Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KETAHANAN pangan merupakan salah satu isu penting yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDG’s) tujuan ke-2 dengan jargon Zero Hunger, yaitu mengakhiri kelaparan untuk semua.
Berbicara tentang ketahanan pangan di Indonesia tidak terlepas dari dua istilah, yaitu swasembada pangan dan impor. Kebijakan impor masih tetap diberlakukan untuk menjaga kestabilan pangan sementara swasembada sedari dulu diimplementasikan untuk menjaga surplus produksi atau ketersediaan pangan. Kedua mekanisme penguatan pangan ini sama-sama dibutuhkan oleh suatu negara untuk menjaga keberlangsungan kehidupan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), selama periode Januari hingga September 2023, volume impor beras Indonesia mencapai sebesar 1,786 juta ton dengan nilai US$ 980 juta.
Sementara itu, untuk data produksi beras sendiri, berdasarkan Hasil Sensus Pertanian 2023, luas panen padi diperkirakan sebesar 10,20 juta hektare dengan produksi padi sekitar 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG).
BACA JUGA: Memantik Optimisme Ekonomi Sumatera Utara
Angka produksi ini mengalami penurunan sebanyak 1,12 juta ton GKG atau 2,05 persen dibandingkan produksi padi di 2022 yang mencapai 54,75 juta ton GKG. Sebenarnya angka produksi ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah konsumsi beras penduduk Indonesia.
Produksi beras pada 2023 untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 30,90 juta ton, mengalami penurunan sebanyak 645,09 ribu ton atau 2,05 persen dibandingkan produksi beras di 2022 yang sebesar 31,54 juta ton. Menelaah statistik sederhana di atas, patutkah kita was-was?
Layaknya isu kemiskinan dan ketimpangan yang melibatkan multi aspek, sama halnya dengan isu ketahanan pangan. Ketahanan pangan adalah isu kompleks yang penanggulangannya mengerahkan sinergi dari banyak aspek pembangunan, mulai dari aspek pertanian, perdagangan, dan ekonomi yang berimbas pula pada isu kesehatan dan pendidikan.
Masalah pangan adalah kebutuhan primer dan dianggap sebagai isu strategis mengingat tidak ada negara yang mampu melakukan pembangunan tanpa menyelesaikan terlebih dahulu masalah pangannya.
BACA JUGA: Esensi di Balik Kenaikan Harga Beras
Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index/GFSI/IKP) yang dikembangkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan ketahanan pangan Indonesia telah mengalami perbaikan sejak tahun 2012.
Satu dekade berlalu, skor IKP Indonesia pada tahun 2022 sebesar 60,2, naik sebesar 0,4 poin dibandingkan tahun 2021 (skor tertinggi 100). Tahun 2022, Indonesia menempati posisi ke-63 di dunia dan peringkat kesepuluh di kawasan Asia Pasifik.
Anehnya, Singapura, negara dengan sumber daya alam minimal justru memegang nilai indeks tertinggi. Ini mengindikasikan bahwa ketahanan pangan tak hanya disumbang oleh kuantitas sumber daya pangan, namun juga beberapa aspek lain turut diperhitungkan.
Terdapat 4 pilar yang digunakan untuk mengukur indeks ketahanan pangan ini, yaitu keterjangkauan (affordability), ketersediaan (availability), kualitas (quality) dan keamanan (safety.)
Namun di balik progres ketahanan pangan nasional yang mencerahkan, apakah hal ini dirasakan oleh seluruh penduduk Indonesia dari Sabang hingga Merauke?
Indeks Ketahanan Pangan (IKP) 2022 yang dirilis oleh Badan Pangan Nasional memberikan gambaran peringkat pencapaian wilayah Indonesia bagian barat secara umum memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan Indonesia bagian timur.
BACA JUGA: Kenapa Harga Beras Tak Kunjung Turun?
Hasil Penghitungan IKG yang dirilis oleh Badan Pangan Nasional menunjukkan sebanyak 70 kabupaten atau 16,83 persen dari 416 kabupaten memiliki skor IKP yang rendah. Selain itu, terdapat 2 provinsi yakni Papua dan Papua Barat yang masih harus bertahan dengan skor IKP yang rendah, yakni dibawah 50 poin dan berstatus rentan.
Beberapa agenda telah lama dicanangkan guna menciptakan keberlangsungan sumber daya pangan. Contohnya saja, program pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan melalui swasembada pangan strategis seperti padi, jagung, kedelai, gula, dan daging patut dihargai dan didukung sepenuhnya.
Tak bisa dipungkiri untuk mewujudkan swasembada pangan tidaklah mudah karena kompleksnya interaksi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pangan. Jalan yang dilalui guna menciptakan kedaulatan pangan tak selalu mulus.
Pembangunan pangan selama ini juga dihadapkan pada beberapa benturan seperti prioritas produksi yang lebih menitikberatkan pada beras, padahal diversifikasi pertanian juga merupakan satu langkah penting yang dapat menjaga ketahanan pangan.
Di samping itu, pembangunan pangan juga cenderung memberikan perhatian kepada lahan sawah dibandingkan sumber daya lahan lainnya dan juga masih timpangnya pembangunan di kawasan Barat Indonesia terutama Pulau Jawa dibandingkan kawasan Timur.
BACA JUGA: Langkah Beras Nasional di Tengah Perubahan Iklim
Pembangunan pangan selama ini juga dinilai lebih berorientasi kepada ketahanan pangan nasional dibandingkan ketahanan pangan regional (kabupaten/kota) dan rumah tangga.
Nyatanya, masih banyak rumah tangga ekonomi menengah ke bawah yang mengalami kesulitan dalam mengakses bahan pangan dari segi kuantitas maupun kualitas.
Tak kalah penting, penguatan pangan juga seharusnya tidak difokuskan pada komoditas berbasis impor saja, melainkan komoditas berbasis lokal, sehingga penduduk lokal dapat mengoptimalkan produk pertanian lokal masing-masing serta memasarkannya.
Kestabilan pangan menjadi tonggak penting dalam mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan. Kajian strategis dampak ketahanan pangan yang tertuang pada dua target utama SDG’s adalah mengakhiri kelaparan dan mencapai ketahanan pangan, gizi seimbang, dan stunting pada anak serta menjamin sistem produksi pangan yang berkelanjutan dengan hasil panen yang tinggi dan melindungi sumber daya tanah.
BACA JUGA: Kesadaran Teknokratis Sistem Pangan Nasional
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah dan rakyat harus bersinergi dan bersikap suportif. Pemerintah telah berupaya mengimplementasikan banyak program untuk menyokong situasi pangan yang kondusif, kesehatan yang baik dan status gizi anak yang jauh dari nilai ‘merah’.
Tak cukup sampai disitu, efek lingkungan dan biodiversitas juga harus dipertimbangkan. Produktivitas pangan yang tinggi juga harus didukung oleh manajemen lingkungan dan keseimbangan alam yang terjaga agar anak-cucu tidak terkena imbas akan hilangnya sumber daya alam untuk membangun negeri.
====
Penulis Statistisi Ahli Muda BPS Kota Medan
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, merupakan pendapat pribadi/tunggal) penulis, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto penulis (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]