleh keresahan masyarakat terutama kaum muda akan potensi perpecahan akibat Pemilu.
BACA JUGA: Peradaban Politik Indonesia dan Fenomena-fenomena yang Terjadi
Dalam artian lain, masyarakat trauma terhadap Pemilu 2019 yang seakan-akan membelah publik menjadi dua bagian. Sekarang masyarakat menginginkan Pemilu yang santai dan memilih pasangan yang mengakomodir keberagaman dan ketentraman tersebut.
Padahal menurut penulis sebenarnya, konflik gagasan dalam politik dapat bermanfaat meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Selanjutnya konflik gagasan dapat meningkatan kedewasaan publik dalam menyikapi perbedaan pandangan, dalam kata lain konflik dalam politik tidak selamanya buruk, konflik juga dapat bersifat konsertruktif.
Oleh sebab itu, karena hari H Pemilu masih memiliki jarak yang cukup panjang, penulis berharap para Capres dan wakilnya mulailah menjual isu yang menarik untuk dihadiahkan dihadapan publik. Ini semua guna menunjukkan kualitas serta membantu pemilih melihat keterwakilan yang paling cocok untuk dipilih.
====
Penulis Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]