Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Perubahan iklim menjadi krisis paling berat yang dihadapi secara global pasca Covid-19. Dampaknya sudah nyata dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Karena itu, kearifan lokal baik yang sudah mulai ditinggalkan maupun yang masih dilakukan diyakini bisa menjadi jawaban atas tantangan krisis iklim yang akan datang.
Hal itu mengemuka dalam diskusi pada Climate Action Day 2023 yang digelar Yayasan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP), Green Justice Indonesia dan Child Rights Coalition Asia, di Medan, Minggu (10/12/2023).
Komisioner Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Saurlin Siagian, mengatakan, korban dari krisis iklim sudah berjatuhan. Mulai dari petani yang sudah kehilangan arah menentukan musim tanam, nelayan tradisional kehilangan kemampuan menavigasi sumber-sumber ikan, banyak juga pulau-pulau kecil sudah tenggelam, hutan banyak yang hilang dan juga persebaran jenis penyakit yang baru. Hal tersebut akan sangat memengaruhi situasi di Indonesia pada khususnya.
"Secara umum dunia sudah mengakui bahwa ini adalah masalah terbesar yang akan dihadapi oleh manusia. Waktu kita sudah sangat sempit bahkan banyak pihak yang sudah menganggap kita sudah kehabisan waktu dengan perubahan iklim yang terjadi saat ini ini seperti truk di jalan menurun yang tidak punya rem," katanya.
Saat ini, tambah Saurlin, pemimpin dunia sedang berkumpul di Doga untuk merumuskan aksi-aksi yang bisa segera dilakukan terkait krisis iklim yang terjadi. Dia berharap hasil dari pertemuan itu tidak berupa kesepakatan kosong tapi dapat diimplementasikan dengan rencana aksi yang terukur.
Dijelaskannya, Komnas HAM saat ini sudah menerima banyak pengaduan dari korban krisis iklim. Namun menurutnya, Komnas HAM belum memiliki instrumen dan mekanisme terhadap pengaduan dari korban krisis iklim. Secara nyata, korban krisis iklim sudah berdatangan Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi dan lainnya. Dia pun yakin laporan dari korban krisis ikim ini akan semakin banyak.
"Tetapi kita belum punya instrumen yang memadai untuk meresponnya. Karena itu, Komnas HAM menyiapkan suatu mekanisme dan instrumen untuk memastikan korban iklim bisa mengadukan nasibnya ke lembaga negara seperti Komnas HAM dan untuk diurus oleh negara nantinya," kata Saurlin.
Pertama, kasus krisis iklim direspon secara kasus per kasus. Namun harus ada respon strategis yang menghadirkan rekomendasi menyiapkan instrumen HAM dalam kerangka, misalnya, transisi energi. "Jangan sampai proyek-proyek pembangunan dalam konteks transisi energi ini minus HAM, seperti apa yang kita alami selama. Proyek strategis nasional minus HAM. Termasuk IKN," katanya.
Dalam kasus IKN, Komnas HAM menemukan banyak masyarakat adat yang tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah karena fokus pada pembangunan infrastruktur dan percepatan pembangunan gedung-gedung, jalan dan bandara. "Kita sudah merekomendasikan bahwa belasan masyarakat adat di sana harus mendapatkan perhatian, dilindungi dan dilestarikan," katanya.
Sementara itu, pemerhati masyarakat adat dan peraih penghargaan Magsasay Award 2017 kategori Community, Abdon Nababan, menjelaskan, korban krisis iklim tidak hanya ada di Indonesia melainkan di seluruh dunia. Sumatera Utara (Sumut), lanjut Abdon, jika diseriusi, bisa terhindar dari krisis iklim. Karena, Sumut memiliki tiga sumber daya yang akan mengalami krisis secara global tersebut.
"Secara kebudayaan, suku-suku kita beragam dan punya identitas budaya yang sangat spesifik. Karena perjalanan yang historik selama ratusan hingga ribuan tahun, mereka sudah punya sistem pengetahuan dan praktik-praktik pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Kalau ini kita konsolidasikan sebagai modal sosial," katanya.
Menurutnya, anak-anak mudalah yang harus menggerakkannya. Pesan yang diberikannya ke anak-anak muda, supaya melihat bahwa Sumut bisa menjadi solusi untuk krisis global. "Kita semua harus menolak menjadi korban dengan bekerja secara kreatif melihat potensi yang kita punya. Sumber daya air kita luar biasa. Danau Toba sebagai danau vulkanik terbesar di dunia mengandung fresh water yang sangat mungkin diperebutkan bahkan dengan kekerasan sekalipun," katanya.
Sehingga, harus ada upaya melindunginya. Juga sungai-sungai yang dengan teknologi sederhana zaman sekarang bisa menjadi sumber energi terbarukan. Menjadi solusi terhadap energi fosil. Menurutnya, setiap kampung memiliki sumber daya yang sangat kaya untuk melahirkan energi terbarukan. Karena itu, dia mendorong lahirnya kampung solusi iklim dan anak-anak muda harus mau pulang ke kampungnya dengan pengetahuan yang dia dapat.
"Menurut saya sumber dari perubahan iklim yang tidak terkendali ini adalah kota-kota yang terindusterilisasi terlalu tinggi sementara desa-desa kita ditinggalkan. Kampung bisa menjadi ujung tombak pembangunan nasional," katanya.
Menurutnya, desa-desa harus dibekali dengan budget yang cukup. Uang Rp 1,4 miliar itu belum cukup dan harus dinaikan dua atau tiga kali supaya dengan investasi yang cukup di desa, maka penciptaan lapangan pekerjaan juga akan lebih banyak di desa. Dia sudah melakukan riset selama puluhan tahun dan mendapatkan bahwa kearifan lokal bisa menjadi referensi dalam banyak perundingan internasional. Menurutnya, banyak kalangan intelektual tidak melihat kearifan lokal sebagai solusi padahal sudah tidak tersedia pilihan lain.
Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan, mengatakan, kegiatan ini juga dilakukan di Thailand, Filipina dan beberapa negara lain dengan tema berbeda namun tidak tidak serentak di hari yang sama. "Kita berharap perubahan itu kita mulai dari anak-anak muda karena ini yang terancam hidupnya akibay praktik politik, pengelolaan investasi yang sangat rakus, yang tidak berorientasi HAM dan keadilan antar generasi, kemudian merusak lingkungan," katanya.
Ia mengatakan, anak-anak muda di desa, di komunitas masyarakat adat, maupun yang di perkotaan sudah menjadi korban dari perubahan iklim. "Jadi kita kepengen ada pengetahuan yang disampaikan kepada masyarakat terutama anak-anak muda dengan cara-cara kreatif seperti ini. Agar ke depan sebagai sarana informasi sekaligus menggugah hati kita semua untuk melakukan penyelamatan lingkungan hidup dan melek terhadap isu-isu perubahan iklim," katanya.
Direktur Yayasan KKSP, Maman Natawijaya, mengatakan, kegiatan ini merupakan gagasan yang ditujukan untuk perubahan terutama di kalangan anak-anak muda. Tujuannya, anak-anak muda dapat melakukan perubahan terkait dengan krisis iklim dengan cara mereka sendiri secara kreatif. Kegiatan hari ini adalah rangkaian dari beberapa kegiatan sebelumnya, yakni secara bersama-melihat apa saja tantangan terkait dengan lingkungan hidup di wilayah masing-masing di Medan, Deliserdang dan Binjai.
"Jadi bagaimana mereka melihat lingkungan sebagai bagian dari hak hidup. Lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia," katanya.
Perubahan iklim, dapat dilihat dengan kacamata sederhana, misalnya soal kebersihan, polusi udara, dan juga kebiasaan-kebiasaan masyarakat terkait dengan membuang sampah dan lain sebagainya. Dalam kaitan ini Yayasan KKSP bekerja sama dengan Green JUstice Indonesia menggagas kegiatan agar cakupannya menjadi lebih luas dengan mengundang dan melibatkan lebih banyak anak-anak muda dapat bersuara dan didengar pengambil kebijakan.